File 1.4.7 - Mystery of Bloody Sea

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ini sudah pagi, tapi Dextra tidak pulang? Sebenarnya dia ke mana sih? Kapela, dia bilang sesuatu padamu semalam?" Aiden bertanya resah. Tidak mungkin seorang remaja hilang tanpa jejak di pulau terpencil. Mana cuaca sedang gelap lagi. Badai petir.

"Dia bilang mau ke bukit, Kak. Aku juga sudah memperingatinya kalau itu berbahaya, tapi dia bilang cuman sebentar. Tuh, kan, kejadian juga."

Jareth berlarian kecil ke ruang tamu. Bajunya basah oleh rintik hujan. "Saya sudah mencarinya ke mana-mana, tapi tidak ketemu. Sepertinya teman kalian tersesat di hutan."

Lunduls ikut gelisah. Bagaimanapun kedatangan klub detektif Madoka ke pulau pribadinya itu adalah tanggung jawabnya. Bisa-bisanya Lunduls lalai dalam keselamatan.

"Sudah coba pakai drone?"

"Sayangnya badai menghambat, Pak. Saya tak bisa menerbangkan drone, berpotensi disambar petir."

"Apa di sini sering hujan?" tanya King tiba-tiba. Dia berdiri di depan jendela. Tatapannya jatuh ke langit yang menangis di luar sana.

"Ah, benar. Mungkin karena iklimnya."

"Ada apa?" Aiden mencurigai gelagat cowok itu. Dia menyuruh agar Aiden mendekat padanya sementara Jareth dan Lunduls kembali berdiskusi tentang pencarian Dextra yang hilang. "Kenapa?"

"Pulau ini tidak terlalu luas. Untuk seukuran Dextra, tidak mungkin dia tersesat di hutan."

"Maksudmu..." Aiden menahan napas.

"Aku pikir dia jatuh ke laut. Tapi ayolah, dia bukan anak kecil. Mustahil dia jatuh begitu saja. Dextra pasti dibuntuti seseorang dan didorong. Karena hanya ada kita bertujuh di pulau ini, berarti pelakunya salah satu dari mereka berdua. Kecuali kalau ada pendatang gelap."

"Kurasa tidak," kata Hellen. "Aku memasang alarm pada ponselku yang mana akan berbunyi jika ada kehadiran transportasi seperti kapal atau helikopter. Tapi malam tadi damai."

"Berarti dugaanku benar."

Aiden mengepalkan tangan. Ini salahnya. Seharusnya dia tidak melibatkan Dextra yang bukan siapa-siapa ke pertarungan hidup-mati mereka. Gadis itu teledor.

"Jangan merasa bersalah, Kak Aiden. Lagi pula itu juga salah si Dex yang penasaran dengan air laut."

"Eh, apa katamu?"

Kapela menjelaskan apa yang dicurigai Dextra semalam sebelum mereka berpisah sebab beda tujuan.

"Dipikir-pikir benar juga, ya. Normalnya orang dewasa memiliki 4,5 hingga 5,5 liter darah yang bersirkulasi dalam tubuh. Berbeda dengan anak-anak atau remaja. Jumlah darah kita mungkin sama dengan orang dewasa, tapi karena kita masih kecil, termasuk tulang, maka presentase darah dibanding berat tubuh lebih besar daripada orang dewasa. Mencampurkan darah ke air laut hingga menghasilkan laut merah butuh berkilo-kilo gram darah. Tidak bisa dari satu manusia saja."

Mereka berempat hening sejenak.

"Pemikiran macam apa itu," sindir Aiden.

"Heh! Harusnya kamu memujiku, Buk Aiden! Bukan menatapku dengan tatapan hina begitu!" King melotot.

"Pertanyaannya..." Kapela membuka suara. "Kenapa ikan-ikan dibuat mati oleh laut berdarah ini? Apa ada racun disuntikkan ke jasad Nona Ottalisa dan membunuh beberapa ekosistem laut?"

Hellen diam saja.

-

Hujan baru berhenti jam satu siang. Penjara air yang sangat lama. Mereka sudah mencari Dextra ke mana-mana, tapi hasilnya nihil. Adkel Pemalu itu tak kunjung ditemukan.

Aiden menggigit bibir. Bagaimana ini? Apa yang harus mereka lakukan? Sial! Mereka ke sana untuk menyelesaikan kasus bukan mengantar nyawa. Apalagi pelajar yang tak punya hubungan.

"Buk Hellen, temanin aku dong."

"Ke mana? Kamu sudah besar, King. Masa minta ditemanin. Malu."

"Aku mau ke situ. Takut sendiri. Nanti ada yang culik orang tampan." King menunjuk rumah kebun yang didatangi Kapela tadi malam. Entah kenapa tempat itu merebut atensi King.

Hellen mendesah. "Baiklah, baiklah."

Mereka pun pergi ke sana, seketika terpukau melihat keindahan dan kerapian bunga-bunga yang tersusun segar di sepanjang jalan setapak. Semerbak aroma wangi membuat candu.

"Kenapa semua bunganya..." King menggaruk kepala. "Buk Hellen, apa kamu merasakan apa yang kurasakan?"

"Bau harum dan dengung lebah. Memangnya apa yang kamu pikirkan?"

"Bukan, tapi itu..."

King dan Hellen berhenti melangkah. Di depan mereka terdapat rumpun bunga mawar yang bertingkat-tingkat. Mereka seperti melihat sarang peri Thumbelina di film kartun anak-anak. Bau harum yang terlewat pekat membuat mereka tidak enak lagi untuk dicium.

"Sepertinya Pak Lunduls sangat menyukai bunga mawar, heh?"

Hellen menggeleng. "Beliau tidak pernah membeli barang-barang yang berhubungan dengan kegiatan berkebun, setidaknya itu yang kudapatkan. Kurasa ini hobi Jareth."

"Jareth suka bercocok tanam?"

"Tidak juga." Lunduls masuk ke rumah berkebun karena melihat siluet mereka dari kaca. Dia tersenyum memegang kelopak salah satu bunga yang berjajar. "Lebih tepatnya Jareth hobi mengoleksi serangga. Bunga-bunga ini ditanam hanya untuk memikat ulat."

Meh. Pantas saja semua jenis cuman bunga yang punya bau kuat. Inilah yang mengganggu King ketika masuk ke situ.

Hellen berdeham. "Ehm! Apakah Jareth sudah menikah, Pak?"

"Eh? Kenapa kamu bertanya?"

"Saya memeriksa riwayat pembeliannya dan Jareth pernah membeli cash gaun pengantin. Anehnya setelah saya periksa lebih lanjut, saya tidak menemukan surat keterangan menikah. Apakah Jareth menikah siri?"

"Astaga, kalian ini anak-anak yang pintar. Aku kagum." Lunduls terkekeh renyah. "Tidak. Jareth masih lajang sama sepertiku. Tampaknya dia punya alasan sendiri tidak mau menikah."

Lantas kenapa? Hellen berpikir positif. Mungkin saja gaun itu untuk sanak saudaranya... Tapi di pencariannya tidak ada data pengiriman. Apa hadiah buat kenalannya? Ah, tahu deh. Ini kompleks.

Obrolan mereka berakhir. Kembali mencari Dextra yang entah di mana.

-

>Pukul 19.17 malam<

"Kita harus menghubungi tim SAR dan polisi. Kita tak bisa membiarkan pemuda itu hilang. Orangtuanya bisa cemas."

Bukan Aiden atau King yang memulai percakapan tersebut, melainkan Lunduls sendiri. Dia khawatir Dextra kenapa-kenapa dan menghilangkan egonya (tidak mau mengundang orang luar ke pulau pribadi miliknya).

"Apa Anda yakin, Pak? Massa masih heboh tentang hubungan Anda dengan Nona Ottalisa. Kalau terus begini, reputasi Anda benar-benar turun di pandangan masyarakat sepenuhnya."

"Selama anak itu ditemukan, aku tidak peduli. Dia tamuku, aku harus bertanggung jawab. Aku takkan mengulangi kesalahan yang sama. Dia masih anak-anak, Jareth."

Aiden dan King bersitatap. Orang sebaik ini melakukan pembunuhan? Lunduls tampak telah berubah dari kejahatan masa lalunya. Dia sungguhan tobat.

"Baiklah, saya mengerti. Saya akan menghubungi polisi."

King mengeluarkan hpnya, menatap kontak Angra skeptis. Haruskah dia menelepon orang itu? Tidak. Sekarang bukan waktunya ragu.

"Aku ke luar sebentar," kata King.

"Kak Hellen dari tadi main hp mulu. Lagi chattingan sama siapa sih?" bisik Kapela. Mungkin dari semalam Hellen tak lepas dari ponsel pintarnya.

"Tidak ada kok." Hellen berdeham. "Anu, apa di sini ada laboratorium?"

"Ah, ada. Jareth punya laboratorium di basemen untuk meneliti serangga. Apa kamu mau melakukan sesuatu?"

"Iya!" Hellen tersenyum yang entah kenapa terlihat berbahaya. "Bolehkah saya minta sampel darah Anda, Pak?"

"E-eh?" Lunduls menelan ludah. (*)














Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro