2. Menghindari Perjodohan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bisa kembali menghirup udara pagi di kota Bali adalah kesempatan langka bagi Risa. Kesibukan kuliah dan kursus membuatnya tak ada kesempatan untuk kembali ke Indonesia. Terlebih di Rusia dia didampingi sang mama. Hubungannya dengan sang kakak kurang baik karena pro kontra saat mama mereka menikah dengan orang Rusia setelah kepergian ayah mereka. Risa ikut sang mama karena mendapat bujukan manis dan dijanjikan akan kuliah di Rusia. Janji sang mama tertepati. Tapi ada hal lain sebagai imbalannya.

Risa meletakkan piring berisi makanan di atas meja. Terlihat beberapa tumpuk pancake menghiasi piring tersebut. Pancake tersebut hasil buatannya. Dia sengaja bangun pagi untuk masak dan menghidangkan sebagai sarapan. Lebih tepatnya untuk Adit. Laki-laki itu belum memberikan jawaban. Semalam, Risa menantinya, tapi Adit lebih dulu pergi saat dia sedang di kamar. Entah apa yang Adit lakukan saat malam di luar sana.

Senyum menghiasi raut Risa ketika mendengar pintu kamar Adit terbuka. Sosok Adit selalu memukau meski hanya mengenakan kaus dan celana pendek. Sepatu kets yang dia kenakan menambah auranya keluar. Wanita mana yang tidak kepincut dengan pesonanya? Risa menghampiri meja makan sambil membawa saus buah untuk pelengkap pancake buatannya.

"Pagi," sapanya pada Adit ketika melihat laki-laki itu menatapnya.

Adit terlihat cuek. Langkahnya kembali terayun menuju ruang tamu. Seperti biasa, rutinitas paginya adalah olahraga.

"Kamu lupa belum kasih jawaban ke aku?" tanya Risa.

Langkah Adit terhenti ketika mendengar pertanyaan Risa. Hampir saja dia lupa jika belum memberikan keputusan mengenai Risa tinggal di rumah itu.

"Kamu bisa sarapan dulu sebelum lari pagi. Aku sudah buatkan pancake buat kamu." Risa menawari.

Tubuh Adit berbalik. Dia masih berdiri pada posisinya. "Kasih aku jawaban pasti dan padat sebagai pertimbangan izin tinggal di rumah ini bersamaku," balasnya.

"Karena aku nggak mau kembali ke Rusia. Aku ingin tinggal di sini, di rumah peninggalan Papa." Risa menimpali.

"Kenapa harus sembunyi-sembunyi dari Rino?" tanya Adit berikutnya.

"Karena hubungan aku dan dia kurang baik."

"Bukan karena masalah perjodohan?"

"Apa dia cerita banyak masalah itu ke kamu?" Risa memastikan.

"Mungkin," balas Adit singkat.

"Kamu tak berhak tau masalah pribadi aku."

"Aku hanya memastikan. Jangan sampai kamu tinggal di sini bersamaku untuk menghindari perjodohan itu, dan akan menjadi bumerang untukku suatu hari nanti. Aku hanya berhati-hati." Adit mengingatkan.

"Masalah pribadiku tidak ada urusannya denganmu. Kamu tak perlu khawatir. Lagipula aku tak mengenalmu, jadi jangan percaya diri jika aku akan menyukaimu."

Adit tertawa mengejek. "Jadi Rino berhak tahu kalau kamu tinggal di sini karena aku bukan siapa-siapa dan nggak kamu kenal," balasnya setelah selesai tertawa, lalu beranjak meninggalkan Risa.

"Iya! Aku menghindari perjodohan itu karena dia selingkuh!" seru Risa mengakui.

Langkah Adit kembali terhenti. Dugaan Adit benar. Risa kabur dari Rusia karena menghindari perjodohan itu. Dia pun baru tahu jika hubungan Rino dengannya tak terjalin baik. Rino tak banyak cerita mengenai Risa padanya. Jika ditanya mengenai Risa, maka Rino akan diam dan terlihat kesal.

"Hubungan aku dan Alex tak pernah baik saat aku memilih untuk kuliah di Rusia, dan mendukung Mama untuk menikah lagi dengan orang sana. Sejak itu pula kami jarang komunikasi. Tujuh tahun dia tak pernah membalas pesanku. Jangankan membalas pesan, telepon dari aku juga tak pernah dia angkat. Dia berubah sejak aku menentukan pilihan itu." ungkap Risa pada Adit.

Tak ada balasan. Adit masih bergeming, memikirkan perkataan Lisa.

"Jika Alex tau aku ada di sini, dia pasti akan menyuruhku pergi atau kembali ke Rusia, terlebih rumah ini disewakan oleh kamu. Sekarang posisiku sulit. Mama memblokir kartuku dan sisa uang yang aku pegang tak banyak. Maka dari itu aku meminta padamu untuk tinggal di sini. Kamu boleh menyuruhku apa saja asal jangan mengusirku dari rumah ini. Hanya rumah ini tempat aku kembali dan mengenang masa lalu bersama keluarga." Air mata lolos dari mata Risa setelah menjelaskan masalahnya pada Adit. Biarlah Adit tahu agar dia bisa tinggal di rumah itu. Adit sudah terlanjur tahu duduk permasalahannya.

"Aku izinkan kamu tinggal di rumah ini." Adit bersuara.

Risa mengusap air matanya. "Apa kamu akan kasih aku syarat? Aku tau kalau semuanya nggak akan gratis," imbuhnya.

"Seperti yang kamu tau. Di sini nggak ada tukang masak dan tukang bersih-bersih. Kamu bisa jadi pengganti mereka."

"Tapi aku bukan pembantu," elak Risa.

"Aku nggak bilang kamu seperti itu."

"Sama saja."

"Mau atau nggak?" Adit memberi pilihan.

Raut Risa berubah kesal. Kepalanya mengangguk lemah. Dia terpaksa menerima karena tak ada pilihan. Adit bergegas meninggalkannya setelah melihat gadis itu mengangguk tanda setuju. Lari paginya tertunda karena terlibat obrolan sengit dengan Risa.

***

3 bulan. Risa harus bertahan sampai masa sewa Adit pada rumah itu selesai. Bagi Risa, waktu tiga bulan tidaklah lama. Lagipula rumah itu milik keluarganya, jadi tak masalah jika dia harus merawat rumah itu. Syukurnya Adit mengizinkan walaupun harus tahu kronologisnya lebih dulu. Setidaknya Adit memiliki jiwa peduli.

Pemandangan di teras belakang rumah sunggu memesona. Hamparan pohong rindang memanjakan mata. Ditambah kolam renang persisi di bibir jurang.

Perhatian Risa teralih ketika melihat sosok Adit berjalan mendekati kolam. Kedua alisnya bertaut. Apa yang akan Adit lakukan? Risa menegakkan kepala dalam keadaan tubuh tengkurap di atas sofa. Pandangannya mengamati Adit yang sedang melakukan pemanasan. Sepertinya dia akan berenang. Raisa merasa kagum pada laki-laki itu karena pandai berenang. Terlihat jelas jika Adit pecinta olahraga. Tubuhnya kekar dan terpahat sempurna.

Kepala Risa menggeleng cepat karena sudah memerhatikan Adit cukup lama. Dia sama sekali tak tahu Adit siapa dan pekerjaannya apa. Risa hanya tahu jika Adit teman SMA kakaknya sekaligus penyewa rumah itu. Jika Alex menyewakan rumah pada seseorang, sudah pasti bukan sembarang orang.

Risa beranjak dari sofa untuk keluar. Jangan sampai dia tenggelem memerhatikan Adit yang sedang berenang. Bahaya. Ketampanan Adit bisa menghantuinya. Gerakanya terhenti karena suara ponsel berdering. Risa mengedarkan pandangan untuk mencari benda pipih itu. Sudah beberapa hari ponselnya baru aktif. Dia meraih ponsel di atas sofa yang sebelumnya dia duduki, lalu menatap layar untuk memastikan siapa yang menghubunginya. Matanya menjuling ketika tahu siapa yang menghubunginya. Mengabaikan adalah jalan terbaik. Ponselnya kembali senyap. Beberapa pesan pun masuk.

From: Marcelio
Kamu di mana?
Kenapa tidak menerima panggilan telepon dariku?
Kenapa kamu tidak membalas pesanku?

Hanya dibaca. Risa tak ingin membalas pesan Marcelio, kekasihnya. Lebih tepatnya laki-laki yang sedang dijodohkan dengannya. Risa menyesal karena menerima perjodohan itu jika akhirnya tahu Marcel tak setia. Pesan lain masuk dalam di ponsel Risa.

From: Mama
Risa! Kamu di mana?!
Kamu akan menyesal karena sudah kabur!
Mama sudah blokir semua kartu kamu.
Kembali ke sini atau Mama blokir kartu kamu selamanya!

Risa menghela napas. Sudah cukup selama ini dia menurut pada sang mama. Tak peduli jika kartunya debitnya diblokir. Risa memilih tak punya apa-apa daripada harus menikah dengan laki-laki yang tidak setia. Tangannya bergerak membalas pesan sang mama.

To: Mama
Maaf, Ma. Risa nggak bisa kembali ke sana.
Risa akan kembali ke sana kalau Mama batalkan perjodohan Risa dengan Marcel. Risa nggak mau menikah dengan laki-laki yang nggak setia.

Setelah membalas pesan sang mama, Risa mematikan ponselnya. Mengaktifkan ponselnya sama saja minta diteror oleh sang mama dan Marcel. Dia akan mengganti nomor jika waktunya sudah tepat.

Perhatian Risa kembali pada kolam untuk memastikan Adit masih di sana. Tak ada. Pandangannya mengitari sekitar kolam. Nihil.

Apa dia sudah selesai berenang?

Risa beranjak dari posisinya untuk keluar kamar. Jika pikirannya sedang tak tenang, Risa akan sibuk dengan alat-alat dapur. Dia bersyukur karena ada bahan makanan yang bisa diolah meski tidak komplit. Memaklumi jika penghuni rumah itu laki-laki. Adit baru tinggal di rumah itu sekitar satu pekan.

Kepala Raisa menyembul ketika pintu kamarnya perlahan terbuka. Memastikan jika Adit tak ada di sekitarnya. Aman. Dia bergegas keluar dari kamar untuk menuju dapur. Langkahnya terhenti ketika melihat Adit baru saja masuk dari area kolam. Meski Adit mengenakan kimono, tetap saja dia risih. Risa membalikkan tubuh, memunggungi Adit. Ingatannya langsung tertuju pada saat pertama kali melihat Adit dalam keadaan telanjang dada.

Adit berjalan masuk mengabaikan Risa yang masih berdiri di dekat dapur. Merasa aneh dengan gadis itu yang berdiri memunggunginya. Risa melirik dengan ekor mata. Adit berjalan menjauh darinya dan tak terlihat saat berbelok di ruang tengah. Risa menghela napas. Langkahnya kembali mengayun ke dapur.

Pandangan dia edarkan untuk memastikan bahan yang tersedia. Sup buatannya kemarin di makan habis oleh Adit walaupun sudah dingin. Pancake buatannya tadi pagi pun dihabiskan Adit. Risa sengaja menyisakan beberapa tumpuk pancake untuk Adit. Dia yakin jika Adit akan menyukai masakannya.

Tangannya bergerak membuka kitchen. Napas keluar dari mulutnya ketika hanya melihat bahan itu-itu saja sejak kemarin. Ingin sekali ada bahan yang lebih banyak agar dia bisa menciptakan cita rasa yang berbeda dari masakan sebelumnya saat pertama dia masak ke rumah itu. Risa meraih dua bungkus mie instan dan tepung terigu. Untuk menambahi bahan, dia perlu telur. Dia kembali menghela napas ketika telur di dalam kulkas sudah habis. Semangatnya untuk memasak terkikis karena bahan yang tak mendukung.

"Kenapa?"

Risa terkesiap ketika mendengar pertanyaan dari Adit. Pandangannya terlempar ke sumber suara. Adit berjalan menghampirinya. Penampilannya selalu membuat terkesima.

"Mau bikin camilan, tapi bahannya tak mendukung," balas Risa santai. Memaksa santai.

"Aku nggak pernah stok bahan buat masak karena tinggal sendiri dan nggak mau ribet. Kecuali roti, selai, dan mie instan. Bisa beli di luar kalo laper atau bisa delivery." Adit menimpali.

Tubuh Risa bergerak minggir karena Adit tiba di dapur. "Kamu mau ngapain?" tanyanya.

"Mau masak air buat bikin kopi." Adit meraih panci, lalu mengisi dengan air untuk dimasak.

"Sekarang ada aku. Aku lebih suka masak daripada beli. Aku butuh bahan buat masak."

"Beli saja. Silakan kalau kamu mau masak."

Risa membalikkan tubuh. "Kamu nggak mau modalin? Padahal kamu juga ikut makan. Lupa sama sup kemarin dan pancake tadi pagi?"

"Itu kamu yang masak?" Adit membalikkan tubuh menghadap Risa.

Mereka saling berhadapan dan saling tatap satu sama lain. Saling terkesima akan wajah masing-masing.

Dia tampan juga, bisik Risa dalam hati.

Kenapa dia terlihat manis? tanya Adit dalam hati.

"Iya. Sup sama pancake yang kamu makan kemarin aku yang bikin. Kenapa? Nggak percaya?"

Adit membuang wajah. "Aku nggak percaya," balasnya santai.

"Nggak percaya ya sudah. Up to you." Risa berlalu dari dapur karena kesal pada Adit.

Aku tidak akan masak lagi untuk dia. Percuma saja aku masak kalau dia tidak menghargai dan tidak percaya. Dia menyebalkan.

***

Yaelah, Adit.
Kok kamu gitu, sih, Dit?
Risa udah cape-cape masak malah nggak kamu akui.

Note: part sebelumnya aku edit lagi, ya. Kemudaan kalo Risa umur 23 tahun, jadi aku ganti umur 25, mengingat usia Adit sudah kepala 3. Ada juga yang aku edit lagi, jadi kalau berubah di part ini, silakan baca lagi part sebelumnya. Enjoooyyyyy.

Sudah follow dan tap bintang?
Yang sudah sini koment.
Mau tak kasih ♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro