BISIKAN by Megaoktaviasd

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Judul: Bisikan
Author: megaoktaviasd

***

Eiren menyantap sarapannya dalam diam. Tak perduli beberapa pasang mata sedang melirik ingin tahu kearahnya. Bukan tanpa alasan semua itu terjadi. Eiren mendapat tatapan ingin tahu itu karena desas-desus yang beredar di Panti Asuhan sejak kemarin. Bahwa Eiren akan diangkat menjadi anak oleh pasangan yang belum juga dikaruniai seorang anak di umurnya yang sudah berkepala empat.

Ibu Dara dan Bapak Aryo, donatur tetap Panti Asuhan Hati Suci. Mereka cukup terkenal karena murah hati dan sering menungunjungi panti. Tak jarang, Bapak Aryo mengajak anak lelaki untuk main bola di lapangan. Begitu juga Ibu Dara yang baik hati mengajari anak perempuan untuk membuat keterampilan dan belajar memasak.

Anak-anak panti asuhan tentu iri dengan Eiren. Pasalnya, anak itu suka menyendiri. Tidak pernah keluar dari kamarnya kecuali waktu piket, mandi dan  jam makan. Bertemu dengan Ibu Dara dan Pak Aryo pun jarang.
AWBagaimana bisa dia yang dipilih untuk menjadi anak angkat? Kira-kira begitulah pemikiran anak yang rata-rata berumur sepuluh tahun itu.

Suara pekikan pelan menggema di aula tempat mereka sarapan. Anak bertubuh besar bernama Heru menumpahkan makanannya tepat diatas rambut Eiren yang disisir rapih.
Dada Eiren naik turun. Ini bukan kali pertama Heru mengerjai Eiren. Hampir setiap saat, Heru tak membiarkan Eiren hidup dengan tenang. Sejak awal masuk Panti Asuhan Hati Suci, Heru sebenarnya ingin sekali bermain dengan Eiren. Tapi, Eiren tak pernah menggubris Heru karena dia lebih memilih membaca buku dikamar. Perilaku itulah yang membuat Heru berpikir bahwa Eiren adalah anak yang sombong dan pantas dikerjain.

"Kenapa?! Lo mau bales ke gue?!" Tantang Heru. Eiren hanya diam, melanjutkan sarapannya yang terhenti dan pergi begitu saja setelahnya.
Heru lantas tertawa terbahak, merasa berhasil mengerjai Eiren yang lemah dan penakut.

“Kalian jangan gangguin Eiren, dong?! Emangnya, salah apa sih dia sampai kalian tiap hari…bukan, lebih tepatnya tiap saat kalian gangguin?!” Raisa, gadis yang berani, tak suka melihat pembully-an diantara anak-anak panti lainnya berdiri tepat didepan Eiren. Meskipun badannya kurus, dia tidak gentar dan tetap menatap Heru dengan galak.

“Udah deh Raisa, gak usah jadi pahlawan! Anak sombong itu pantes dikerjain! Emangnya cuman kita aja yang gak punya orang tua? Dia juga gak punya, jadi dia gak patut sombong kayak gitu!”
Raisa ingin membantah lagi tapi Kak Dira, pengawas mereka telah datang dan melerai Heru. Kak Dira juga menyuruh Eiren untuk kekamarnya untuk mandi dan ganti baju.

Eiren sempat bertemu dengan Ibu Dara setelahnya. Wanita paruh baya itu terkejut melihat paras Eiren yang merah dengan rambut penuh nasi.

"Kamu baik-baik saja, Ren?" Ibu Dara memeriksa tubuh calon anaknya itu. Eiren hanya menggeleng dan tersenyum simpul.

"Saya gak apa-apa kok bu, tenang saja."
Walaupun terkesan tidak sopan, Eiren berjalan dikamarnya dan meninggalkan Ibu Dara yang tampak bingung.
Setelah sampai dikamarnya, Eiren bukannya buru-buru mandi. Karena suasana masih sepi, dia menarik buku hitam yang disimpan dibawah ranjangnya.

“Bunuh saja dia, bunuh!” bisikan itu selalu terdengar jika Eiren sedang merasa kesal. Eiren menatap sekelilingnya lalu matanya terpaku melihat cermin berkayu coklat yang digantung dikamarnya.

“Jangan ragu-ragu, bunuh saja!” Eiren bergidik ngeri karena dia melihat seorang wanita dengan rambut panjang dan kuku yang berdarah-darah sedang mencengkramnya. Mata wanita itu menyembul dibalik rambut panjang yang menutupi seluruh wajahnya.

“AAAAAKKKKKKKKKK!!”

Eiren terjatuh dikamarnya dengan keadaan tidak sadar. Sementara wanita berambut panjang itu terkikik sebelum akhirnya menghilang.

~

Eiren membuka matanya perlahan karena bau obat yang menusuk hidungnya. Dilihatnya ke arah sekitar, hanya ada dia diruangan itu dengan beberapa obat yang tergeletak di nakas. Eiren saat ini sedang berada di Unit Kesehatan Panti Asuhan, sendirian.
Eiren melihat jam tua yang menempel di dinding Unit Kesehatan. Tepat pukul 12 malam jam itu berdentang, membuat bulu kuduk Eiren meremang.

“Bunuh saja, ini waktu yang tepat.”
Sosok perempuan berambut panjang yang dilihat Eiren tadi muncul lagi, kali ini dia bersembunyi dibalik tirai Unit Kesehatan, hanya memamerkan rambut panjangnya yang menjuntai hingga ke lantai.

Degupan jantung Eiren membahana, dia tak percaya hal-hal ghaib tapi dia melihat sendiri sosok perempuan itu. Terseok-seok ingin mendekati Eiren! 

“Ja..jangan! Jangan kesini!” Eiren mencoba berteriak tapi gagal karena suaranya lebih mirip rintihan dan terdengar lemah.

“Bunuh dia, aku akan membantumu!”
Eiren merasa sesak napas dan lagi, dia terjatuh dan tak sadarkan diri.

~

Pagi hari kembali menyapa. Eiren membuka matanya karena ada cipratan air yang membasahi wajahnya. Eiren menatap sekeliling, ini jelas bukan di Panti Asuhan.
Eiren berada di hanparan pohon singkong yang tumbuh subur dan lebat. Sepertinya ini kebun yang tak terurus karena banyak alang-alang tinggi yang menyeruah disela-sela pohon singkong.

“Bangun lo cemen! Lemah banget sih lo pingsan mulu. Atau lo sengaja biar gak ketemu gue?”

Heru yang bertubuh besar itu sudah ada dihadapannya. Wajahnya tampak bengis dan dipenuhi rasa kebencian. Eiren ingat, hari ini adalah hari dimana Ibu Aryo dan Pak Aryo resmi akan mengangkatnya menjadi anak.

Seperti biasa, Eiren hanya diam. Dia hanya menatap Heru dengan kesal. Heru merasa tertantang akhirnya melayangkan bogem mentah ke pipi Eiren, membuat anak berumur sepuluh tahun itu terhuyung dan kembali jatuh ke tanah.

“Gue harus melenyapkan lo biar Ibu Dara dan Pak Aryo gak jadi mrngangkat lo jadi anak, gue gak sudi! Gue harus bikin lo lenyap dari dunia ini!”

Heru lantas melayangkan bogem mentah, melukai wajah Eiren yang tergolong tampan hingga berdarah-darah. Napas Eiren tersengal, tapi sekali lagi bisikan itu kembali terdengar.

“Bunuh saja dia, ini saat yang tepat untuk balas dendam.”

Eiren merasa terpancing dengan bisikan yang sebelumnya membuat degupan jantungnya bergetar hebat. Eiren kali ini bangkit, membalas Heru walaupun itu membuat Heru tertawa terbahak.

“Lo gabakalan bisa hajar gue balik, lo lemah! Lo mau coba teriak? Coba aja, tempat ini tempat terpencil dan gak ada yang tau lo dan gue sedang berada disini!”

Eiren menghela napas kesal. Heru memang suka sekali berbohong, seringkali dia pergi dengan alasan yang berbeda sehingga dia mendapatkan ijin keluar dari panti asuhan.
Eiren tetap memukul Heru. Kali ini dia mengambil pulpen yang selalu terselip di celana pendeknya. Eiren menusuk tubuh Heru berkali-kali. Membuat tubuh besar Heru akhirnya terhuyung dan menepak tanah. Eiren kali ini mengambil batang pohon yang ada didekatnya, menusuk tubuh Heru dan menggoresnya sehingga meninggalkan luka yang cukup dalam sehingga membuat darah Heru mengucur.

Heru teriak tidak karuan, tapi seperti yang dibilangnya tadi, tak akan ada orang yang mendengarnya karena tempat ini adalah tempat terpencil.
Tak tanggung-tanggung, Eiren menghabisi Heru dengan cara memukul kepalanya dengan batu berkali-kali.
Heru mengharap belas kasihan kepada Eiren, tatapan matanya memelas tapi Eiren malah semakin menggila. Dia mengambil batang pohon tadi untuk ditusukkan di perut besar Heru hingga memuncratkan darah segar.
Heru akhirnya terdiam, matanya kosong dan napasnya terhenti. Eiren akhirnya duduk disamping Heru dan menatap temannya dengan amarah. Dia merasa belum puas menyakiti Heru, karena bocah itu meninggalkan dendam yang amat dalam bagi Eiren.

“Gimana rasanya hah?! Ini pembalasan gue selama bertahun-tahun karena lo udah nyakitin gue setiap saat!” Eiren berkata sambil terisak. Dia menatap tangannya yang penuh darah dan menyesali apa yang diperbuat olehnya, oleh anak yang semua orang kira lugu dan pendiam.

Bisikan itu kembali terdengar, kali ini lebih nyaring dan memaksanya untuk membunuh lagi.

“Menyenangkan bukan? Ayo. Bunuh lagi! Jangan takut!”

Eiren menutup telinganya, berharap bisikan itu hilang namun semua itu sia-sia. Bisikan itu semakin terdengar.

“Diam kau, diam!” Eiren berteriak namun nihil, suara itu tak mau hilang.

“Jangan takut, ayo bunuh lagi!”
Eiren akhirnya memukul kepalanya sendiri dengan batu, berkali-kali hingga dia tak sadarkan diri dan suara itu menghilang.

End

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro