4. Frantic

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy baca 💜
Sorry for typo
.
.
.
.

Gadis murahan, perempuan gampangan, menjijikkan, hina. Semua diksi itu tidak berhenti mengepung isi kepala Hawa selama tiga bulan terakhir ini. Dia merasa jijik dengan dirinya sendiri yang tidak bisa menjaga sesuatu yang paling berharga miliknya.

Tiga bulan dijalani Hawa dengan perasaan kalut, seperti berada di tepian jurang lantas dia siap dilempar ke bawah sana. Mati mungkin lebih baik untuknya yang tidak lagi memiliki hal membanggakan lagi bagi perempuan yang masih berstatus gadis. Hawa hilang arah, jiwanya terasa kosong. Beberapa kali berupaya mengakhiri hidup, tapi takdir berkata lain, dia selamat meski berakhir di ruang IGD rumah sakit. Lebih anehnya, sesuatu yang berusaha dia hilangkan tetap utuh di tempatnya. Seakan tidak terusik sedikit pun oleh intimidasi atas tindakan nekatnya.

Tiga bulan Hawa merasa seperti jasad tanpa ruh. Melakukan semua hal dengan pikiran kacau dan limbung usai kejadian laknat malam itu. Pada akhirnya, tidak ada pilihan selain berdamai dengan keadaan, berdamai dengan apa yang telah terjadi.

Semua berawal dari insiden tiga bulan lalu. Kejadian memuakkan yang membuat Hawa terjun ke titik nadir. Dia dan Clara - temannya, bersaing merebut perhatian Vano, laki-laki yang menjadi incaran para gadis di kampus.

"Kalau Lo menang, gue bakal ngelakuin apa pun yang Lo suruh. Gitu juga sebaliknya, kalau gue yang menang, Lo harus mau ngelakuin apa pun yang gue perintahkan." Clara menjabarkan tawarannya.

Sebagai gadis yang baru beranjak dewasa, masih labil dan berapi-api, tanpa berpikir panjang Hawa mengiakan taruhan yang dicetuskan Clara.

"Asal permintaan Lo jangan yang aneh-aneh Cla," sahut Hawa santai. Dia sangat yakin, Vano pasti lebih memilihnya daripada Clara. Selama ini lelaki sepantaran dengannya itu kerapkali menemui Hawa di luar jam kuliah, meski pun sekadar meminjam catatan atau meminta tolong Hawa menyalinkan catatan untuknya. Hawa tidak keberatan, toh dengan begitu dia dan Vano bisa dekat. Ada kebanggaan tersendiri saat teman-teman perempuannya menatap iri pada Hawa yang bisa seakrab itu dengan Vano.

Waktu berlalu, tidak ada yang janggal, sampai suatu hari saat Hawa berada di kantin kampus datang Clara dan Vano bergabung di mejanya. Hawa dibuat membeliak menyaksikan polah Clara dan Vano bak sepasang kekasih. Apalagi saat matanya merekam tindakan Clara yang bergelayut manja di lengan Vano. Seolah mempertegas jika ada yang spesial di antara keduanya.

"Wa, Lo pasti belum denger kabar menghebohkan hari ini, ya?" Clara berbicara seakan-akan menyodorkan teka-teki untuk Hawa. Gelengan Hawa refleks mencuat.

"Gue sama Vano ...." Clara menjeda ucapan seraya menakar ekspresi Hawa. Tawa kecilnya menggema kemudian melanjutkan kata-kata, "Gue Sam Vano jadian," ujar Clara lantas hiperbolis sendiri.

Hawa terdiam, semua diksi di kepala Buyat tanpa permisi. Dia menggeleng, tidak percaya dengan omongan Clara.

"Hawa pasti enggak percaya kalau kita jadian, iya kan, Sayang." Clara menatap mesra Vano saat bicara. Cowo itu mengangguk di antara senyum manisnya pada Clara. Lantas, Vano pamit ke kasir untuk memesan minuman.

Kepergian Vano dimanfaatkan oleh Clara untuk bicara dengan Hawa. Tanpa basa-basi , gadis itu menagih janji pada Hawa.

"Lo kalah, Wa, sekarang Lo harus ngelakuin satu hal buat gue." Cetus Clara dibarengi senyum seringainya.

"Gimana bisa ...?" Hawa masih belum percaya sepenuhnya jika Clara yang berhasil merebut simpati dan hati Vano. Ekor matanya melirik sinis pada Clara. "Gimana bisa tiba-tiba Lo jadian sama Vano, Cla?!" Sentaknya frustrasi. "Lo pasti culas, kan?!"

Clara tertawa sumbang. "Culas?" Remehnya. "Lo aja yang selama ini kege-eran dideketin Vano, padahal dia cuma mau manfaatin Lo, Wa! Lo sendiri yang bego, asal Lo tahu, Lo itu bukan tipenya Vano."

Hawa sadar, dia memang bodoh, dia tahu selama ini hanya dimanfaatkan Vano. Seakan termakan omongannya sendiri, sekarang dia harus menanggung resiko atas janji yang diucapkan pada Clara. Mau tak mau, Hawa harus melakukan satu hal untuk Clara.

___

"Gimana kabar kamu?" Adalah preambul Elbayu ketika berhasil menghela Hawa ke meja di sudut kafe. Gadis di seberangnya masih bergeming, tapi sekilas Elbayu memindai bola mata Hawa berkaca-kaca. "Maksud saya, kenapa selama tiga bulan ini enggak ada kabar sama sekali?" Pertanyaannya menciptakan tetesan bening di kedua tebing pipi sang gadis.

Hawa menengadah, menatap Elbayu dengan pandangan buram karena tangis. "Aku udah berkali-kali telepon, tapi enggak tersambung. Berhari-hari nyoba, tapi selalu suara operator yang jawab panggilan aku."

Ingin sekali Elbayu menjambak rambutnya sendiri. Bingung dan dikepung rasa bersalah memang membuat seseorang mendadak jadi lemot, seperti dirinya kini. Tentu saja panggilan Hawa tidak tersambung, selama tiga bulan kemarin Elbayu memutuskan pindah ke luar negeri. Elbayu sudah menunggu panggilan itu, tapi hanya seminggu setelah pertemuannya dengan Hawa. Terlalu kacau isi pikiran membuatnya mengambil jalan pintas ingin pergi yang jauh dari sumber masalahnya.

"Maaf ...." Rapal Elbayu merasa bersalah. Fokusnya lantas kembali pada kondisi Hawa. Sepasang retinanya sibuk memperhatikan gadis yang mengenakan apron coklat di seberangnya itu. "Kamu baik-baik saja, kan?" Pertanyaan Elbayu mereaksi Hawa. Tatapan sang gadis membidik tepat ke dalam mata Elbayu, seakan lewat pandangan ingin menegaskan jika dia sedang tidak baik-baik saja.

Selama beberapa detik Elbayu sibuk memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi. Termasuk jika ketakutan yang selama ini menggelayut di dalam benaknya berubah menjadi kenyataan.   Beberapa detik yang akan menentukan masa depannya setelah ini. Dua kemungkinan sama-sama tidak menguntungkan. Andai Hawa tidak hamil, itu tidak lantas membuatnya bisa lari dari tanggungjawab. Sebagai laki-laki sejati, pantang bagi Elbayu Dhanunendra bersikap pecundang. Dia telah berbuat jauh, jadi segala resiko harus siap ditanggungjawabi.

"Maaf, maksud saya-"

"Aku enggak baik-baik aja!" Potong Hawa cepat. Gadis itu bukan lagi menangis dalam diam, tapi isakannya terdengar nyaring di kuping Elbayu. "Kamu enggak tahu gimana panik dan takutnya aku," sambung Hawa terbata-bata.

Elbayu menunduk, tidak ada yang tahu jika selama ini dia merasakan hal sama seperti yang Hawa jabarkan barusan. Rasanya seperti mimpi buruk. Dia mempunyai masalah besar, tapi tidak bisa diceritakan pada siapa pun, padahal Elbayu tipe laki-laki yang suka membagi cerita, terutama pada Rembulan, mamanya.

"Maaf ...." Lagi-lagi kata maaf yang mampu Elbayu ucapkan.

"Aku enggak baik-baik aja asal kamu tahu." Hawa kembali bersuara. "Bukan cuma aku, tapi ...." Ada jeda dalam kalimatnya. Hawa menekuri raut lawan bicaranya sembari menakar ekspresi Elbayu. Rasa bersalah tergambar jelas di kedua mata Elbayu yang memancar redup.

"Bukan cuma aku yang enggak baik-baik aja, tapi anak ini juga." Hawa berbicara seraya meremas perutnya sendiri. Satu tindakan yang cukup menggambarkan situasi yang harus dihadapi Elbayu setelah ini. Refleksnya adalah menggeleng, ingin memungkiri, tapi kenyataan berkata lain.


______















Bang El 🤧

22-08-23
1045

Calangeyo 💜



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro