10* Claustrophobia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku merasa aku telah diperlakukan tidak adil.

Kekuatan Kala telah diketahui oleh semua peri di Subklan Fairyda. Berbeda dengan reaksiku yang mana mereka biasa saja seperti 'wah selamat ya', monoton dan hampa, mereka justru memekik semangat pada Kala.

Siapa lagi kalau bukan kaum hawa yang tergila-gila sama cowok tampan. Pandangan mereka berubah seratus persen ketika Kala menunjukkan kekuatannya. Cuih.

"Dasar sasaeng!" Aku berdecak muak. Hari ini aku resmi dipindahkan ke kelas Senior.

"Sasaeng? Itu apa?" Rissa bingung.

"Kenapa, Verdandi?" tanya Sebille. Iya. Aku, Rissa, dan Sebille memutuskan barengan masuk ke kelas Senior. Kayak bestie gitu.

"Apa kau cemburu kalau Kala dikerubungi cewek?" Aku mendesis, mendelik. Rissa cengengesan. Enak saja dia menuduhku.

Cemburu? Puh! Tidak mungkin lah.

"Tapi aku masih tak percaya kekuatan Kala adalah mengendalikan angin. Padahal aku yakin waktu itu dia bermain-main dengan air." Rissa melakukan pose berpikir keras.

"Waktu itu?" Kekesalanku hilang, tertarik.

"Betulan lho! Madam Veela (guru Senior) menciduk Kala membuat hujan kecil untuk menyiram pot bunga di kelas. Kala berpikir kelas masih kosong. Dia sangat kaget. Tapi ekspresinya sama seperti sekarang: dingin."

Sebille terkekeh melihat Rissa meniru raut wajah Kala yang jatuhnya konyol.

Benar juga. Kalau diingat-ingat Kala tampak terkejut dengan nama kekuatannya di buku List of All Potencia. Apa dia punya dua kekuatan ya? Tidak, tidak. Setiap peri hanya memiliki satu kemampuan... Iya, kan?

Memoriku memutar kejadian di perpustakaan, tentang Parnox si veteran vs Rinvi si penyembuh. Mungkin saja dugaanku salah.

"Ngomong-ngomong Dandi, apa kau sedang menyukai seseorang? Aku ada lho!" Sebille cekikan. Fufufu, seorang gadis yang lagi jatuh cinta memang sangat menggemaskan.

"Siapa memang?" tanya Rissa kepo.

Sebille berbisik, "Ketua Parnox."

Tawa Rissa seketika meledak. Aku mengulum senyum tapi tidak bisa. Apa katanya? Sebille naksir sama Parnox, si angkuh itu? Aku sih amit-amit jabang bayi! Mendengar namanya sudah membuatku jaga jarak seratus meter.

"Kenapa kalian tertawa?" Sebille cemberut. "Kalau dia sedikit lembut, percayalah, Parnox akan menjadi laki-laki idaman yang perfek. Maksudku, Parnox tidak sekasar yang kalian pikirkan. Aku melihatnya. Parnox peduli pada Newbie dan sekolah, hanya saja tak mau menunjukkannya terang-terangan. D-dia itu sebenarnya manis di balik sifat garangnya!"

Woah. Tanda-tanda bucin nih si Sebille.

"Tapi membicarakan dia, Parnox sebenarnya sebelas duabelas dengan Kala lho. Sama-sama enggan terbang. Kala kalian tahu alasannya: malas terbang. Kalau Parnox, kata orang dia malu punya motif sayap yang feminim. Maka dari itu dia lebih suka berteleportasi."

Mengatakan Kala saja, padahal sendirinya...

Lalu apa, malu karena corak sayapnya cewek banget? Astaga! Apa dia tak mau citranya sebagai Ketua Peri tercoreng? Ckck, Parnox.

"Memang sih, Parnox cukup tampan. Pemuja dirinya kan banyak tuh di kelas Supreme. Tapi masih kalah dari Houri." Giliran Rissa yang gandrung. Dia tersenyum lebar, sedikit malu. "Orangnya memang pendiam tapi dia baik!"

Telingaku mendengar nama baru. "Houri?"

"Yaps. Peri yang menantang Blackfuror sendirian saat kita masih di Newbie. Ingat, kan? Kekuatannya Nightmare Maker. Orang yang mendekati Houri radius sepuluh meter, akan dilanda ketakutan. Hihihi. Hantu."

"Lucu, Rissa. Kerenan Parnox lah. Kau tidak lihat? Dia mengusir Blackfuror menggunakan satu jentikan saja." Sebille tidak mau kalah. Ini perdebatan umum di kalangan perempuan. Di bumi ini disebut, adu keterampilan doimu!

"Houri lebih keren!" Begitupun Rissa.

Tanpa mereka sadari, dua peri yang mereka debatkan bersin di seberang sana. Kenapa, ya? Apa ada yang membicarakan mereka? Iya, ada! Di depanku nih pelaku-pelakunya.

"Aku mau mampir ke perpustakaan dulu."

*

Tak sengaja aku bertemu Sina. Dia kebetulan melewati koridor yang sama denganku. Dia sudah naik ke kelas Supreme begitu aku dan teman-teman masuk Senior. Sina murid yang gercep! Tidak mau tersaingi olehku.

"Mau ke perpustakaan lagi, Dandi?"

"Yeah, kau tahu aku, Melusina." Kepalaku menoleh ke gadis di sebelahnya. "Siapa dia?"

"Ah, dia Linda. Partner sebangkuku." Sina tersenyum. "Dia Verdandi, teman yang sering kubicarakan. Kau pastilah tahu kalau dia—"

Linda melengos pergi bahkan Sina belum menyempurnakan perkataannya. Saat melewatiku, entah sengaja atau tidak, dia menabrak pundakku, menatapku sinis.

"Swift Growers, kan? Aku tahu."

"Linda! Aduh, kau ini! Eh, Dandi. Aku pergi dulu. Sampai nanti." Sina menyempatkan diri melambai padaku sebelum menyusul Linda. "Kau kenapa sih? Bukankah tadi sudah kubilang Dandi itu baik. Kau tak sopan, Lin."

Sepertinya Linda tidak menyukaiku. Yah, tidak masalah deh. Aku kan cerewet. Di Bumi saja banyak yang langsung menjauh ketika aku bergabung ke rumpian mereka. Atau pura-pura bikin alasan: eh, ke kantin yuk.

Aku masuk ke dalam perpustakaan, tertahan di ambang pintu demi melihat Rinvi sedang berbicara dengan seorang cewek. Wohoho, ngapain tuh mereka? Apa itu pacar Rinvi? Peri ternyata bisa menjalin asmara heh. Daebak.

"T-terima kasih, Kak Rinvi. Aku pergi dulu."

"Kembali." Rinvi mengangguk, tersenyum.

Gadis itu pun keluar dari perpustakaan usai membungkuk hormat kepadaku. Wah, dia sopan. Aku mendekat ke arah Rinvi sembari terus memperhatikan pintu. "Siapa dia?"

"Gee. Dia peri pemula. Aku menemukannya kemarin saat kembali dari kamar kesehatan."

"Kalau sudah ada peri pemula, itu berarti Kebun Dandelion sudah pulih?" Aku menyengir melihat Rinvi mengangguk.

Kalau begitu kelas Newbie akan bertambah. Senang deh Madam Allura punya pekerjaan. Aku khawatir mantan guruku itu bosan tidak ada murid baru yang bisa diajari terbang.

Rinvi selesai menyusun buku-buku di rak nomor delapan. "Jadi, mau baca apa kali ini?"

"Eh, tidak. Aku ingin bertanya sesuatu. Umm... Apakah ada peri yang berkekuatan ganda? Maksudku, punya dua kekuatan."

"Ada, Ketua Parnox salah satunya. Dia Double Power. Kekuatan pertama Teleportation, satu lagi masih rahasia." Rinvi menjawab ringan.

Hee... Jadi si angkuh petantang-petenteng itu punya dua kekuatan? Aku penasaran... Aih! Yang kukepokan itu Kala bukan dia—Aih! Kenapa pula aku harus mengkepokan Kala si dingin tak berperasaan itu. Mending aku mikirin bagaimana cara tumbuh lebih kuat.

"Apakah ada buku yang menarik, Rinvi?"

"Tidak." Rinvi sudah merekomendasikan semua bacaan bagus padaku. "Maaf, Verdandi. Stok buku kita terbatas karena masalah Pohon Neraida. Sumber pengetahuan dari sana."

"Bukan salahmu kok... Ng?" Mataku terarah ke buku lusuh dengan judul 'Klan Penyihir'. Aku mengambilnya, terbatuk-batuk. "Dih! Buku ini berdebu sekali. Tak kau bersihkan?"

Detik itu juga raut wajah Rinvi berubah tak senang. Aku menelah ludah. Kenapa? Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?

Dia merebut paksa buku itu. "Ternyata masih ada sisa-sisa Klan Penyihir di sini. Kukira penjaga perpustakaan terdahulu sudah membakar semuanya." Rinvi menerbitkan senyuman khasnya yang menurutku beda sensasi. "Maaf atas ketidaknyamanannya, Ver."

Apa itu barusan? Rinvi membuatku ngeri.

+

AUTHOR PoV

Sore hari, Kala menikmati pemandangan di padang alang-alang. Rebahan santai tanpa beban pikiran. Peri-peri cewek yang terbang di sekitar sana mencuri pandang ke Kala. Tapi lelaki itu tak menggubris. Mode save energy.

"Hei, kau meninggalkan sesuatu."

Belum sempurna kepala Kala tertoleh, Rinvi sudah melempar buku tebal tentang 'Klan Penyihir'. Kala mengangkat tangan. Buku tersebut melayang-layang oleh topan mini.

Rinvi bersedekap. "Apa yang kau pikirkan? Kau jadi gegabah sejak ada Verdandi, Kal."

"Kenapa kau bawa kembali?" Padahal Kala sengaja meletakkannya di sana.

"Tunggu dulu... Kau suka sama Dandi sampai sudah menaruh kepercayaan padanya secepat ini?" ledek Rinvi, memicingkan mata curiga. "Ekspresimu memang selalu datar, namun kau tak bisa menyembunyikan isi hatimu dari pandanganmu. Tatapan yang super hangat."

"Bukan urusanmu." Kala mendengus masam.

"Jadi benar?" Rinvi menutup mulut lebay.

Aish. Kala baru saja ingin menepuk kepala Rinvi dengan buku tebal itu, namun dia tahan karena terdengar suara keributan di akademi. Mereka saling tatap, bergegas ke sana.

"APA?! Verdandi menghilang?"

"Dia tidak ada di mana-mana sejak dua jam lalu, Madam Veela." Sina menjelaskan dengan nada gusar. "Terakhir kami melihatnya dia hendak ke perpustakaan. Tapi dia tak ada di sana."

"Jangan-jangan Blackfuror sudah...?!"

Kala menatap Rinvi tajam. Rinvi paham arti tatapan itu. "Dandi memang masih di pustaka saat aku keluar. Dia bilang ada yang ingin dia baca. Ck, inilah mengapa aku menyarankan agar perpustakaan diberi pelindung."

Mengepalkan tangan, Kala pun keluar dari semak kerumunan. Rinvi bergegas mencegat. "Jangan sampai ketahuan," bisiknya serius, mengambil alih buku di pegangan Kala.

Kala mengangguk pelan, menggumamkan sesuatu dan dia menghilang dari sana berkat bantuan Rinvi yang mau menutupi tubuhnya.

Eh, apa? Bukannya kekuatannya angin—

*

Sesak. Aku terbangun karena tidak mendapatkan pasokan oksigen yang cukup. Begitu memperhatikan sekeliling, eh, ini di mana? Aku berada di tempat kecil seperti kotak kubus nan temaram cahaya.

Apa yang terjadi? Ingatanku kembali ke perpustakaan. Setelah Rinvi pergi, setitik cahaya putih muncul di wajahku. Aku terhipnotis dan mengikuti cahaya tersebut.

Aku tak bisa menggerakkan tubuh karena terbatasnya tempat itu. Napasku mulai menderu. Aku tak bercanda saat bilang pobia ruang sempit pada Rinvi. Itu kenyataan. Dulu pas SMP, orang-orang yang tidak menyukai sifatku iseng mengurungku ke lemari loker. Mulai dari sanalah trauma ini muncul.

"H-halo? Apa ada orang di sana? Siapa pun? Tolong! Aku terjebak!" Sayapku terjepit dan sakit rasanya. Aku harus cepat keluar dari sini! Jangankan keluar, memakai kekuatan pun hanya akan membahayakan diri sendiri.

Tiga menit berlalu, terkurung entah di mana, pakaianku sudah basah kuyup. Aku tercekik. Mataku memanas. Air pertamaku meluncur ketika aku teringat lagi insiden loker itu.

"Tolong keluarkan aku dari sini..."

Klek! Klek! Brak!

Terdengar suara bantingan. Aku mengerjap menyesuaikan pencahayaan. Tangisanku bukannya berhenti, malah menderas melihat sosok yang membukakan ruang terkutuk ini.

"Kau ke mana saja? Kau membuatku—"

Aku memotong karena aku menghambur memeluknya. "Mama... Mama..." igauku tidak ngeh yang kupeluk itu bukan ibuku, melainkan orang lain yang paling kukenal: Kala. Aku tak peduli rasa malu yang mendera nantinya karena aku lagi ketakutan sekarang.

Aku pikir aku akan mati di kotak itu.

"Apa yang terjadi?" tanya Kala hati-hati.

"Aku mau pulang." Jawabanku melenceng.
"Aku tidak mau di sini. Aku mau pulang. Kala, apa kau bisa memulangkanku ke orangtuaku? Kau peri penanggung jawabku, kan?! Aku mau pulang! Kembalikan aku ke tempat asalku!"

Setelah aku mengatakan semua unek-unekku, mataku membulat sempurna, refleks melepaskan pelukanku, mengusap air mata di pelupuk. G-gawat, tanpa sadar aku mengaku pada Kala kalau aku bukan dari dunia ini.

B-bagaimana kalau dia memberitahu peri-peri yang lain? Apa aku akan dianggap mata-mata musuh lantas dibunuh? Dirajam? Mulut sialan!

"Aku," Kala membuka mulut yang membuat jantungku mencelus. Dia menatapku datar.

"Tahu kau tidak berasal dari dunia ini."




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro