Chp 152. Buah Ide yang Langsung Lenyap

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"M-Maehwa? Kau benar-benar Maehwa?"

"Umm, ya. Kurasa begitu."

Demi kerang ajaib! Apakah Yeosu sedang bermimpi sekarang? Gadis itu menampar pipinya. Sakit, bukan mimpi. Inikah yang dimaksud kemalangan membawa keberuntungan?! Dia bertemu... bertemu Maehwa! Maehwa asli yang bisa dipegang!

Di sisi lain, Maehwa bingung sendiri dengan perkataannya barusan. Kenapa dia menjawabnya ambigu begitu? Memangnya ada Maehwa lain selain dia? Terlalu banyak beban pikiran membuatnya kebingungan memilih kata-kata.

"Maehwa! Bolehkah aku menyentuhmu??"

"Tapi kau sudah menyentuhku dari tadi, Siswa."

Oh, benar! Dia baru sadar. Kembang api seketika meletus di kepala Yeosu demi merasakan kelembutan tangan Maehwa. Wajahnya memerah, menggebu-gebu, berbunga-bunga. Segala macam bentuk euforia menyelimutinya.

Tidak, tunggu dulu. Ini perbuatan salah.

Yeosu segera melepaskan pegangannya. Ingatlah, dia bukan fans mesum ataupun fanatik. Dia adalah fans profesional. Jangan melewati batas dan jangan sampai membuat Maehwa merasa ngeri.

Lengang sejenak di antara mereka. Yeosu bingung mau melontarkan topik apa, takutnya tidak nyambung. Padahal biasnya berdiri di depannya, namun pikirannya malah kosong. Pikirkan sesuatu dong! Jangan keasyikan melihat wajah tampannya! Nanti wajah Maehwa bisa bolong dipelototi melulu.

Tapi... Yeosu melirik Maehwa yang menggaruk kepala. Ahh!!! Tetap saja Yeosu kesulitan menahan hasratnya untuk memeluk pria itu! Maehwa tiga kali lipat lebih manis dilihat dari dekat!

Tanda tangan! Paling tidak Yeosu harus mendapatkan tanda tangan idolanya untuk dipamerkan ke Narae dan teman-temannya agar mereka percaya Yeosu bertemu dengan Maehwa. Jika tidak, mereka pasti akan mengatai Yeosu halu.

Tapi, astaga, Yeosu meninggalkan tasnya. Kalau begitu di ponsel! Yeosu menepuk dahi. Aduh, dia juga meninggalkan smartphone-nya. Bagaimana ini? Bagaimana cara dia mendapatkan bukti?

"Omong-omong, Siswa..."

Deg! Yeosu menegang di tempat, tidak menyangka Maehwa mengajaknya bicara terlebih dahulu. Apa, apa yang mau dia katakan?? Arghh!! Yeosu tidak bisa melihat matanya! Berbahaya untuk jantung Yeosu. Mata merah itu sangat menggoda.

"A-aku punya nama... Namaku Kim Yeosu..."

"Ah, maafkan aku! Kau pasti tidak nyaman aku memanggilmu siswa-siswa dari tadi." Seharusnya Maehwa lebih cepat membaca nametag di seragam gadis itu, namun pikirannya bercabang.

Yeosu menggeleng cepat. "Tidak usah minta maaf segala! Maehwa tidak membuat kesalahan kok! K-kau sepertinya punya pertanyaan! Tolong katakan saja, jangan sungkan-sungkan! Apalagi ditarik! Aku tidak suka digantung begini!"

Kenapa dia bicara sepotong-sepotong begitu...

"Yah, aku hanya penasaran kenapa kau menangis barusan. Ada yang menyakitimu?"

Benar juga. Saking senangnya bertemu idolanya, Yeosu sejenak lupa akan masalahnya. Dia kembali menunduk murung membuat Maehwa merasa menyesal telah bertanya. Duh, apa ini pertanyaan sensitif? Seharusnya Maehwa diam saja tadi.

Perlahan namun pasti, Yeosu pun menceritakan masalah yang terjadi di rumahnya. Tentang sang ayah yang bersikeras menjodohkannya. Dia tidak tahu apa yang dia pikirkan sampai mencurahkan isi hatinya ke pria itu, namun entah kenapa Yeosu merasakan aura orang dewasa dari Maehwa padahal umur mereka hanya terpaut empat tahun.

"Maehwa... apa kau pernah bertengkar dengan orangtuamu sampai kabur dari rumah?"

Melihat Maehwa menggeleng membuat senyuman Yeosu merekah. Idolanya memang hebat! Apakah Maehwa anak yang berbakti—

"Orangtuaku membuangku ke panti asuhan sejak bayi. Aku tidak tahu definisi keluarga."

Ah?! Gawat, Yeosu membuat kesalahan. Dia tergesa-gesa berdiri. Matanya berkaca-kaca. "Maaf! Maafkan aku, Maehwa! Aku tidak tahu..."

"Hei, rileks saja. Aku takkan memakanmu. Lagipula itu bukan salahmu. Kenapa minta maaf?"

Lagi-lagi hening, menyisakan suara debur ombak.

"Menurutmu... apa aku anak durhaka?"

"Tidak, kau sudah melakukan hal benar. Itu bukan kedurhakaan. Taat dan berbakti kepada orangtua ada batasannya. Bukan hal yang egois jika kau mencintai diri sendiri, perhatian pada diri sendiri dan membuat kebahagiaanmu menjadi prioritasmu. Rasa senang adalah kebutuhan manusia."

Yang salah adalah cara Nang-In mendidik putrinya, menganggap enteng suatu pernikahan hanya karena materi. Memaksakan kehendak adalah cara yang salah dalam membesarkan anak. Itu hanya akan menurun hingga di masa depan anaknya akan menjadi orang dewasa yang jahat.

"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku terlalu takut menghadap ayahku..."

Maehwa menghela napas pendek, ikut berdiri. Dia menepuk kepala Yeosu. "Milikilah keberanian untuk mendapatkan kebebasan. Hanya kau yang bisa menggenggam kebebasanmu, bukan orang lain."

Yeosu mengusap wajahnya. "Maaf. Aku benar-benar minta maaf mewakili ayahku telah membuat rumor tidak perlu tentangmu. Yang kulakukan hanyalah mendukungmu... Tapi entah kenapa ayahku sangat membencinya..." Aku takkan pernah mencuci rambut seumur hidup! sambungnya dalam hati.

"Kau tidak perlu khawatir tentang rumor lipsync yang dibuat oleh ayahmu. Aku akan mengatasinya."

Maehwa memandangi lautan biru yang luas. Angin sepoi-sepoi mengembus pepohonan, merontokkan dedaunan. Adegan ditabrak truk berputar kembali ke benaknya, namun Maehwa menggeleng cepat. Membuang jauh-jauh kenangan menyakitkan itu. Dia tidak ingin punya kenangan buruk dengan Pulau Jeju yang indah dan cantik ini.

"Kalau begitu aku akan pulang!" Maehwa menatap Yeosu yang tersenyum mantap. "Kabur seperti ini adalah tindakan tak bertanggung jawab dan kekanak-kanakan. Aku akan berbicara dengan ayah. Bahkan kalau suasananya mendukung, aku akan membuat ayah menarik postingan itu."

Yeosu menatap Maehwa malu-malu. "M-Maehwa sendiri harus tetap semangat ya! Aku menantikan performamu yang berikutnya. S-sampai jumpa!"

Terus terang, Yeosu ingin mengambil daun yang menempel di rambut Maehwa. Tapi dia biarkan karena Maehwa terlihat imut.

"Jangan berlari menuruni jalan curam! Nanti kau terjatuh, Yeosu!" Maehwa berseru mengingatkan.

Yeosu mengacungkan jempol. Dalam hati berteriak senang karena Maehwa memanggil namanya. Jadi begini rasanya dipanggil bias?! Rasanya ditembak oleh selusin panah cinta.

Maehwa mengembuskan napas panjang.

"Dia sampai seperti itu karena mendukungku. Aku harus melakukan sesuatu. Aku tidak bisa diam saja menunggu Danyi tanpa kepastian begini."

Keluarga... Kesedihan... Anak...

Ng? Maehwa mendongak merasakan sesuatu yang hebat. Sebuah lampu kuning terang keluar dari kepalanya. Muncul! Akhirnya muncul! Memang ya, ide selalu keluar saat situasi mendesak.

Baru saja Maehwa ingin mengambil lampu petunjuk, seekor burung camar lebih dulu merebutnya dengan cakar kakinya. Pergi ke arah laut.

"Tidak... ANDWE!! KEMBALIKAN BUAH IDEKU!"

Maehwa terduduk lebay. Kenapa hal ini selalu terjadi? Kenapa setiap Maehwa mendapatkan ide, selalu saja ada yang menganggunya? Pertama Yihyun, sekarang burung. Dasar menyebalkannn!!!

Danyi yang menyaksikan semuanya di belakang, hanya bisa menutup wajah malu. "Kenapa aku punya kontraktor menyedihkan sepertinya?"

Sibuk menangis (palsu), Maehwa mendengar suara recok dari bawah. Dia menoleh. "Ohh!!!"

Itu Jun-oh, kan? Eh, eh, apa yang sedang dilakukan Jun-oh di Pulau Jeju? Apakah dia juga cari referensi di sini sama halnya dengan tim Maehwa? Siapa wanita paruh baya di dekatnya itu?

"Sudah kubilang, jangan pernah muncul di depanku! Kau bukan anakku lagi! Pergi! Enyahlah!"

Wanita itu... ibunya Jun-oh?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro