Pandora Hidup Arna by Nisa Atfiatmico

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Judul : Pandora Hidup Arna
Author : NisaAtfiatmico

***

“Jangan bohong,” bentakku membuat wajah Mas Danu seketika berubah masam.

Mas Danu tak lagi menggubris perkataanku, ia hanya fokus pada jalan berliku di hadapan kami dan setirnya. Emosiku sepertinya sudah mendidih di ubun-ubun. Uap amarah juga mulai menyesakkan dada. “Jawab aku, Mas,” tegurku sambil memukul dada Mas Danu.

“Bukan aku tidak mau jawab kamu, Na. Tapi semakin kujawab, masalahnya bisa semakin runyam.”

“Tapi jika Mas membiarkan masalah ini berlarut-larut, aku tak bisa lagi mengontrol emosiku, Mas.” Kepalaku mulai diserang cenut-cenut, dengan napas berat kulanjutkan interogasiku padanya. “Jadi kenapa kamu ada di kamar kos Luna?”

Mas Danu menggeleng frustasi sebelum menjawab, “Okey, aku akan jawab. Tapi kamu harus janji percaya semua perkataanku, karena jawabanku ini jujur, Arna.”

Aku besidekap lalu mengangguk malas. “Iya... iya,” jawabku lirih.

“Tadi ada ular masuk ke kamar Luna. Aku mendengar teriakan Luna saat aku hendak ke kamarmu. Jadi intinya aku berada di kamar Luna hanya untuk membantu Luna mengusir ular itu,” jelas Mas Danu sungguh-gungguh.

Nalarku masih tak bisa terima dengan penjelasan klise, Mas Danu. Bagaimana mungkin mengusir ular pakai adegan peluk-pelukan segala?

“Ular apa ular?” hardikku sarkastik.

“Sudah kuduga. Reaksimu pasti seperti ini,” sungutnya kesal.

Dasar pria egois. Apa tidak bisa dia berusaha sedikit lebih keras untuk membujukku dan menjelaskan semua padaku? Mas Danu selalu seperti ini. Cuek dan tidak peka terhadap perasaanku.

“Kita putar balik aja, Mas,” kataku dingin.

Mas Danu memukul keras-keras setirnya, hingga bunyi klason mobil kami membahana di jalanan sepi itu. “Kenapa lagi, Arna?” teriaknya murka. “Kau merengek padaku untuk mengambil cuti kerja, agar kita bisa liburan ke villa bersama. Susah payah aku mengatur cuti, sekarang kau ingin kita balik hanya karena masalah kecil ini?” tanyanya kesal dengan nada yang lebih rendah, namun penuh penekanan.

“Masalah kecil? Katamu ini masalah kecil?” aku tak habis pikir.

Bagaimana sih cara kerja benda lunak yang ada di balik tempurung kepala Mas Danu itu? Masalah yang nyata-nyata fatal. Masalah perselingkuhan seperti ini, dia anggap masalah kecil? Itu sama kayak dia bilang tai baunya wangi. Shitttttttt!

Pria di sampingku itu hanya diam dan membuang muka padaku. Karena sangat emosi, tanpa pikir panjang kuputar setir Mas Danu ke sembarang arah.

Bruaggggghhh...

Tak kusangka mobil kami sukses terjun ke dalam jurang. Kulihat wajah Mas Danu sudah berlumur darah, lengan kiri kemeja birunya juga penuh darah segar. Aku panik dan berteriak histeris, “Mas bangun, Mas?”
Namun pria itu tak bergerak.

Mungkinkah Mas Danu mati??

Aku segera keluar mencari bantuan. Dengan suara serak aku berteriak, “Tolonggggg... tolonggggg.” Tidak ada orang di sekitar sini, tempat ini benar-benar sepi dan tak terjangkau oleh penduduk. Tangisku makin segugukan, suaraku nyaris ditelan pengap yang kini mengusai rongga pernafasan.

“To-tollll.. gghhhh...,” kata-kataku terpotong oleh isak hebat ini.

“Ada apa?” kata seorang pemuda yang tiba-tiba saja muncul dari balik punggungku.

Aku sempat terjingkat. Pemuda gondrong itu memang tak menyeramkan, tapi kehadirannya yang tiba-tiba dan tanpa suara itu membuatku sangat terkejut. “Bantu saya,” pintaku seraya menarik lengannya, “kami mengalami kecelakaan mobil dan kondisi pacarku sangat parah.”

Pemuda itu cukup baik, dia segera membantuku. Kami bergegas menuju lokasi kecelakaan. Dan setibanya kam di sana,  pemuda itu syok melihat kondisi mobil kami.

“Kalian jatuh dari atas?” tanyanya tak percaya.

Aku mengangguk sambil berkata, “Iya, sekarang yang terpenting selamatkan pacarku. Aku yakin dia masih hidup.”

“Aku tidak yakin. Pertama aku harus membawanya ke mobilku yang berada satu kilo meter dari sini. Kedua butuh sekitar satu jam untuk keluar dari hutan ini dengan mobil,” jawabnya pesimis.

“Kumohon, kita coba dulu. Ya?”

Pemuda itu akhirnya mau membantuku. Kami pun mengeluarkan Mas Danu dan membawanya ke mobil pemuda itu. “Oh iya, nama kamu siapa?” tanyaku memecah keheningan dan ketegangan di antara kami.
“Panggil saja Ale,” jawabnya singkat.

“Ale tinggal di sekitar sini?” lanjutku dengan langkah tersangkut-sangkut oleh dahan dan rumput liar.

Ale menggeleng dan berkata, “Tidak, aku ke sini hanya untuk berburu.”

“Senapannya mana?” tanyaku setelah beberapa detik mengamati penampilannya.

Pemuda itu menaikan lagi tubuh Mas Danu yang makin merosot dari punggungnya. “Berburu madu liar, jadi gak pake senapan. Kita sudah sampai,” jawab pemuda itu sambil mengangkat dagu ke arah mobilnya.

Kami membawa Mas Danu ke rumah sakit terdekat. Tidak, ini bukan rumah sakit. Tempat ini lebih layak disebut pukesmas. Hanya ada satu dokter jaga dan beberapa bidan. Hanya ada tiga bangsal kamar, yang masing-masing berisi delapan ranjang. Empat baris ranjang sebelah kiri dan empat baris ranjang sebelah kanan saling berhadapan.

Rumah sakit ini mencekam sekali. Cat putihnya sudah kusam, seperti sisa-sisa bangunan peninggalan Belanda. Pasiennya pun hanya segelintir, tak banyak orang berlalu lalang di sini. Sekarang saja di UGD hanya ada Mas Danu yang sedang menerima tindakan medis.

Empat puluh menit berlalu, Dokter yang menangani Mas Danu akhirnya menghampiriku yang membeku di sudut kursi tunggu bersama Ale. “Anda wali pasien?” tanya dokter itu.

Ale bangkit menyusul kebangkitanku. “Ya, Dok,” jawabku dan Ale bersamaan.

“Pasien mengalami pendarahan yang sangat serius dan patah tulang di lengan kirinya. Kami tidak bisa menangani lebih lanjut, karena keterbatasan alat medis disini. Karena itu saya sarankan untuk memindahkan pasien ke rumah sakit yang lebih besar,” jelas Dokter terdengar sangat bijak.

“Ayo kita pindahkan Mas Danu, Al?” pintaku pada Ale.

Wajah Ale tampak sedih. Keningnya berkerut, lalu beberapa detik kemudian dia menggeleng pelan. “Kita tidak bisa memindahkan pasien sampai tiga hari ke depan, Dok. Akses jalan ke kota di tutup karena longsor. Menurut warga, perbaikan jalan mungkin memakan waktu tiga hari.”

“Apaa?” tanyaku tak percaya, “Tiga hari, Le?”

Dokter menghela napas berat, “Saya cuma residen di sini, jadi tugas saya hanya sampai jam lima sore. Dan di rumah sakit ini semua perawat dan petugas pulang jam lima sore. Jadi jika Anda ingin pasien tetap di rawat sementara disini, maka Anda harus menjaga pasien seorang diri. Sanggup?”

Aku mengangguk dan menjawab sanggup dengan sangat mantap, tapi tidak dengan Ale. Pemuda ini tampak ragu dan berat hati.

“Apa saya bisa minta satu perawat untuk menemani?” tanya Ale dengan wajah amat serius.

“Tidak ada perawat yang mau melakukan itu, Anda bisa tanya sendiri ke mereka.” Dokter itu akhirnya permisi dan meninggalkan kami yang kini saling tatap.

“Rumah sakit ini aneh,” ujarku kepada Ale.

Pemuda itu menakup pundakku erat, lalu menatap mataku lekat-lekat. “Jaga pacarmu baik-baik, aku harus pergi dulu sebelum hari gelap,” pamitnya membuat aku syok.

“A-apa kau akan meninggalkanku seorang diri?” tanyaku terbata.

“Bukan begitu. Nanti aku akan kembali, aku hanya pergi untuk mencari makan.” Jawaban Ale membuatku lega.

“Syukurlah.”

***

Senja mulai menyeruakkan sinar jingganya, langit terang mulai meredup. Rumah sakit ini makin sepi karena satu persatu petugas beranjak pulang. Bahkan UGD tempat aku menunggu Mas Danu seorang diri mulai mencekam. Kuperhatikan di sekitar lorong, beberapa pasien sudah mulai lalu lalang. Syukurlah masih ada mereka, meski dari tadi tak ada satupun dari mereka yang mau bertegur sapa denganku.

Aku duduk di samping ranjang Mas Danu, kugenggam tangan peluhnya yang berhias selang infus. Sampai detik ini aku masih menyesali kebodohanku, jika saja aku tak memulai pertengkaran itu di jalan. Mungkin kami tidak akan terjebak di rumah sakit angker ini. Kucoba pejamkan mataku sejenak, namun suara-suara aneh mengusikku.

Suara sirine ambulans, suara ranjang di dorong, hingga suara cekikikan anak kecil menghampiri telingaku. Kutinggalkan Mas Danu seorang diri di ranjang. Aku menyusuri lorong rumah sakit itu, dan berhenti pada satu bangsal.

Di dalam bangsal itu ada tiga pasien. Pertama seorang nenek-nenek yang duduk di kursi roda samping jendela, nenek itu hanya diam dan memandang ke luar jendela. Kedua seorang gadis belia sedang asyik merias wajahnya sambil duduk tenang di atas ranjangnya. Ketiga seorang wanita hamil sedang meronta dan meraung, kedua tangannya di ikat ke sisi-sisi ranjang.

Aku heran.

Bagaimana mungkin gadis belia dan nenek itu tetap tenang di saat teman satu kamar mereka meronta kesakitan dan dalam keadaan di ikat.

Apa-apaan ini?

Tanpa ragu aku masuk ke bangsal itu dan bertanya apa yang sedang terjadi di sana. Tidak ada satupun yang menjawabku, mereka acuh tak acuh. Nenek itu tetap fokus memandang keluar. Gadis itu masih asyik memagut wajahnya di depan cermin. Dan wanita hamil di depanku ini masih terus berteriak meronta.

“Apa kalian tuli? Kenapa kalian diam saja?” bentakku jengah. “Baiklah kalau kalian tak mau bicara denganku, setidaknya kalian harus melepaskan wanita ini.” Tanpa ragu aku membantu melepas ikatan wanita hamil ini, tapi tiba-tiba saja seorang perawat dengan wajah menyeramkan masuk dan mencengkeram tanganku.

“Urus saja urusanmu sendiri, jangan pernah lagi masuk ke tempat ini. Apalagi menyentuh apapun di sini,” ujar perawat itu memperingatkanku.

Dengan paksa aku di seret keluar dari bangsal itu. “Siapa kamu? bukankah semua perawat pulang saat jam lima sore?” tanyaku memastikan.

“Jangan urusi aku, khawatirkan saja kekasihmu yang kini dalam bahaya!” perawat itu pergi dengan cepat ke arah bangsal lain. Lalu beberapa detik kemudian aku mendengar suara nampan berisi peralatan medis jatuh ke lantai.

Praanggggggggggg...

Aku berlari tunggang langgang menuju UDG. Dan setibanya aku di sana, Ya Tuhan apa yang kini ku lihat? Aku melihat seorang wanita dengan wajah hancur dan menyeramkan sedang duduk di atas Mas Danu, sambil mencekik leher Mas Danu.

Tanpa kusadari aku beringsut mundur. Aku ketakutan. Apa yang harus aku lakukan?Bagaimana cara menolong Mas Danu? Ale mana Ale?

Lututku lemas, jantungku berdebar tak karuan, punggung leherku terasa berat, dan keringat dingin mulai bercucuran. Aku menggigiti kuku tangan untuk menahan gemeretak gigi yang mengigil karena ketakutan. Wanita yang duduk di atas Mas Danu sangat menyeramkan, wajahnya terpoyak hingga tulang pipinya nampak. Banyak darah dan rambutnya acak-acakan. Bola mata kanannya nyaris keluar dan telinga yang hampir putus itu menggelayut rapuh.

Bagaimana jika Mas Danu mati?

Saat bibirku tak lagi mampu berkat-kata. Saat tubuhku tak lagi mampu bergerak. Saat tangisan ini tak mampu kubendung lagi. Sebuah tangan kekar menyeret kakiku yang sedari tadi bersimpuh di lantai. Mahluk besar berbulu dengan mata merah ini tak menghiraukan teriakanku, tanganku berpegang pada apapun yang ada. Dinding, ranting, ubin, namun semua sia-sia karena mahluk besar ini sangat kuat.

“Lepaskaaaaaaaaaaaaaaaaannnnnnnn..”

Ctakkkkkkkkkkkkkkkkkkk...

Sebuah kerikil menghantam mahluk itu, tangannya segera melepas pergelangan kakiku. Mahluk berbulu itu tampak kesakitan dan terluka oleh kerikil yang rupanya berasal dari ketapel Ale.

Ale?

Aku menghela napas lega melihat kedatangan Ale. Pemuda itu membidikan lagi ketapelnya ke arah mahluk berbulu itu. Belum sempat Ale membidik, mahluk itu sudah kabur ke atas pohon besar yang berada di halaman belakang rumah sakit ini.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Ale dengan tatapan cemas.

Aku menggeleng sambil berkata, “Mas Danu, tolong Mas Danu. Cepatttttttt.”

Ale berlari ke UGD bersamaku. Dengan tepat Ale membidikan kelerengnya ke hantu wanita yang menunggangi Mas Danu. Hantu itu langsung melebur menjadi Asap ketika kerikil Ale menembak punggungnya. Aku menghampiri Mas Danu dan segera memeluknya.

“A-arna...,” bisik Mas Danu lirih.

Dia sudah sadar. Dia sadar!

“Mas, syukurlah kamu sudah sadar Mas,” isakku dalam peluknya.

Ale menatap pelukan kami dengan tatapan sendu. Mas Danu duduk dan mengusap airmataku. “Terimakasih, kau telah menyelamatkanku.”

Aku menggeleng pelan. “Ale lah yang menyelamatkanmu, Mas,” jawabku seraya menatap Ale.

“Bukan saya,” sahut Ale pelan.

Mas Danu menakup wajahku, “Kamu Arna, kamu yang menyelamatkanku. Kau memasang badan sehingga ranting itu tak menusuk tubuhku.”

“Ranting?” tanyaku tak paham, “jika aku memasang badan untuk menyelamatkanmu. Kenapa aku baik-baik saja? Harusnya kan aku tertusuk ranting itu?”

Ale dan Mas Danu saling menatap, kemudian setelah mereka sama-sama yakin Ale maju satu langkah untuk menjelaskan sesuatu padaku. “Pasien di bangsal tadi adalah hantu,” kata Ale lirih. Karena aku masih mengaga, ale melanjutkan perkataannya. “Suster dan mahluk menyeretmu tadi juga hantu,” lanjut Ale yang kini menundukan wajahnya.

“Sudah kuduga, rumah sakit ini memang aneh dan angker,” rutukku yakin.

Ale mendongakkan wajahnya lagi untuk menatapku. “Dan kau, juga hantu.”

Jleebbbbbbbbbbbb.........

"Kamu sudah mati!"

“Apa kau bercanda?” teriakku. “Kalau aku hantu kau apa? Mas Danu apa?” lanjutku masih melengking.

Mas Danu memelukku erat sambil berbisik, “Pergilah dengan tenang, Arna. Terimakasih untuk semua pengorbananmu. I love you.”

“Pergi? Pergi kemana Mas? Aku masih hidup, aku bisa kau lihat dan bisa kau sentuh kan?” bantahku dengan suara parau.

Sebuah cahaya terang menyeruak dari balik pintu, seorang pria berjubah hitam dengan penutup kepala yang menutup separuh wajahnya muncul dari cahaya itu. “Kau sudah di jemput,” ucap Ale halus.

A-aku sudah mati?
Bagaimana bisa?
Kenapa secepat ini?

“Baik, ceritakan semua padaku. Setelah aku mengerti, aku akan pergi,” tawarku pada Ale.

“Saat aku menemukanmu di hutan, awalnya aku berpikir kau adalah manusia. Tapi setelah tiba di lokasi kecelakaan, aku syok menyadari kau adalah hantu. Karena tubuhmu sudah tak bernyawa di samping---“ aku memotong penjelasan Ale.

“Kau bisa melihat hantu? Sejak kapan?”

“Bisa, sejak kecil,” jawab Ale singkat. “Aku lanjutkan penjelasanku. Setelah mengantar pacarmu ke rumah sakit ini, aku pergi untuk memanggil polisi. Aku melaporkan kecelakaan kalian agar polisi segera mengevaluasi jenazahmu.”

“Kenapa kau tak katakan padaku dari tadi, bahwa aku sudah mati? Dan kenapa penampilanku tak semenyeramkan mereka?” teriakku melengking.

“Kurasa kamu belum siap, karena itulah aku tak mengatakannya. Penampilan arwah baru akan menyeramkan setelah lewat empat puluh hari kematiannya,” jawab Ale menohokku.

Aku tak mampu membendung airmata ini. “Lalu, bagaimana bisa Mas Danu melihatku kalau aku ini hantu?”

“Yang kau peluk dan kau sentuh ini adalah arwah hampa Danu. Arwah yang berkeliaran ketika tubuhnya koma,” jelas Ale lagi-lagi membuatku syok.

“Tapi Mas Danu masih hidup kan?” tanyaku sambil menatap Mas Danu yang mengulum senyum padaku.

Ale mengangguk, “Dia masih hidup. Sekarang kau bisa pergi dengan tenang, aku yang akan membantu kekasihmu.”

“Tunggu, kenapa hantu-hantu tadi terluka oleh kerikilmu?” pertanyaan terakhir yang masih membuatku penasaran.

“Itu adalah kerikil yang sudah di bacakan doa dan amalan selama empat puluh hari. Kerikil ini  dapat melukain jin, siluman, dan iblis, namun tidak dapat melukai Arwah sepertimu.”

Rumit.

Rumit sekali. Kenyataan ini seribu kali lebih horor dari pada cerita horor rumah sakit angker. Ending plot twist kehidupanku jauh lebih mengejutkan di banding ending kisah cintaku bersama Mas Danu. Dan adakah notifikasi lebih mencekam dari notifikasi yang Ale katakan padaku?
Notifikasi bahwa;
"KAMU SUDAH MATI!"

Isi kotak pandora hidupku, hidup Arna.

-MATI-

-END-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro