chapter 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menatap langit-langit kamar.

Jadi Northa atasan bosku? Dia sekaya apa sih. Guardiola kan perusahaan sewa pengawal yang besar di kota. Entahlah, aku harus beruntung bisa berteman dengannya atau tidak pantas.

"Memikirkan apa, Tob?" tanya Erol, menghentikan gerakannya menggesek sinar gitar. "Dahimu terlipat mulu dari tadi."

"Nggak ada." Aku menjawab seadanya. Sok keren di depanku, bikin dongkol ae nih anak.

Tok!Tok!Tok! Suara pintu kamar diketuk dari luar. Aku dan Erol menoleh. Terdengar suara ramah. "Makan malam sudah siap. Kalian diminta untuk segera turun ke ruang makan. Rombongan kalian sudah menunggu."

Eh, makan malam? Bukankah masih sekitar dua tiga jam lalu siang? Aku menatap jam dinding, melongo, mengucek mata. Astaga, sudah pukul delapan malam rupanya. Waktu bergulir tanpa disadari.

"Ayo!" ajak Erol.

Sebelum menunggu lift, mataku menyipit melihat jejak kaki di depan kamarku. Dari mana asalnya? Aku mengangkat bahu tak peduli.

Ting! Pintu lift terbuka. Aku dan Erol masuk ke dalam, menekan tombol lantai pertama. Kami tidak lagi memakai seragam sekolah, berganti dengan pakaian santai.

"Ngomong-ngomong kau dekat dengan Sanju, ya?" Erol membuka percakapan.

Lift yang kami naiki lengang sejenak.

Aku berdeham pelan. "Tidak juga." Gadis itu yang suka menempel tak jelas padaku.

"Lalu kenapa kalian barengan di mall?"

"Dia minta temani." Ck, kenapa orang ini tanya-tanya sih. Tak cukupkah kau mengambil Yume? Kini kau mau mengambil temanku juga?

"Kalian pacaran, ya?" Erol menggoda.

Oke! Dia mulai kelewatan batas. "Aku rasa kita tidak sedekat itu untuk bertanya tentang hubungan," ucapku menekankan setiap kalimat agar menamparnya.

"Kalau begitu mari kita saling akrab!" serunya di luar dugaanku. Nih cowok sarap pasti.

Untunglah aku tidak perlu repot-repot menjawabnya karena pintu lift terbuka. Kami sudah sampai di lobi.

Aku terkejut sesampai di ruang makan. Banyak petugas keamanan, sekitar enam orang, berdiri di sana. Itu seperti polisi dan beberapa orang detektif. Wajah mereka terlihat serius. Mereka sedang bertanya pada pasangan baya (suami-istri). Sang suami tengah menenangkan sang istri yang menangis terisak. Di samping mereka, berdiri lawan jenis sebaya. Si laki-laki juga sedang menenangkan si perempuan yang menangis.

Erol melangkah ke tempat teman-teman lain. Aku masih memerhatikan kumpulan orang-orang itu. "Apa yang terjadi?"

"Putri bungsu pemilik hotel diculik saat dia pulang sekolah." Ketua kelasku, Santi, yang menjawab. Dia menatap sedih. "Saksi mata mendapatkan fotonya, lalu menyerahkannya pada ayah dan ibunya. Katanya sih putri bungsu yang diculik itu masih muda, terpisah satu-dua tahun dari kita. Mereka menganggap ini akan jadi kasus pemerkosaan."

Erol terbawa suasana, ikut prihatin. Aku menyelinap ke barisan Sanju, menyikut lengannya, bertanya ada apa. Sanju menjawab singkat.

Aku mengangguk-angguk paham, ber-oh pendek, tak peduli. Begitulah sifatku. Jika tidak ada hubungan denganku atau bukan klienku, aku tidak akan ikut campur sebab itu membuang-buang tenaga.

Aku bertarung bukan untuk menjadi pahlawan. Aku berkelahi untuk melindungi orang yang harus dilindungi. Itulah moto hidupku.

"Katanya keluarga Amore adalah keluarga terkaya di wilayah ini. Mereka tajir banget. Jadi pelaku mengincar putri bungsu karena kemungkinan dia adalah pewaris hotel ini." Teman-teman lain saling berbisik. "Tapi menurutku kakak yang itu lebih cantik dari si bungsu. Kenapa dia tidak menculik kakak itu saja? Kayak bidadari sumpah! Siapa namanya? Etto... aku hanya mendengarnya sekilas tadi. Yah, siapa juga peduli soal nama."

"Harusnya mereka minta tolong pada detektif Madoka."

"Sayang sekali. Klub detektif Madoka sedang di Serene, juga menangani sebuah kasus."

Aku duduk di kursi makan, melahap jatahku. Putri bungsu, huh? Bukan urusanku. []









Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro