chapter 23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malamnya, kelasku mengadakan kegiatan api unggun di pinggir pantai. Ini hari terakhir darmawisata. Besok kami harus pulang sesuai rentang waktu yang diberikan, tiga hari dua malam.

Seperti biasa, mereka asyik berbicara dengan Erol dan Yume. Para bintang kelas. Kelihatannya mereka membicarakan kunjungan museum tadi siang dan aksi heroik Erol kemarin malam.

Aku menghela napas panjang, bangkit dari kursi. Daripada nyempil tak berguna, lebih baik aku cari warung makanan. Perutku lapar.

Setelah menemukannya, tak jauh dari hotel, aku tak sengaja melihat sekeluarga Amore bersama Anona bergabung ke kerumunan kelas. Kulihat mereka membungkukkan badan pada Erol, memberi sejumlah cepek serta berbagai upeti lainnya.

Aigoo, ckckck. Lihat mereka. Semuanya hanya berterima kasih pada Erol. Lalu bagaimana denganku? Erol tidak menangani apa pun, aku lah yang mengalahkan semua penjahat itu. Bahkan sampai Anona, yang bernotabene klienku. Aigoo, aigoo, kurasa Erol punya magnet besar di dalam dirinya. 

Apa saat itu karena dia yang maju duluan, bukan aku? Makanya mereka respek pada Erol?

Aku mendesah kasar. Harusnya aku sudah terbiasa dengan pemandangan ini, namun kenapa hatiku terasa sakit sih. Ayolah, Tobi, jangan iri. Biarkan saja dia berkembang asal tidak berkembang biak.

Tahu ah, bukan urusanku. Aku mengeluarkan ponsel. Pukul tujuh malam. "Kalau tidak salah ini jam mainnya Kapten. Bisa lah mabar."

Aku kecanduan karena selama ini aku hanya main di saturasi level rendah. Tapi semenjak aku resmi member Marmoris, wah, aku bisa merasakan suasana pemain profesional di Rank. Amat berbeda. Inikah yang dirasakan Kapten setiap hari? Tegang tapi seru?

Aku siap-siap login, namun seseorang menepuk bahuku membuatku refleks mematikan ponsel.

Ck, Erol.

"Sedang apa kau sendirian di sini? Kenapa tidak ajak teman-teman?" sapa Erol sok akrab, memandang sekeliling. "Kedai ini cenderung diisi pria dewasa. Kau tidak tertekan perbedaan umur? Kau luar biasa, Tobi."

Aku memutar bola mata. "Enyahlah," tajamku dingin, bangkit. Rasanya tak enak tidak jadi memesan. Nafsu ngemilku hilang.

"Ada yang ingin kubicarakan," cetus Erol.

Aku menatapnya.

"Soal kemarin," sambung Erol sembari memandangku. "Kau benar-benar sesuatu sekali, Tobi. Bagaimana mungkin seorang remaja SMP mengalahkan 14 mafia ditambah mafia berpostur tubuh besar dalam sekali pukul. Mendengarnya saja sudah terdengar hebat, apalagi melihatnya secara langsung."

"Aku tak ingin membahas itu."

"Apa yang sebenarnya kau sembunyikan, Tobi? Apa yang kau tunjukkan pada Kak Anrod saat itu, sampai membuatnya terdiam?"

Ck, manusia satu ini menyebalkan. Aku terpaksa duduk kembali. "Bukan. Urusanmu. Mengerti? Bisakah kau berhenti mencoba akrab denganku?"

"Apa ini ada hubungannya dengan Agen Guardiola yang dikatakan Anona? Apakah itu kau?" Erol menuding.

"Hah, dasar bebal."

"Yang kau lakukan itu salah, Tobi."

Aku mengernyit. "Salah? Di bagian mana maksudmu, huh?" Terlebih, kenapa dia menatapku dengan pandangan menghakimi?

"Kalau kau tahu kau bisa menghadapi mereka, kenapa kau harus menunggu? Kenapa kau tidak bertindak sejak awal sebelum Kak Rainna disentuh? Kenapa kau menungguku yang maju duluan?"

Aku menyentuh dada. Rasanya ada yang berpilin sakit. Erol ... apa dia sedang menyalahkanku? Tanganku terkepal. Rahangku mengeras. Mataku berkaca-kaca.

"Tindakanmu itu egois, Tobi. Kau memikirkan sebab-akibat daripada keselamatan Kak Rainna, bukankah karena itu kau ragu dan membiarkanku menyerang?"

"Tutup mulutmu."

"Aku rasa aku mengerti kenapa kau tidak suka padaku. Itu karena kau benci melihatku dekat dengan Yume. Bukan begitu—"

Lepas kontrol, aku mengantukkan kepalanya ke permukaan meja, berdiri dengan kasar sambil terus memegang rambutnya.

Orang-orang di kedai terpekik, berlarian pergi. Pria-pria dewasa yang ada di sana bersitatap bingung. Suasananya menjadi gaduh. Kegaduhannya sampai ke telinga rombongan kelasku.

Aku membanting Erol ke tumpukan bir. "Selama ini aku bersabar denganmu, namun sepertinya kau mempermainkan kesabaranku, ya?" Kutarik kerahnya supaya wajahnya menghadapku, tersenyum miring. "Padahal hanya benturan kecil, hidungmu sudah berdarah. Dasar pahlawan lemah. Kau membuatku menjadi antagonis, kau tahu?"

Kutangkap kepal tangannya yang hendak meninjuku. "Kau pikir kau bisa menyentuhku? Sadari tempatmu, Erol. Kemampuanmu masih jauh di bawahku, Serangga Sialan."

"AKU TAHU! AKU PERASAANMU! LAMPIASKAN SEMUA PADAKU! KELUARKAN SEMUANYA! JANGAN DITAHAN LAGI, TOBI!"

Bugh! Pukulan pertama.
Bugh! Pukulan kedua.

Dan ketika pukulan ketiga mendarat, anak-anak sekelasku datang melerai, menarik jauh dari Erol. Begitu pun Kak Darvan dan Kak Rainna.

"Hentikan, Tobi! Apa yang merasukimu?! Berhenti memukul Erol! Sebenarnya ada apa dengan kalian berdua?! Sudah, hentikan!"

Yume yang baru datang, diam membeku melihat Erol terbatuk-batuk, beralih menatapku yang ditarik menjauh. Dia menggeram, melangkah ke depanku.

Plak! Sebuah tamparan melayang.

Suasana hening sesaat. Erol tak sempat menjelaskan apa yang terjadi.

Aku menatap Yume tak percaya.

"Jika kau seperti ini karena masalah kita berdua, jangan libatkan Erol." Yume berkata dengan suara bergetar. "Kau kekanakan, Tobi."

Anak-anak sekelas menatapku dengan pandangan musuh. Buk Lami dan Kak Rainna memanggil ambulans sebab luka Erol serius.

Aku melangkah mundur. Lari dari sana. []




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro