22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ini permintaan terakhirku, Vi."

[Terakhir untuk kasus ini, aku tahu. Jangan melankolis deh. Cepat katakan. Kamu membuang waktuku.]

"Carikan aku latar belakang Jeremy Bari."

Kats! Anak panah yang melontar secara tiba-tiba itu berhasil Watson tangkap sebelum menyentuh sebuah tombol di papan penyiaran. Inilah Watson tunggu dari tadi. Dia menduga Mazenle menyiapkan sesuatu yang akan menyerang saat ada celah.

"BRENGSEK!" Mazenle seketika beringas mengamuk. Dia tidak terima senjata terakhirnya diantisipasi dengan mudah. Deon segera mencekal kedua tangannya yang berniat menyerbu Watson. "Bagaimana kamu mengetahuinya, bedebah?!"

"Kamu terlalu meremehkanku. Kamu pikir aku tak sadar bahwa kamu memang ingin kembali ke rumah sakit jiwa setelah menuntaskan dendammu? Kamu ingin Stern merasakan hal yang sama denganmu, kan? Juliet kehilangan Romeo-nya sekali lagi, yaitu Bari."

Hellen yang sejak tadi mematung, tersentak mendengar nama Jeremy disebut. "Apa ... katamu Watson? Kenapa dengan Jeremy?"

"Aku curiga sejak Bari ditargetkan oleh Mazenle padahal dia tidak berkaitan dan diam-diam menelusuri biodatanya. Ternyata dia adalah anak angkat. Jeremy memiliki nama asli Jerome Kavala Romeoa sebelum aktanya diperbarui menjadi Jeremy Bari.

"Satu-satunya motif wanita ini menyerang Bari adalah namanya yang juga Romeo. Bari akan dia bunuh ... agar kamu menjadi gila sepertinya... kehilangan pria tercinta ...." Tetiba saja Watson berkata patah-patah, terbengong akan ucapan sendiri.

Hellen tanpa basa-basi keluar dari ruangan itu tak mempedulikan lanjutan deduksi Watson atau seruan Chyntia. Pikirannya berembuk ke satu orang: Jeremy. 

Di sisi lain, Watson kembali bergumul di dalam istana pikiran. Wajahnya sangat serius.

Jika tujuan asli Mazenle membuat mental Hellen benar-benar hancur karena kehilangan Romeo-nya untuk kedua kali, apa mungkin tujuan Penguntit Monokrom sebenarnya demi melindungi Hellen? Dia muncul setelah kematian Rokko Romeron dan pertemuan antara Hellen-Jeremy, kan?

Ah, benar. Penguntit Monokrom itu baik. Dia mencoba menjaga Hellen agar tidak berakhir seperti Mazenle. Dia memakai jas kuning karena warna itu sarat akan pengendalian emosional. Masuk akal orang itu berupa Erika secara Erika sahabatnya Hellen.

Watson menepuk tangan. Ekspresi datar. "Aku melakukannya dengan baik. Good job diriku."

Dua rekan Deon tak lain tak bukan Max dan Shani bersitatap. "Dia barusan ... memuji diri sendiri? Apa dia sengaja melakukannya?"

Kretek! Akhirnya borgol datang mengikat kedua tangan Mazenle.

"Aku akan mengambil alih dari sini. Dia pasienku," kata Chyntia terengah. Napasnya kembang-kempis. "Kami sudah memanggil pihak rumah sakit kejiwaan. Mereka seharusnya datang lima menit lagi."

"Apa Anda baik-baik saja? Muka Anda pucat."

Cynthia mengelap keringat, memutuskan mengangguk. Sepertinya jahitan operasi "sementara"-nya terbuka. Watson jago teori, namun payah praktek. Jahitannya sama sekali tidak rapi. Chyntia harus memperbaikinya nanti. Toh, cuman pertolongan darurat.

"Apa kamu senang, anak yatim-piatu sialan?" ujar Mazenle terkekeh.

Watson menatapnya dingin.

"Kamu lagi-lagi menang, kamu seharusnya sedikit gembira dong. Ahh, kamu tak bisa melakukannya ya, merubah ekspresi. Karena trauma masa lalu, benar? Bocah yang kehilangan orangtuanya sebab rasa pesimis. Bukankah kita bernasib sama?"

Watson diam saja. Kalau dia jawab, Mazenle pasti semakin melunjak. Biarkan saja wanita itu mengoceh sendiri. Mungkin dia sedang menghibur diri.

"Apa kamu tidak tertarik mencari tahu alasan kematian orangtuamu? Atau kemampuanmu tidak cukup? Hahaha, itulah mengapa temanmu meninggalkanmu. Kamu tidak bisa melampauinya. Ckckck, kasihan."

"Bakat ada batasan, namun bagi Jam hal itu tidak berlaku. Lagian tahu apa Anda tentang dia, huh? Anda hanya seorang reporter. Seharusnya Anda malu menggunakan pekerjaan untuk kepentingan pribadi—"

"Pockleland," sela Mazenle.

Watson mengeram. Sialan. Jangan biarkan dirimu terpancing Watson! batinnya mengepalkan tangan.

"Ayolah Watson, jangan setengah-setengah begitu. Kamu pintar, kan? Kamu harus memantapkan hati. Kalau kamu takut, mundur dari sekarang." Mazenle menyeringai.

"Tak usah repot-repot mengurus kehidupanku. Pikirkan saja nasibmu di hari esok."

"Aku hanya mengingatkanmu, Watson, karena kita akan bertemu kelak. Anak bernama Jam itu menyimpan rahasia besar." Mazenle tersenyum culas. Dia diiring keluar dan tidak memberontak sedikit pun. "Asal sebuah pistol tidak penting. Yang terpenting siapa yang menembak duluan. Itulah poinnya."

Mazenle dimasukkan ke mobil patroli, perlahan mulai meninggalkan Mistri beriringan dengan masuknya mobil baru. Ah, Elione datang.

"CHYNTIA!" serunya panik langsung berlari memeluk istrinya. "Astaga, astaga. Syukurlah kamu baik-baik saja. Aku sangat mengkhawatirkanmu. Aku takut kamu kenapa-napa. Aku sudah dengar semua yang terjadi. Teganya Zenle melakukan itu padamu."

Chyntia tersenyum. "Aigoo! Aku baik-baik saja, Sayang. Mana mungkin kubiarkan reporter jelalatan itu merebutmu dariku. Aku hanya melindungi suamiku tercinta."

Petugas kepolisian di TKP beranjak memberi mereka ruang untuk mesra-mesraan. Deon menoleh ke Watson yang memandang panggung klub drama.

"Kamu jangan memikirkan perkataannya. Mazenle mencoba menjatuhkanmu."

Jeda beberapa detik sebelum Watson merespon. "Aku yang lebih tahu apa yang akan terjadi padaku, Inspektur. Dia tidak sepenuhnya salah." Watson menatap gantungan kunci hapenya—benda itu Jam lah yang membelikannya. "Apatah arti pertemanan jika cinta datang merusak."

Deon berdeham. "Ngomong-ngomong di mana semua korban culik?"

"Ah, mereka disekap di bawah pentas. Untunglah Mazenle tidak membunuh korban."

Lalu mereka berdua pun mengobrol ringan

"Di mana Hellen?" tanya Elione cemas.

Oh benar juga. Hellen lari entah ke mana ketika Watson sibuk memikirkan Penguntit Monokrom.

"Mungkin menemui Romeo-nya?"

-

"Hiyek! Busuk banget! Kamu habis dimandiin lumpur, Jer?!" Aiden menutup hidung. Wajahnya memberengut menahan bau masam menyelimuti tubuh Jeremy.

Jeremy cemberut. "Begitukah reaksimu sehabis melihat temanmu yang tampan ini diceburkan ke bak sampah? Dasar jahat!"

"Sudah begitu kamu juga bergelimang bau gas."

Entahlah. Tadinya Jeremy berada di ruang sempit dengan gas petroleum cair yang bocor. Melewati ventilasi, Jeremy merayap di lubang angin sampai tiba di ujungnya. Eh, tahu-tahu bak sampah menyambutnya di bawah. Apes banget nasibnya.

"Aku harus mandi dua jam nih," kata Jeremy bermonolog. Dia juga jijik dengan bau badannya.

"JEREMY!" Seseorang berseru.

Aiden dan si pemilik nama tersentak, menoleh ke sumber suara. Ternyata Hellen. Tapi tunggu, kenapa dia berlari ke arah Jeremy? Tunggu! Tunggu! Dia tidak mau berhenti!

Hellen memeluk Jeremy. Pelukan yang erat.

"Tu-tunggu, Hellen...!" Jeremy gelagapan. "Tubuhku kotor bau sampah."

"Kamu bukan Romeo. Kamu Jeremy." Hellen menatap nanar, tersenyum. "Makanya berhentilah menganggapku adalah tanggung jawabmu. Aku tidak mau melihatmu sebagai Romeo-ku, itu peran Rokko. Aku ingin melihatmu sebagai Jeremy-ku."

Wajah Jeremy merona. Eh? Eh? Apa? Apa? Mungkinkah ini... Sebuah pengakuan tak langsung?! Kasus ini menghadiahi kehokian!

Aiden menggelembungkan pipi. Bisa-bisanya Hellen mendahuluinya soal beginian. Dia mendengus, memalingkan kepala, tersentak melihat Watson datang. Ah! Kesempatan emas!

Aku harus beritahu Stern siapa Penguntit Monokrom. Tujuannya baik. Hmm? Watson berhenti berpikir melihat tangan seseorang memegang kerah bajunya. Dia pun tercekik karena tangan itu menariknya.

"D-Dan! Aku menyukaimu!" terang Aiden.

Watson mendengus. "Kenapa sih tiba-tiba?"

"Habisnya!" Aiden menunjuk Hellen dan Jeremy. "Mereka sudah jadian! Kita kapan?!"

"Jadian?" Watson menatap terdakwa. "Sungguh?"

Mereka berdua segera menjauh satu sama lain, berdiri kikuk. "T-tidak kok. Ka-kamu salah paham, Aiden. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan."

Watson mengembuskan napas panjang. Musim gugur yang melelahkan.

Kasus Rokko Romeron selesai!







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro