Bayang-Bayang Suci by Ichacutex

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Judul : Bayang-bayang Suci
Author : Icha_cutex

***

"Jangan pergi," ucap Suci lirih menatap kabut yang mengaburkan kaca pada jendela kamarnya. Bayangan sosok yang harusnya tetap terikat di sampingnya, perlahan menjauh menyisakan titik kecil yang semakin buram di luar sana. Sosok itu tak sendiri sebenarnya. Ada yang menunggungnya diam, gelap, daa begitu dingin dari balik pagar kayu jati yang dibuat Sandi belasan tahun silam.

Hujan masih rintik malam ini. Suci bisa melihatnya meski terhalang kabut. Baik di dalam maupun di luar sana, tampak gelap hampir di semua bagian, karena satu-satunya lampu yang dipasang Sandi, ayah Suci hanya di tiang dekat pagar rumah mereka. Jika padam, seakan pendar harapan direnggut secara paksa. Sama seperti pemilik bayangan yang semakin tak terlihat tertelan pekat dan rintik.

"Tetaplah di sini, Ci. Temani laki -laki itu. Semuanya untuk keselamatanmu juga," pesan wanita itu seraya menunjuk dengan dagunya pada Sandi. Tak dihiraukan tangisan Suci yang berlutut memeluk kaki wanita bermata bulat dengan sedikit keriput di sekitar matanya, menandakan usianya tak muda lagi.

"Aku mau ibu!" Suara Suci berteriak merintih tertelan tangis dari wajah yang terbekap kain daster Sari, ibunya.

"Dia akan membawamu pergi dari kami, jika kau tetap ikut bersamaku," ucap Sari yang kemudian mencekal lengan ringkih Sari dan mendorong agar terlepas dari kakinya. Tanpa menatap lagi, Sari pergi. Melesat cepat meninggalkan sang anak semata wayang dan suami yang sejak setahun lalu tak lagi menjadi belahan jiwanya.

Hujan masih setia. Tangis Suci mulai reda, begitu Sandi memeluknya erat dalam dekapan hangat. Suci tahu ayahnya amat kehilangan, sama seperti dirinya. Bahkan lebih, karena bagaimanapun Sari pernah menjadi belahan jiwa yang tak pernah bisa diabaikan begitu saja. Meski takdir menggulung rapat kenyataan, keduanya harus berpisah, demi Suci, katanya.

******

"Kenapa ibu memilih mereka dibanding kita, Yah?" tanya gadis yang tujuh hari lalu tepat berusia dua belas tahun. Hari di mana ia mendapat menstruasi pertamanya, tanda Suci sudah menjadi seorang gadis, bukan lagi anak-anak.

"Karena mereka lebih bisa membahagiakan ibumu, dibanding kita. Ayo kita cepat pulang. Sudah waktunya kita makan malam." Jawaban Sandi tak begitu dipahami Suci. Yang ia tahu, ibunya juga bahagia bersama dirinya dan sang ayah.  Terbukti dalam ingatan otak mungilnya, Sari selalu tertawa bahagia saat pagi untuk menyiapkan sarapan. Bersama Sandi, seringkali keduanya bercanda di teras saat Suci mengintip keduanya.

"Ayah, kenapa kita selalu keluar rumah saat hari sudah malam? Aku tidak bisa melihat apapun," keluh Suci yang berjalan dengan tangan digandeng erat oleh Sandi. Tanpa cahaya sedikitpun, yang membuat langkah Sandi berhati-hati diikuti Suci yang semakin mengeratkan genggaman tangannya.

"Jika terang, bayang-bayangmu akan tampak jelas dan akan terus mengikuti. Itu bahaya," jawab Sandi.

Suci menoleh ke belakang. Pandangannnya turun menatap bayangan yang setiap saat selalu mengikutinya. Bahkan sejak ia mengenal cahaya, Suci tahu bayangan hitam berlekuk sama dengannya itu tidak pernah lepas dari langkahnya.

Hari memang gelap, tapi ada sinar rembulan yang mengintip dari celah mendung. Remang-remang, Suci dapat melihat bayangannya menempel di tanah. Bergerak sesuai yang ia lakukan. Bahkan sesekali tangan Suci yang bebas, ia gerakkan untuk melihat apakah sang bayang juga melakukan hal yang sama atau tidak. Setelah membuktikannya, Suci terkikik sendiri.

"Lihat jalanmu. Jangan menoleh ke belakang!" peringat Sandi keras. Suci merengut kesal. Bukannya segera menoleh kembali memperhatikan jalan, ia malah melihat ke belakang. Pada sumur tua yang ia datangi beberapa langkah sebelum meninggalkannya bersama Sandi.  Sumur tua yang gelap, dikelilingi oleh pohon kamboja. Semerbak bau kamboja masih dapat ditangkap indra penciuman Suci, begitu angin menerbangkan begitu saja. Harum, namun langsung membuat bulu kuduknya meremang.

Diperhatikan lagi sumur tua itu. Entah apa istimewanya sumur tersebut, sampai-sampai hari ini Sandi membawanya pergi ke sumur tersebut untuk menabur bunga kanthil dan melati, sebagai ritual keselamatan katanya.

Sumur yang menyebalkan bagi Suci. Setahun lalu ia tersesat saat bermain petak umpet bersama teman-teman di kampungnya. Suci tersesat di dekat sumur tua hingga senja hari. Karena haus setelah menempuh perjalanan mencari arah pulang, Suci nekat menimba airnya dari timba usang yang tergeletak dengan tali menjuntai ke dalam sumur. Seteguk demi seteguk ia habiskan. Setelahnya, ia merasa pusing, pandangannya gelap dan ia tak sadarkan diri.

Begitu membuka mata, ia melihat Sari duduk menangis di sampingnya. Padahal Suci tidak mengalami luka berat, tapi entah mengapa ibunya begitu histeris sedangkan ayahnya terlihat kalut, cemas dan ketakutan. Setelah hari itu, dunia Suci seolah hanya gelap. Setiap hari ia dikurung dalam kamar tanpa ada lampu. Satu-satunya cahaya yang ia dapatkan hanya sorot panjang dari lubang genteng rumahnya. Semua akses cahaya dari luar seakan direnggut oleh Sandi. Bahkan Sari juga pergi, hingga kemarin ibunya itu datang mengunjunginya.

"Kenapa kita harus gelap-gelapan, Yah? Ada banyak lampu di rumah ini." Suci pernah bertanya demikian karena rasa herannya.

"Gelap akan melindungimu. Dia tidak akan muncul sempurna jika cahaya hilang dari sekitarmu." Jawaban Sandi begitu sulit dipahami. Hari berganti, Suci mulai terbiasa.

******

"Apa menstruasimu benar-benar sudah selesai?" tanya Sandi saat langkah keduanya masih beradu dalam kegelapan.

"Sudah, Yah." Jawaban Suci membuat Sandi bernapas lega. Sudah seminggu, dan memang sudah kebiasaan jika waktu menstruasi berlangsung selama seminggu. Makanya Sandi baru bisa mengajak Suci menuju sumur tua setelah anak gadinya sudah bersih, jika tidak ... akan sangat berbahaya.

Masih dalam langkah dan pandangannya, Suci menoleh penasaran pada sumur di belakangnya. Matanya langsung dikejutkan dengan bayangan hitam yang perlahan keluar dari dalam sumur. Mata Suci menyipit untuk menajamkan penglihatannya. Cahaya bulan yang tak seberapa membuatnya kesulitan menangkap bayang hitam yang semakin lama menjadi putih.

Iya. Ada warna putih seperti gaun yang dikenakan orang itu. Rambut panjang nan gelapnya terurai sepanjang lutut. Suci menatap bagian kepalanya yang menunduk. Tubuh seseorang itu kian naik ke atas sumur. Menggantung bebas dengan tegap. Suci yakin bahwa dia adalah orang, bukan harimau atau srigala. Sosok itu juga semalam muncul di balik pagar begitu Sari meninggalkan halaman rumah.

Wajah itu mulai terangkat. Ada raut pucat yang ditangkap Suci lewat pendar samar rembulan. Mata putihnya menyorot tajam pada Suci yang mulai bergidik ngeri. Lidahnya terjulur berwarna merah dengan darah menetes membasahi gaun putih kusamnya.

Tatapan tajam dari mata sepucat kelopak melati itu, seketika menghentikan langkah Suci. Kakinya tak sudi bergerak. Sandi yang merasakn tangan anaknya mengetat dan langkahnya tak juga bergerak mengikuti, langsung menoleh. Tubuh Suci limbung ditangkap tanah.

"Suci!" teriak Sandi panik begitu mendapati Suci jatuh tak sadarkan diri. Bayangan pekat yang tadinya bergerak mengikuti langkah Suci, kini keluar dari persembunyiannya. Bergerak dengan cepat melingkupi tubuh Suci mulai dari kaki hingga menutupi sekujur tubuhnya.

Sandi bergerak mendekap tubuh Suci menghalau bayang hitam yang mulai mengaburkan sosok Suci. Sandi menepis sekuat tenaga tapi sia-sia saja. Tubuh Suci menghilang bak butiran debu berwarna hitam. Bayangan yang Sandi jaga selama setahun ini agar tetap berada di tempatnya, ternyata merenggut Suci dari sisinya. Sama seperti bayangan itu merenggut Sari yang berkorban sebagai pengganti.

Sandi lemas tak berdaya. Isakan yang tadinya tertahan mulai luruh perlahan hingga semakin deras, seperti hujan yang turun seketika. Langit gelap, rembulan tak lagi menoleh. Ia sendiri, terduduk di dekat sumut tua.

*********

"Jangan pernah bermain di sini sendirian ya!" peringat seorang ibu pada bocah perempuan yang memetik bunga kamboja sambil bersenandung di dekatnya. Si bocah menoleh pada ibunya yang memikul keranjang berisi bunga kamboja.

"Memangnya kenapa, Bu?" tanya bocah perempuan yang baru pertama kali diajak ibunya memetik bunga kamboja untuk dijual. Biasanya ia ditinggal di rumah bersana kakak laki-lakinya. Namum hari ini, sang kakak sedang menjual ke kota hasil dagangan ibunya dan si bocah perempuan terpaksa ikut menemani ibunya memetik kamboja.

"Kamu lihat sumur tua itu?" Si bocah menoleh ke belakang. Benar. Memanh ada sumur tua di sana.

"Sumur itu meminta tumbal setiap tahunnya, seorang gadis yang pertama kali mengeluarkan darah menstruasi, sepertimu. Pokoknya kamu jangan dekat-dekat, apalagi sampai minum airnya," pesan sang ibu yang sibuk memetik dengan galah panjang di tangannya. Tak memperhatikan lagi si bocah sudah berjalan mendekat ke arah sumur. Seorang gadis melambai pada si bocah.

Tepat di bibir sumur, kepala si bocah melongok ke dalam sumur mencari si gadis yang tiba-tiba menghilang. Bayangan si bocah yang terlihat jelas karena sinar matahari tiba-tiba bergerak dan mendorong si bocah masuk ke dalam sumur.

Tanpa suara, tanpa peringatan dan tanpa kompromi. Sekali minta tumbal, setiap tahun akan sama seperti itu.

_________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro