23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah membebaskan korban sekap, Tolora Mydrede dan Jeras langsung datang ke TKP. Hellen tersenyum kecil melihat mereka reuni dengan senyuman merekah.

"Romeo, aku sangat mengkhawatirkanmu. Apa kamu baik-baik saja? Astaga, aku merindukanmu!" tutur Lora tak memberi Romeo napas.

"Hahaha, aku juga kangen. Ngomong-ngomong di mana Kara? Kalian tidak bareng?"

Lora diam. Ekspresinya berubah bengis. "Pengkhianat itu ... Kamu tak usah memikirkan dia lagi, Romeo. Dia sudah hidup nyaman dengan uang hina yang dia dapatkan."

Romeo mendesah maklum. "Ah, jadi begitu ...."

Di sisi lain, Jeras dan Reland saling adu tinju ala pertemuan pria dewasa. Ah, tentu saja Jeras tidak lupa akan janjinya.

"Terima kasih atas hadiahnya, Tuan Jeras." Watson berkata sopan. Dia baru saja menerima satu pak novel Sherlock Holmes secara gratis.

"Itu bukan apa-apa, Nak. Aku lah yang seharusnya berterima kasih telah menolong temanku." Jeras menepuk punggung Reland sampai mendengar suara debuh keras.

"Tanpa disuruh, aku juga akan mengucapkannya." Reland membalikkan pukulan Jeras, beralih membungkuk pada Watson. "Aku tidak tahu cara membalas budimu, Nak. Aku hanya bisa mengatakan terima kasih sudah menyelamatkan hidupku."

"Bukan masalah, Pak. Ini adalah tugas kami sebagai seorang detektif."

Mereka berdua tersenyum.

"Dan!" seru Aiden di dekat parkiran. Ah, sepertinya dia sudah selesai mengemas barang-barangnya. Hari ini Aiden memakai bando ungu bergaris-garis putih.

Karena kasus Rokko Romeron selesai, tak ada lagi gunanya berlama-lama berada di Serene. Mereka berempat harus kembali ke Moufrobi merujuk Apol hanya memberikan izin sepuluh hari.

"Kalau begitu kami pergi." Sekali lagi Watson pamit, salam perpisahan.

"Watson!" Ah, si Watson Dua datang. "Apa kita akan bertemu lagi? Waktunya berlalu cepat tak sadar kalian sudah menyelesaikan tugas."

Watson bisa merasakan aura kecemburuan mengoar di sekitar tubuh Aiden, menghela napas pendek. "Kuharap tidak," katanya pedas menusuk. "Semoga pendidikanmu berjalan lancar di Alteia. Kalau kamu punya keluhan atau masalah, jangan sungkan ke Madoka."

"A-ah, baik. Terima kasih."

Watson mengangguk, bergegas menuju mobil. Mana tahu Aiden berniat meninggalkannya.

"Terima kasih banyak, Klub Detektif Madoka! Terima kasih sudah membawa kembali Romeo-ku!" Lora berseru semangat, melambai-lambaikan tangan.

Hellen menurunkan kaca jendela. "Kali ini jaga Romeo baik-baik! Itu tugasmu, Juliet!"

Lora merona. Waduh, sepertinya Hellen tahu.

Mobil pun melaju meninggalkan rumah sakit. Hellen mendongak menatap bangunan demi bangunan di jejalanan, tersenyum mantap.

Selamat tinggal Kota Serene. Terima kasih atas petualangannya.

-

"Kamu punya pertanyaan, Stern? Sejak tadi tatapanmu aneh," cetus Watson menutup novel pusakanya.

"Mamaku bilang kamu mengoperasinya. Tamponade jantung. Apa itu benar?" Bukannya Hellen meremehkan Watson. Hanya saja itu operasi sulit. Bagaimana seorang remaja tak memiliki gelar 'dokter' melakukan bedah? Apalagi mengoperasi di bawah reruntuhan?

"Benar, itu mudah. Aku sering menontonnya."

"M-mudah katamu? Jangan-jangan selain berprofesi detektif, kamu juga berprofesi dokter?!" tuding Hellen. Ini sudah bukan berbakat atau genius. "Mu-mungkinkah kamu betulan dikutuk?"

"Hei, watch your mouth." Watson mendengus. "Buku adalah pengetahuan. Aku hanya membaca, tak kurang tak lebih. Waktu kecil, ketika bacaan Sherlock habis, aku iseng membaca kamus medis. Mana kutahu ternyata dunia dokter lumayan seru untuk dipelajari."

"Memangnya kapasitas otakmu berapa sih?"

Watson mengangkat bahu. "Kalau kalian membaca, ilmu kalian bertambah. Itu pun jika kalian melakukannya dengan sungguh-sungguh."

"Kamu menyindir kami?" Aiden dan Jeremy merengut.

"Kenapa? Merasa?" Watson cuek.

"Yah, yang penting kasus Rokko beres. Penculikan para Romeo berakhir. Kita bisa bermain-main." Aiden batal marah. Case Closed membuat mood-nya bagus.

"Eh, mana bisa Aiden. Kita belum tahu siapa Penguntit Monokrom. Juga, kita tidak tahu berapa permohonan kasus datang selama kita pergi." Jeremy menggeleng. Mereka tidak ada waktu berisitirahat.

Ah, inilah waktunya. Watson membuka mulut.

BRAK! Terdengar suara dentuman keras membuat Dolok mau tak mau menginjak penuh pedal rem. Hellen terhenyak ke depan. Beruntung Jeremy cekatan menahan tubuhnya agar tak terbentur.

"A-apa yang terjadi?"

"Sepertinya di depan terjadi kecelakaan, Nona Muda." Dolok mengelap keringat.

Sialan. Lagi-lagi begini. Lagi-lagi saat aku ingin mengatakan kebenaran, sesuatu terjadi. Seolah menghalangi, seolah mencegahku mengatakannya. Apa sih ini sebenarnya? Watson tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Apa benar dia dikutuk? Plak! Watson menapuk pipinya. Ayolah, mistis itu tidak ada.

Atau jangan bilang... "Sesuatu" misterius ini muncul karena jawaban Watson salah?

Hellen turun dari mobil, diikuti Aiden dan Jeremy. Mereka berlarian ke depan. Kabar baiknya si penabrak tidak kabur. Dia ikut turun memeriksa korban.

"Astaga ... Anak-anak itu staminanya kayak kuda." Watson memutar mata, membuka pintu. Beberapa langkah ke TKP, suara raungan memekakkan telinga. Tangisan sakit. "Apa yang...? Kenapa suaranya begitu?"

Mempercepat langkah, Watson tertegun melihat kaki kanan korban berdarah-darah.

"A-apa yang harus kulakukan...? Di-dia takkan mati, kan? A-aku takkan dipenjara, kan?" Si penabrak mulai digentayangi ketakutan.

"Tidak jika Anda bertanggung jawab. Cepat panggil ambulans." Aiden berkata lugas.

"B-baik."

"Bagaimana kondisinya, Hellen?" tanya Jeremy.

"Papiledema. Refleks pupil kanannya lamban, fungsi otaknya menurun. Kemungkinan akan terjadi edema serebri. Dia harus segera di-CT Scan dan MRI Scan."

Aiden berdecak kagum. Dia tidak mengerti, namun dia tahu Hellen melakukan diagnosis.

Akan tetapi, masalahnya bukan hanya itu. Matanya memang tidak fokus, namun korban merasa sakit. Dia harus dibius kalau tidak akan mengalami trauma pasca-kecelakaan.

Seakan membaca pikiran Watson, Hellen bersyukur selalu membawa kotak P3K-nya ke mana-mana. Gadis itu langsung melakukan anestesi agar korban tertidur.

"Ini Fraktur Terbuka, kan?" bisik Hellen menunjuk kaki korban.

"Ya. Tulang betisnya patah. Mereka harus cepat sebelum fasciitis nekrotikan datang ke lukanya."

Sirine ambulans memotong percakapan mereka. Watson menoleh. "Wah, panjang umur. Unit Tanggap Darurat di kota ini boleh juga. Aku kagum."

Mereka bergegas menurunkan tandu roda.

Di antara para petugas 911 yang sibuk memindahkan korban, mata Aiden tak sengaja menangkap sesuatu mengintip dari jauh, bersembunyi di balik lampu jalan. Aiden memicing, memastikan tidak salah lihat. Orang itu memakai mantel kuning.

"Penguntit Monokrom...?"



~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•

Mini dictionary;
1. Papiledema = Gejala pembengkakan di daerah saraf mata.
2. Edema Serebri = Pembengkakan otak
3. Fasciitis Nekrotikan = Sebuah infeksi yang mengakibatkan mati rasa pada bagian-bagian jaringan lunak dari tubuh.

~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~~•

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro