11* The Fairy & The Wizard

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku tahu kau bukan dari dunia ini."

Entahlah aku harus lega dengan lanjutan kalimat Kala yang berpotensi aku bisa pulang atau harus lega aku selamat dari rajaman akademi. Aku menghapus semua air mataku, menatapnya intens. "Kau sungguh tahu?"

"Peri tidak memiliki orangtua. Barusan..."

Mukaku memerah seperti kepiting rebus. Ingatan beberapa detik lalu menelusuk ke benakku. Refleks aku mengalihkan perhatian. Astaga! Bodoh kau, Verdandi! Bisa-bisanya kau memeluk seorang laki-laki selain Papa.

"Kau dengar?" Aku memperhatikan Kala lewat sela jari. "Peri tak punya orangtua. Lalu barusan kau memanggil-manggil ibumu."

Aish. Aku menghela napas lega. Kukira dia akan membahas soal aku memeluknya di luar kesadaran, ternyata tentang igauanku. Tapi, tunggu, peri tidak punya ayah atau ibu? Itu terdengar agak menyedihkan.

"Kau dari mana sebenarnya?"

"Bumi," balasku cepat. Aku tidak bisa tidak mempercayai Kala merujuk dia penanggung jawabku. Jadi kuputuskan berbicara. "Ada portal aneh di hutan belakang sekolahku. Aku yang sombong menyentuh portal itu dengan sengaja lalu jatuh... Yah, kau tahu lah." Malu juga mengingat pertama kali kami bertemu.

"Bumi." Kala bergumam sendiri.

"Kau bisa mengembalikanku kan, Kala? Tapi sebelum itu, apa kau mau janji denganku agar merahasiakan ini dari siapa pun? Aku takut apa yang akan terjadi jika Fairyda tahu kalau aku bukan bagian dari mereka sejak awal."

Ekspresi Kala dingin. Dia melipat tangan. "Kau tak percaya padaku?" katanya sinis.

"A-aku tidak bilang begitu..." Mati aku. Dia tidak tersinggung, kan? "Jangan ngambek."

"Kau bisa memegang rahasiaku sebagai jaminan," sambung Kala sekenanya.

Mulutku ternganga. Dia... dia benar-benar Kala si pria dingin yang setiap hari menjawab ala kadarnya itu, kan? Yang selalu bikin tensi naik bahkan Parnox menyerah padanya? Atau dia mau main rahasia-rahasiaan denganku?

"Memangnya kau punya rahasia apa selain kau yang ngotot menyembunyikan kekuatan? Atau ada suatu alasan bagus di baliknya?" Ini sepertinya menarik. Dia masih punya misteri.

"Aku sebenarnya penyihir."

Kala adalah Kala. Di luar sifat dinginnya, dia  tidak suka melanggar ucapan sendiri. Kala menyampaikannya tanpa segelintir rasa ragu, berbicara dengan nada lurus. Aku merasa bersalah karena sesaat sempat meraguinya.

Hening sejurus kemudian.

Aku tidak tahu apa yang sedang Kala pikirkan, yang jelas aku tengah bergumul dengan otak picikku. Apa? Apa? Dia seorang penyihir? Itu salah satu bangsa di dunia ini, kan? Kenapa ada penyihir di Klan Peri? Apa diperbolehkan? Dipikir secara logis tidak kali ya. Sebab kalau diizinkan, tak mungkin dia merahasiakannya.

Deretan pertanyaan demi pertanyaan tak mau berhenti muncul, tercurah seperti air terjun. Kala penyihir... dia penyihir, bukan peri. Seorang penyihir yang akrab dengan mantra dan ramuan. Kala dari Klan Penyihir.

"Kau tahu rahasiaku aku tahu rahasiamu." Kala beranjak berdiri. "Adil, bukan? Sekarang pulang. Banyak yang mencemaskanmu."

"T-tapi Kala...! Apa kau tidak masalah memberitahu rahasia sebesar ini padaku?"

"Kau takkan membongkarnya."

Fuah, pede sekali pria ini. Aku mendengus masam. "Yakin sekali, heh." Well, aku juga tak ada niatan memberitahu siapa pun.

Ini hanya rahasia kami berdua.

*

"Dandi! Kau ke mana saja?! Peri-peri Adept mengeluarkan laporan terbaru. Di Blackfuror ada peri berkemampuan hipnotis dan kami pikir dia telah menyerangmu!" Sebille menyambut kepulanganku dengan hidung kedat serta mata merah. "Kau tak apa, kan?"

Mataku berair panas. Aduh. Mengingat kemampuan Sebille itu pasif, tanpa sadar aku menangis lagi. Jadi benar aku kena hipnotis.

"Untung Kala tak terlambat menemukanmu. Kalau telat beberapa menit saja, mereka pasti sudah mencuri sayap dan kekuatanmu." Madam Veela memijat pangkal hidung.

Aku mengerjap, menatap Kala yang menguap ngantuk. Dia masih di Senior, kan? Tidak mau naik kelas. Kalau begitu aku bisa bertemu dengannya setiap hari dong... Ah, Verdandi! Apa yang baru saja kau pikirkan hah?! Sekelas dengan Kala memangnya penting? Malunya.

"Ini rumit, Veela." Master Wodah bergabung. Dia guru kelas apa, ya? Supreme kali. Aku hanya dengar namanya dari celetukan Cleon. "Kita harus mempercepat acara Gladi Perang untuk mengembangkan kekuatan para peri. Ada dua yang harus kita lindungi. Kita harus menambah peri perang secepat mungkin."

Madam Veela mengangguk. "Kau benar, Wodah. Kita akan membicarakan ini dengan semua guru. Kalian, kembalilah ke kamar."

Aku masih ingin berbicara dengan Kala, namun punggungnya sudah tidak terlihat lagi.

Apa dia benar-benar seorang penyihir?

"Verdandi, ayo. Ini sudah pukul sembilan malam. Kau tidak mengantuk?" Rissa dan Sebille memanggilku. Mau tak mau aku terbang menyusul. Sayapku tidak sakit lagi.

*

Sina mampir sebelum aku mematikan lampu kamar. Dia mengungkap nama peri yang menyerangku, Hayno. Hypnosis. Huh! Bisa ya nama kekuatan dan pemiliknya serasi.

Didengar dari namanya, sepertinya dia pria. Cih! Menyerang diam-diam, targetnya perempuan lagi. Tidak tahu malu. Aku akan balas dendam dengannya. Berani sekali dia mengurungku di tempat sempit, pobiaku.

Puf! Puf! Puf!

Huh? Suara apa? Aku menoleh. Bunga-bunga di pot kamar mekar serempak—aku selalu menanam bunga di kamar untuk latihan. Aneh. Padahal aku kan tidak mengaktifkan Swift Growers-ku. Kenapa bisa mekar? Tunggu, mungkinkah kekuatanku telah naik tingkat?

Tok! Tok! Tok! Pintu kamarku diketuk.

Aku menurunkan pot yang kupegang, beralih membuka pintu. "Malam, Madam Shayla. Apa yang membuat anda datang kemari..."

"Ada yang ingin kukatakan padamu, Dandi. Aku dengar kau Swift Growers. Itu berarti kau sudah tahu kan kalau kau diincar?"

"Saya sudah diserang dua kali." Eh, tiga lah ya. Sama hipnotis Hayno. "Ada apa, Madam?"

"Kuperingatkan padamu, jangan coba-coba menumbuhkan Pohon Neraida sebelum kita benar-benar mengalahkan Blackfuror sepenuhnya. Itu berbahaya. Kau tahu kan mereka seperti kita? Punya batas dalam terbang. Jika batas itu dilenyapkan, mereka akan mengacau ke kawasan bangsa lain dan kita yang akan kena getahnya. Paham?"

Aku meneguk air ludah kasar. Mengangguk patah-patah. Banyaknya peraturan di sini.

"Lalu, sepertinya ada yang membebani pikiranmu." Beliau melipat tangan ke dada. "Apa kau menyembunyikan sesuatu?"

"Begini, Madam, apa anda tahu Kala..." Aku teringat janji kami. Saling menjaga rahasia masing-masing. Kuputuskan menggeleng. "Tidak jadi. Saya ingin berkembang, Madam, supaya bisa ikut bertarung dalam perang."

"Maka belajarlah dengan baik. Perhatikan penjelasan gurumu. Jangan sungkan untuk bertanya. Bukankah itu keahlianmu?"

Aku tersenyum mantap. "Benar, Madam."

*

Kemarin peresmianku masuk Senior tertunda karena si brengsek Hayno. Maka dari itu aku datang lebih awal ke kelas. Baru tiga peri yang hadir di kelas dan aku tak mengenali mereka. Haruskah kusapa? Mengenalkan diri? Eh, tapi siapa yang tidak tahu sama Swift Growers. Terkadang kekuatan ini menyebalkan juga. Aku kan tidak mau jadi murid mencolok.

"Hai! Kau Verdandi, kan?" sapa seseorang menepuk bahuku. "Benar dong. Sina sering membicarakan tentang temannya. Tidak ada yang tidak tahu rupa Verdandi di kelas ini."

Hatiku terenyuh mendengarnya. Ah, Sina memang bestie-ku yang terbaik. Saranghae!

"Namaku Iris. Kekuatanku Rainbow Maker. Selamat sudah masuk kelas Senior, Dandi. Kita akan menderita bersama-sama di sini."

Aku menyambut ulurannya. "Hai, Iris. Pantas saja rambutmu warna-warni," kataku menggaruk telapak tangan. Apa ini, kenapa tiba-tiba terasa gatal? Mataku melotot melihat cat ungu menempel di tanganku.

"Hehe, kena kau!" Iris menyengir kuda, kabur. "Warna ungu di pelangi-ku akan membuat gatal selama dua jam. Selamat garuk-garuk!"

Ya ampun, dia mengerjaiku?! Di hari pertama kami berkenalan? Wah, tak boleh jadi nih.

"Maafkan Iris," cetus laki-laki yang tiba bersamanya. Dia menghela napas. "Anak itu memang suka membuat onar. Aku Mamoru."

Aku terkekeh santai sambil terus menggaruk tangan. "Tidak apa, Mamoru." Aku sudah biasa diisengin. Lagi pula candaan Iris tidak berlebihan, tak sampai membuatku trauma seperti di SMP dulu. Kenangan pahitku.

"Dandi!" Sebille mendekatiku dengan langkah sebal. "Kenapa kau duluan ke kelas, heh? Aku menunggu di depan kamarmu tahu. Puh."

"Maaf, Sebille. Aku kelewat antusias."

"Kau berbicara sama siapa... Oh, Mamoru rupanya." Aku mengernyit akan perbedaan gestur tubuh Sebille ketika melihat Mamoru yang tersenyum bingung. Aku menyeringai. Hoo, sepertinya aku tahu apa yang terjadi.

Ekhem. Aku sengaja berdeham. "Katanya ada yang lagi suka sama Ketua Parnox," godaku genit. "Ternyata sudah pindah haluan."

"Eh!" Sebille melotot, memukul lenganku. "Apa sih, Verdandi? Bukan begitu!"

Aku tertawa jenaka. Baiklah. Aku berhenti menggoda Sebille, menatap ke sekeliling. "Ngomong-ngomong, aku tak melihat Kala. Jam berapa biasanya dia datang?"

"Ah, kau belum tahu, Verdandi? Dini hari tadi Kala mengikuti ujian pribadi dengan Madam Veela. Simsalabim, dia lulus dengan mudah ke Supreme. Tidak biasanya Kala berambisi."

Iris terbang mendekat. "Benar. Kalian tahu lah sifatnya, dingin. Dia bilang dia malas naik kelas, eh tahu-tahunya sudah Supreme."

Kenapa, ya? Bukan karenaku, kan?

"Apa saja yang kalian tahu tentang Klan Penyihir?" kataku mengganti topik obrolan.

Sayangnya aku memilih topik yang salah, kurasa. Lihatlah pandangan mereka bertiga, seketika tidak nyaman. Aku menahan napas. "K-kenapa? Ada apa?" tanyaku takut-takut.

"Kita tidak boleh membicarakan Klan Penyihir di sini, Verdandi. Itu sangat dilarang."

"Kenapa? Apa peri dan penyihir bermusuh—"

"Cukup, Verdandi. Kami tahu kau adalah peri paling kepo. Tanyakan apa pun selain Klan Penyihir kalau kau tidak ingin dikeluarkan."

Aku terdiam. Tidak membuka suara lagi. Bertanya satu pertanyaan saja sudah begini reaksi mereka, bagaimana kalau mereka sampai tahu ada penyihir di akademi (Kala)?

*

Kira-kira apa alasan mereka seperti itu, ya? Sebille yang riang juga sensitif saat aku bertanya soal Klan Penyihir. Apakah bangsa penyihir suatu pamali di sini? Rinvi kemarin juga bereaksi sama. Aku penasaran sih, tapi aku harus menahan rasa ingin tahuku.

Semoga saja Rinvi belum membuang buku Klan Penyihir yang kulihat kemarin.

Hm? Aku memicing, dikejutkan dengan sosok Linda tengah mengintip di luar perpustakaan. Apa yang dia lakukan? Dia bahkan tidak sadar aku berdiri di sampingnya. Ada Gee dan Rinvi di dalam. Linda sedang meng-stalker?

"Linda, kau naksir sama Rinvi ya?"

Dari sekian banyaknya bentuk kaget seseorang, ini pertama kalinya aku menyesal telah mengejutkan Linda. Sebuah tombak keluar dari tangannya, melesat ke arahku, terpancang ke dinding. Glek! Terpisah satu senti antara benda itu dengan leherku.

"Kau ternyata," decak Linda tak merasa bersalah sedikit pun. Itu membuatku sedikit kesal. Paling minta maaf atau apa kek gitu.

Lalu, apa kekuatannya? Membuat tombak?

"Maaf," kata Linda merubah pikiranku. "Aku jengkel dengan gadis yang Rinvi temukan dan tanpa sadar melampiaskannya padamu. Maaf juga kemarin aku bersikap tidak sopan."

Dia pun terbang, pergi dari perpustakaan.

Hhmmm-mmm. Linda tak membantah celetukanku. Jadi, dia benar-benar naksir sama Rinvi? Cowok satu itu memang cukup unik sih. Aku pribadi hampir tertarik padanya kalau bukan penganut aliran jomblo dari lahir.

Aku masuk dengan langkah percaya diri, tak seperti sebelumnya canggung karena menciduk Rinvi berduaan sama Gee. Lagi pula Rinvi kan temanku, untuk apa aku malu?

"Verdandi, kau baik-baik saja? Kudengar kemarin kau diserang Hayno. Maaf aku lalai dan tidak memperhatikanmu."

"Tidak apa. Ada Kala." Aku mengulurkan tanganku yang masih bernoda ungu. "Aku dijahili oleh Rainbow Maker. Warna ungu membuat gatal-gatal. Bisa kau sembuhkan?"

Rinvi tidak keberatan, memegang tanganku. "Kau tahu? Kalimatmu 'ada Kala' terdengar seperti kau memiliki ksatria penjaga—Duk!" Laki-laki itu meringis memegang perutnya yang kutinju, terduduk lemas. "K-kuatnya."

Gee menutup mulut kaget. "Kak Rinvi...!"

"Jangan menggodaku. Kala kan orang yang menemukanku. Sudah kewajibannya dong melindungi Junior-nya." Aku mendengus.

"Kenapa kau terdengar bangga begitu? Kau senang peri penanggung jawabmu Kala—"

"SUDAH KUBILANG BUKAN BEGITU!" Aku memukul, menjambak, menonjok. Bukannya berhenti, Rinvi justru makin menjadi-jadi menggodaku. Mengatakan omong kosong.

Gee sebenarnya tidak mau mengganggu 'obrolan' kami, namun dia memberanikan diri untuk menegur. "J-jangan pukuli Kak Rinvi!"

"Kau lihat sendiri kan, Gee? Dia duluan yang mulai! Aku korban," sergahku membela diri.

"Kak Rinvi juga, jangan menggoda orang."

Aku berdiri dengan dengusan masam. "Sudahlah, niat membacaku hilang. Aku pergi!" kataku keluar dari perpustakaan.

"Dasar tukang merajuk. Cewek banget."

Keributan barusan sengaja aku buat untuk mengalihkan perhatian mereka. Kukeluarkan buku 'Klan Penyihir' dari jubah, tertawa kecil. Aku melihat buku ini tergeletak di meja belakang Rinvi, syukurlah belum dibakar. Mau tak mau aku mencari masalah agar aku bisa mengambil buku ini secara alami. Pintar aku!

Tanpa basa-basi, aku pun terbang menuju tempat dimana aku jatuh ke dunia ini.






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro