chapter 25

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku tidak tahu bagaimana cara berterima kasih pada rombongan kalian atas apa yang menimpa keluarga kami lusa lalu. Kami benar-benar tertolong."

"Tidak apa, Nyonya ...."

Apa yang membuat mereka begitu lama berbicara? Aduh, aku sudah kepanasan di dalam bus nih. Mana mesin mobil belum di hidupin lagi, kan jadi tidak bisa menyalakan AC. Aish, gerah! Aku mengipasi wajah dengan tangan.

Seseorang melambaikan tangan kepadaku. Aku melongok. Oh, rupanya si Eliza (dia sudah sehat bugar). Aku membuka kaca mobil. "Ada apa, hmm?" tanyaku bertumpu ke titian jendela.

"Be-beritahu aku nomor Kakak!" Eliza berseru sembari menjinjit menyodorkan ponsel.

"Maaf?" Alisku terangkat.

"Aku menyukai Kakak!" sambungnya dengan muka merah padam. Tunggu, apa? Aku tercengang. Dia sedang confess padaku?! Seseorang tolong lempar sesuatu padaku. Pasti ada yang salah di sini.

Sanju datang mengusir—hendak naik ke busnya dan tak sengaja melihat Eliza mengoceh denganku. Dia melotot, melakukan gerakan menyalip. "Tak boleh! Kakak ganteng itu punyaku."

"Ta-tapi aku suka dia ... Kakak tidak boleh memonopoli seorang diri." Eliza menunduk lesu, cemberut.

"Kalau begitu kamu hanya boleh zona adik-kakak. Bagaimana? Keberatan? Kalau tidak mau ya sudah ...."

Eliza tersenyum cerah, memotong. "Aku mau!"

Aku berdecak ngeri. Mereka membicarakan apa sih sampai menatapku genit begitu? Tahu ah, bikin merinding. Kututup pintu jendela.

Akhirnya bus berangkat pukul sebelas.

Aku duduk nyaman di kursiku, menghela napas panjang. Dasar tak tahu terima kasih. Yang menolong siapa, yang dapat piagam siapa. Aku memutar mata malas. Sudahlah, sudahlah. Bukan urusanku lagi. Setidaknya ....

Aku tersenyum miring melihat nominal rekeningku bertambah. Paling tidak Anona menepati janjinya untuk memberiku bunga bonus. Jadi pengawal untung banyak. Aku tertawa puas dalam hati.

Ng? Aku mengerjap menoleh ke jalan. Tidak ada bus pariwisata kelas Sanju di depan. Tunggu deh. Kenapa hanya ada bus kami di jejalanan? Terlebih, entah kenapa jalan ini terlihat horor.

"Em, Tobi ...."

Aku menoleh. Ho? Ketra, Tani, dan Santi toh?

"Kami minta maaf soal semalam. Kami tidak tahu masalah kalian dan sembarang menyimpulkan. Alhasil kami menyakiti perasaanmu. Maafkan kami ya, Tobi."

Aku berdeham pendek.

Mereka pergi ke tempat Erol. "Nah, sudah puas, kan? Jangan diemin kami dong, Rol. Kami sudah minta maaf dan Tobi memaafkan kami."

Apa? Aku tergelak. Jadi, mereka minta maaf karena Erol merajuk? Hahaha lucu.

Tak sengaja aku menoleh ke bangku Yume yang terciduk memperhatikanku, dia refleks menarik badan dan wajah. Aku mengepalkan tangan. Apa dia juga ingin minta maaf demi meluruskan kesalahpahaman antara dia dan Erol?

Memuakkan. Aku tidak tahu harus sesabar apa. Aku menyeka wajah. Memang, pindah sekolah pilihan terbaik saat ini. Tidak ada yang menganggap keberadaanku.

"Tobi!" Seseorang berseru.

Aku menoleh malas kepadanya. Dia menatapku berbinar-binar. Kenapa dia memandangiku seperti itu ... Mataku terbelalak melihat ponselnya menampilkan lobi permainan Runic Chaser. Oh, astaga.

"Lho, Pak," celetuk Buk Lami mengernyit. Secara tak langsung beliau menyelamatkanku. "Kenapa kita lewat jalan sini? Bapak tidak ke jalan besar?"

"Macet, Buk. Lebih baik lewat jalan pintas."

"Tetapi orang-orang hotel bilang ...."

Yang dicemaskan Buk Lami terjadi. Bus berhenti mendadak karena gerombolan preman beramai-ramai menghadang jalan. Harusnya sebelum berangkat, Buk Lami memberitahu soal itu pada Pak Sopir.

"Wah, dapat tangkapan besar nih. Apa yang kalian tunggu? Jarah mereka."

Setiap tokoh utama dapat merasakan kapan kisahnya akan tamat. Begitupun aku. Memang singkat, namun aku senang bisa menikmatiku peranku walau sebentar.

Aku mengalami deja vu. Saat dimana, Erol lebih dulu maju demi membela teman-teman. Tidak peduli kalah atau menang, dia mengangkat tinjunya untuk melindungi Yume dan rekannya.

Aku tersenyum miris. Hatiku bertanya-tanya, kenapa seseorang tidak menyerah meski sudah tahu hasilnya? Apa mereka berpegang teguh pada pepatah: usaha takkan mengkhianati hasil? Tidak ada istimewanya bertumpu pada pepatah.

Peruntungannya 50:50. Apa realita sebaik itu? Bahkan orang sukses pun mati-matian mempertahankan kemakmurannya. Kalau kau lengah, kau kalah.

"BERHENTI! KALIAN BISA MEMBUNUHNYA!" Yume menangis kencang melihat Erol dikerubungi, dikeroyok dua puluh orang sekaligus. Dia dipukuli dengan balok kayu dan pipa besi. "Kumohon hentikan ...."

Yang ada, Yume mendapatkan tendangan di perut. Para pembegal itu takkan berbaik hati melepaskan mangsanya sebelum penjarahan selesai. Bosnya mengusai isi bus sementara anak buahnya memukuli Erol.

Yume dan anak-anak lain beralih menoleh kepadaku. Air mata mereka bercucuran. "Tobi, tolonglah Erol ... Hanya kau satu-satunya yang bisa menyelamatkannya. Tolong Erol, Tobi ... Tolong kami."

Kenapa kalian mengemis padaku? Kenapa kalian menatapku seperti itu? Ah, apa karena pahlawan tercinta kalian tak berdaya dan kalian kehilangan harapan? Hingga menoleh kepada orang yang selama ini kalian abaikan?

Aku hanya manusia. Kesabaranku ada batasnya. Maaf, namun hatiku sudah cukup merasakan ketidakadilan yang kalian berikan padaku. Hatiku sudah berteriak kesakitan. Semuanya hancur semenjak kedatangannya ke kelasku. Kau tak bisa memperbaiki piring yang pecah walau memakai lem kuat sekali pun. Pada akhirnya piring itu akan kembali berderai.

Kupakai headset-ku, menyetel lagu dengan volume paling keras, kemudian melewati mereka begitu saja tak peduli apa yang terjadi.

"Hei, hei, hei!" Bos mereka datang menahan bahuku, terkekeh. "Kau pikir kau mau ke mana?"

Tanpa sepatah kata, aku menyingkap bajuku. Mereka terbelalak, spontan melangkah mundur. Tato "G" dari Guardiola sangat efektif menggertak ketika aku tidak punya semangat berkelahi.

"Kalau begitu aku permisi."

"Tu-tunggu! Kau pergi begitu saja?! Kau takkan menolong rombonganmu?!"

Aku tersenyum miring melihat tatapan sedih yang Yume tujukan padaku. "Bukan. Mereka bukan temanku. Aku ... hanya murid yang mengikuti darmawisata. Ah, ngomong-ngomong jangan lukai guruku kalau kalian masih ingin hidup tenang. Selebihnya lakukan semau kalian. Aku takkan mengganggu karena bukan urusanku."

Setelah mengatakan itu, aku memasang kembali satu earphone-ku yang terlepas, melanjutkan langkah yang tertunda. Preman-preman itu menyeringai, juga melanjutkan aksi pembegalan.

"TOBI! TUNGGU TOBI! JANGAN PERGI!"

Jika kalian mempunyai seseorang yang berharga, alangkah baiknya menjaga orang itu. Jangan meninggalkannya hanya karena orang baru membuatmu lebih nyaman. Ingat-ingatlah kembali, sebelum orang baru datang, kepada siapa kau mencurahkan kesedihan? Kepada siapa kau bergantung? Siapa yang kau andalkan?

Dan lihatlah ulahmu sekarang, kau membuat orang yang selama ini peduli padamu tak sudi menolehkan kepala padamu lagi. Jangan coba-coba menyalahkan waktu dan keadaan. Yang salah ada dalam dirimu. Kau membuat seseorang menjadi antagonis.

Aku berhenti melangkah, menoleh ke belakang.

Tapi sayangnya ... Aku bukan antagonis. Aku protagonis. Aku lah tokoh utamanya, tidak satu pun di antara kalian. Aku terlalu baik menjadi antagonis.

"Baiklah. Mari kita selesaikan ini, Tobi. Untuk yang terakhir kalinya." Aku berkata mantap.




****THE END****

Yowes, end. Aku tak berencana membuat cerita Tobi panjang-panjang. Toh, masih banyak yang harus kuselesaikan. Lebih baik kasih open ending, no gantung-gantung. Ending yang terbuka. Ohohoho! Sampai jumpa di cerita selanjutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro