BAB 9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

      Satu tas go green milik Ryu penuh oleh jajanannya. Dia baru saja keluar dari salah satu minimarket. Angin berhembus dingin saat kedua kakinya berada di pelataran toko modern tersebut.

      Dia menengadah. Gelap. Cukup gelap untuk pukul lima lewat enam belas menit di sore hari. Hujan pasti sebentar lagi akan turun. Hal yang sebenarnya biasa saja, namun mendadak menjadi hal yang dinantikan Ryu sepanjang hari. Sebab saat itu, dia bisa melihat gadis tambatan hatinya bermain di halaman rumah berpagar silver itu.

      Ryu bergegas menuju rumah, berjalan cepat dan jelas dia tidak akan memakai jalan pintas, gang pembuangan itu. Sudah banyak peristiwa berdarah di sana, dia yakin banyak residu tertinggal hingga membuat angker tempat kebanggaan para hama.

      Sepuluh langkah lebar lagi menuju rumah, hujan telah menghujam kotanya begitu deras. Ryu berlari menutupi kepalanya dengan tas belanjaan. Sempat terheran, karena dia sangat yakin telah mengunci pagar, tapi tak dipedulikan di detik berikutnya. Justru menguntungkannya dari kuyup yang mungkin saja mendekap.

      Tepat seperti dugaannya. Gadis itu keluar, memakai mantel dan payung, berputar-putar, merentangkan tangan membiarkan payung tetap digenggamannya dan menengadahkan kepala, membiarkan hujan membasahi wajahnya secara langsung.

      Manis seperti bayi.

      Chica menyadari keberadaannya. Dia melambaikan tangan, tersenyum manis membuat mata indahnya menyipit. Ryu membalas dan izin harus masuk ke dalam segera. Dia baru menyadari ada kendaraan tidak asing terparkir di sebelah motornya. Rayan, sepupunya ada di rumah.

      "Gua mau minta pendapat lu, tapi lu harus rahasiain ini, kalau nggak reputasi gua terancam." Rayan menyerbunya tanpa jeda begitu Ryu menampakan diri di ruang tamu.

      "Gua napas dulu, Bang! Baru juga nyampek!" kesal Ryu. "Ada apa, sih!?"

      "Soal mayat-mayat di gang itu, tim gua yang ambil alih dan sekarang gua mau minta pendapat lu sebagai orang awam."

      "Gila lu, ya!? Itu properti kepolisian, tapi lu malah nunjukin ke orang lain."

      "Lu keluarga gua ini." Santainya.

      "Orang dalam juga bisa jadi pelaku kali, Bang."

      "Lu penasaran apa nggak? Kalau nggak .... ya, gua bisa minta tolong ke Frey."

      "Penasaran!"
    
      Jawaban yang menjengkelkan untuk didengar. Beberapa foto diletakkan Rayyan di atas meja. Ryu membiarkan barang belanjaannya terhampar di lantai.

      Foto-foto yang tidak pernah dibayangkan Ryu akan menyapa matanya. Dia belum pernah disuruh menganalisa pola pembunuhan yang korbannya mutilasi seperti ini. Ini terlalu mengerikan untuk dilihat, walau hanya 2 menit.

      Ryu mengenyahkan foto-foto itu.

      "Gua nggak tahu dan nggak mau lihat, terlalu sadis."

      Dicarinya minuman yang tadi dibelinya. Ryu perlu menyegarkan pikirannya.

      "Lu nggak ke kantor? Katanya lagi nanganin kasus ini,"

      "Lu kira gua di sini ngapain? Foto-foto ini nggak mungkin 'kan gua jejer di jalanan."

      Benar juga. Melihat sepupunya begini, terbesit keinginan untuk menjadi polisi atau mungkin detektif yang mengambil alih seluruh kasus pembunuhan. Baginya ini menyenangkan.

      "Oh iya," Ryu teringat sesuatu. "Lu bisa jadiin Raka sebagai saksi. Pas mabuk kemaren, dia bilang dia ketemu pelaku di dua kasus awal. Pakaiannya serba hitam dan arah kemunculannya selalu dari blok sini."

      "Mabuk?" Mata sepupunya menyipit.

      "Gua nggak kok, sumpah!"

      Sepupunya mengangguk. Dia percaya itu.

      "Lu yakin si Raka nggak halu?"

      "Orang mabuk 'kan ngomongnya dari hati."

      "Kata siapa? Tapi, bolehlah diselidikin. Kasus yang satu ini agak rumit." Rayyan membuang napas berat.

      "Rumit?"

      "Pelakunya profesional, TKP bersih nggak ada jejak, bahkan sehelai rambut pun nggak ada."

      Tidak ada yang bisa diucapkan Ryu, selain menyodorkan minuman isotonik pada sepupunya.

      Ponsel Rayyan yang tersimpan di atas meja berdering, nama partner lapangannya muncul di layar.

      "Lagi?" pekik Rayyan yang mendapat perhatian dari Ryu.

      "Oke gua ke sana, 3 menit lagi," Terdapat jeda beberapa detik yang menandakan Rayyan sedang mendengarkan lawan bicaranya. Sambil menerima panggilan, Rayyan membereskan foto-foto yang dikeluarkannya dan menyimpannya di map. "Lagi di rumah adek gua. Gua jalan sekarang!"

      "Kenapa, Bang?"

      "Korban baru."

_o0o_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro