HIDDEN DEVIL by Prima Mutiara

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Judul:Hidden                                                   Author: meoowii

***

Sekujur tubuhku bergetar hebat, lututku melemas dan akar rambutku seakan tertarik dari tempatnya karna sebuah serangan mendadak dari seseorang disampingku, memaksa kepalaku mendongak ke arahnya. Aku takut, benar-benar takut.

"Sakit? Iya?" tanyanya sarkastik dengan seringai yang menyeramkan.

Aku hanya bisa meringis. "Am-Ampun...," ujarku terbata.

Bukannya kasihan mendengar permohonanku, dia justru semakin kencang menarik rambutku ke arahku ke belakang, membuatku berteriak kencang

Tawanya semakin membahana memasuki gendang telingaku, kuku-kuku tajamnya menusuk kulitku, ini sungguh menyakitkan.

"Teriak aja! Teriak sekenceng-kencangnya. Percuma, nggak ada yang denger."

Ya, sekarang kami berdua memang berada di gudang sekolah yang letaknya cukup jauh dari keramaian, apalagi hari sudah menjelang malam. Tak akan ada orang yang datang kemari.

"Makanya jadi cewek jangan sok bener, pake ngadu segala sama guru BP," ucapnya, "gara-gara lo, gue di skorsing!"

"Ma-maaf-af, Mel," rintihku terdengar sangat menyedihkan.

Amel, gadis yang terkenal dengan tingkah premannya ini menendang tulang keringku. Aku hanya bisa menggigit bibir untuk menahan rasa sakitnya.

"Ini akibat dari perbuatan lo! Ngerti?"

"Aku kan cuma ngomong apa yang aku lihat, Mel." Suaraku bergetar.

"Iya, dan apa yang lo lihat itu nggak semuanya bener!" Ia berteriak kesetanan.

Tangannya terkepal, memberi tinjuan keras diperutku. Semua yang ada di dalam sana seolah remuk karna perbuatannya.

"Sebaiknya lo jangan nunjukin batang hidung lo lagi di depan gue."

Mulutku terkunci, pikiranku kosong. Apakah sehina itu diriku hingga tak ada yang ingin melihat wajahku?

"Jangan mendekat! Aku tidak ingin melihatmu lagi!"

Suara itu terdengar nyaring di telingaku.

"Denger, nggak?" Amel berteriak lagi.

"Kamu bukan anakku, pergi kamu dari sini!"

Lagi dan lagi, bayangan itu terus berkelebat, dan mendesak sesuatukeluar dari tubuhku.

"Hei!" Tempelangan keras bersarang di kepalaku. Membuat perhatianku benar-benar teralihkan.

"B-Baik, Ka-kalau itu mau kam-mu." Perlahan aku memberanikan diri menatap manik mata dihadapanku. Tatapannya sangat nyalang hingga membuatku bergidik ngeri.

"Tapi bolehkah aku bercerita dulu kepadamu?"

Dia memiringkan bibirnya. "Cerita? Lo kira gue temen lo, yang mau denger cerita lo?"

"Setelah ini kamu nggak bakal lihat wajah aku lagi, kok."

Ia mendengus kasar, lalu kemudian menyandarkan punggungnya pada tembok dan melipat tangannya di depan dada. "Ya sudah, cepetan!"

"Aku ingin bercerita tentang keluargaku," cicitku. Iya, aku hanya mencicit, karna menceritakan ini seperti menguak luka lama yang tak pernah bisa terobati.

Ia mendecih, meremehkanku. "Apa menariknya?"

"Aku mempunyai seorang ayah," ucapku datar.

"Semua orang juga punya," katanya meremehkan.

"Aku belum selesai cerita, Mel," interupsiku membuat matanya melotot ke arahku.

Kutundukkan pandanganku dan kuteruskan kalimatku. "Tapi dia selalu menyakitiku dan Ibuku."

Kepala Amel bergerak miring, seolah mulai tertarik dengan ceritaku.

"Ya, begitulah ia. Tendangan, tinjuan, sayatan, sepertinya bukanlah sesuatu yang asing untukku sejak kecil."

"Tapi kamu tahu nggak, Mel? Kita mempunyai jiwa iblis dan malaikat di dalam hati kita."

"Maksud kamu?"

"Suatu kejadian membuat salah satunya mendobrak, meminta keluar dan mungkin menelan salah satunya hingga tak berbekas."

"Langsung to the point aja, deh."

"Saat itu, Ayah sedang menyiksa ibuku dengan sadisnya. Tentu saja aku tak tega melihatnya, aku berlari ke dapur dan mengambil sebuah pisau, kamu tahu apa yang aku lakukan?"

Aku bisa melihat gerakan pada leher Amel bergerak turun, menelan salivanya.

"Aku menghujam pisau itu tepat di jantungnya."

Gadis preman itu menutup mulutnya, menjerit tertahan. Namun, kemudian dia malah tertawa.

"Kamu kira aku percaya?" decihnya.

"Aku tak mengharapkan kamu percaya denganku," ucapku, kali ini lebih tenang, malah mungkin terkesan dingin.

Aku merogoh saku rokku, mengambil sesuatu yang tak tertinggal di sana. Saat aku mengeluarkannya senyumanku merekah, entah kenapa barang ini membuatku sangat –sangat bergairah.

"Ap-apa i-tu?"

Hei, kalian mendengarnya? Dia terbata. Bukankah seharusnya aku yang berada dalam posisi itu? Nadanya terdengar sangat.

"Pisau inilah yang merebut nyawa Ayahku, bahkan Ibuku."

Mata Amel membulat lebar. "Ibumu?"

"Ya, dia terlalu bodoh karna menikah dengan lelaki bejat itu. Dan membuatku mengalami kejadian ini. Lalu? Untuk apa dia hidup?"

Aku berdiri, melangkah pelan ke arah Amel. "Dan pisau ini selalu aku bawa kemanapun aku berada." Gantian bibirku yang tertarik ke atas.

"M-mau apa lo?" Ia semakin merapat ke arah tembok dan berjalan ke pinggir, menjauh dari arahku.

Oh, sepertinya ini akan menyenangkan.

"Bahkan, darah dari kedua orang itu belum pernah aku bersihkan sampai sekarang. Rasanya ini adalah kenang-kenangan terakhir mereka untukku. Manis kan?"

"Hei! Gadis cupu! Jangan berani-beraninya lo deketin gue kalau lo nggak mau nyesel." Ia mencoba mengintimidasiku, tapi dapat kulihat sorot mata ketakutan itu, sangat lucu sekali bukan, sepertinya aku sudah tidak sabar lagi.

"Oh ya?" Kaki panjangku melangkah pelan ke arahnya.

Tanpa kusadari Amel menyongsong ke arahku dan berusaha meninju pipiku.

'BUG'

Tepat sasaran.

Hei, ayolah, kalian tidak menyangka aku yang kena pukulan kan?

"Aw!" Ia tertunduk, meringis kesakitan memegang perutnya.

Aku memiringkan kepalaku. "Bagaimana rasanya? Nikmat kan?"

"PSIKO!" Dia berteriak.

Dia hampir bangkit berdiri untuk berlari ke arah pintu keluar, tapi tunggu, tidak akan semudah itu kan?

Aku segera menusuk kakinya dalam-dalam.

"AAAAAAAAAAAAAAA..."

Dia berteriak sangat kencang, lebih kencang dari tadi.

"Teriak aja! Teriak sekenceng-kencangnya. Percuma, nggak ada yang denger." Aku membeo ucapannya.

"Kamu telah membangunkan dia, Amel." Senyumku berkembang, bukan senyum manis yang biasa kau lihat dari seorang gadis lugu, bukan pula senyum yang penuh kegugupan yang sering aku perlihatkan. Ini lebih seperti seringaian.

Bau anyir darah dideteksi oleh indra penciumanku, bau ini sangat segar. Entah sudah berapa lama aku tak merasakannya. Ah, aku sangat merindukannya.

"Sepertinya aku dan pisau ini, merindukan moment seperti ini."

"Am-ampun..." Amel merintih.

"Oh, ini baru awal, jangan begitulah, Mel."

Tubuh Amel menyeret, masih mencoba keluar dari ruangan kosong ini.

Aku? Aku hanya menikmati setiap detik tontonan yang ada di depanku tapi sepertinya ini sangat membosankan, bisakah aku mengakhirinya sekarang? Senyum sinisku kembali terkembang, aku segera berlari menyongsong sosok itu dan tanpa menunggu apa-apa lagi segera menghujamkan pisau itu tepat di jantung gadis itu, dia berteriak kencang. Matanya membelalak lebar ke arahku, bibirnya bergetar seolah ingin mengatakan sesuatu.

Mendadak pintu terbuka, seoranglaki-laki seumurankuberlari ke arah kami.

"Lila!"

Teriakan itu membuatku langsung menjatuhkan tubuhku.

"Andre," lirihku saat melihat pemuda yang kukenal melotot tak percaya. "Dia...dia mengurungku di sini, dan... aku... hanya..." Isakanku keluar begitu saja.

Andre mendekapku. "Aku tahu, aku tahu. Ayo kita pulang," ajaknya.

"Tapi Amel..."

Aku menatap tubuh yang telah terbujur kaku, bersimbah darah itu.

"Aku akan memanggil polisi, dan... aku tak akan berkata apapun pada mereka tentang kamu, cepat sembunyikan pisau itu."

Aku mengangguk kecil.

Mata Andre melihat ke arah mayat itu lagi.

Dan dalam diam aku tersenyum.

Aku ingin mencoba ini lagi lain waktu, ini sangat menyenangkan.

~~~

Bukan iblis, bukan pula hantu atau jin yang harus ditakuti, tapi manusia itu sendirilah yang harus kau waspadai.

Jangan pernah meremehkan orang yang ada di sekitarmu,jangan pernah menyakiti mereka, karna kamu tak akan pernah tahu apa akibat dariperbuatanmu. Mungkin kamu sedang membangunkan sisi iblis yang sedang tertidur di dalam

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro