11🌸

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Filomela terkejut mengetahui bahwa situasi di rumah pacarnya ternyata jauh lebih mencekam dari yang dibayangkannya. Orang tua Astrid bertengkar di suatu ruangan, saling menghardik dan menghujat, sementara suara barang-barang dilempar dan dibanting menciptakan kegaduhan yang menggema hingga ke kamar.

Karena situasi di rumah terlalu mengerikan, Astrid membawa Filomela keluar dan kini mereka berada di taman bermain anak-anak yang sepi. Mereka duduk berdampingan di kursi ayunan, saling berdekatan.

"Aku minta maaf," ucap Astrid, memecahkan keheningan di antara mereka. "kamu pasti masih kaget."

Meremas erat tali ayunan tempat duduknya, Filomela mendorong kakinya setinggi mungkin sebelum akhirnya melepaskannya. Akibatnya, kursi ayunan bergetar lembut, bergerak dengan berayun pelan.

Sambil menikmati ayunan kursi gantung, Filomela melirik ke arah Astrid yang duduk di kursi ayunan sebelahnya. Astrid tampak diam, tidak mengayunkan kursinya seperti dirinya.

"Kamu ga perlu minta maaf," ucap Filomela, sambil kursinya masih berayun-ayun. "justru harusnya aku yang minta maaf, aku yang maksa pengen main, kan?"

Astrid menatap Filomela dengan ekspresi penuh kesedihan. Sementara itu, Filomela memberikan senyuman lembut pada pacarnya, yang tampak masih merenung tentang kejadian tadi.

Di balik senyuman cerianya, Filomela sebenarnya masih diliputi kegelisahan. Dia tidak pernah membayangkan betapa kerasnya pertengkaran antara suami-istri bisa terjadi. Namun, dia tidak ingin Astrid terus merasa bersalah. Karena itulah, gadis itu berusaha seceria mungkin, berupaya menciptakan suasana yang menyenangkan.

Saat kursinya masih berayun, tiba-tiba Astrid mengucapkan sesuatu yang membuat Filomela menghentikan gerakan ayunannya.

"Ayahku maniak judi, ibuku pencandu alkohol," kata Astrid sambil menatap rumput yang menutupi permukaan tanah. "itulah yang terjadi ketika dua orang yang masih belum selesai dengan dirinya sendiri, malah menyatu."

Filomela merasa bingung bagaimana harus merespons, karena pembahasan ini terasa serius dan berat. Namun, apapun itu, dia tahu bahwa dia harus memberikan jawaban agar Astrid tidak merasa terabaikan.

"Itulah cinta," Filomela berkata dengan ekspresi wajah serius dan tegang. "cinta itu, menurutku, tidak mengenal kondisi dan situasi, terkadang bisa muncul kapan saja pada siapa saja."

Mendengar perkataan Filomela, Astrid hanya mengulas senyum tipis. "Ya, kamu benar," Namun, dalam sekejap, senyuman Astrid memudar.

"Filomela," Tiba-tiba, Astrid bangkit dari kursi ayunan, berdiri, dan melangkah menuju Filomela. "aku jadi pengen main ke rumah kamu, gimana kalau sekarang kita pergi ke rumah kamu, tapi kalau enggak boleh, gapapa kok."

Filomela terbelalak mendengar perkataan Astrid, tetapi gadis berambut merah muda itu tampak senang. "Boleh banget!"

Akhirnya, mereka meninggalkan taman bermain, meninggalkan kursi ayunan yang sebelumnya mereka duduki.

Filomela benar-benar terkejut karena kunjungan Astrid ke rumahnya terjadi begitu cepat, di hari yang sama setelah kunjungannya ke rumah Si Ketua OSIS. Namun, dia merasa sangat senang dan bahagia mengetahui bahwa Astrid tertarik untuk datang ke rumahnya.

"Kayaknya Papa baru lihat mukanya, teman baru kamu?" tanya Sang Ayah kepada Filomela, saat gadis itu sedang menyiapkan minuman di dapur untuk Astrid yang sudah berada di kamarnya.

"Bukan," ucap Filomela sambil menoleh ke arah ayahnya. "dia bukan teman aku. Dia pacar aku, Pa."

Tersentak, Sang Ayah tampak terkejut, namun perlahan-lahan senyuman mulai melengkung di wajahnya. "Namanya siapa?"

Mendengar bahwa ayahnya tampak ingin tahu lebih banyak tentang kekasihnya, Filomela langsung berseri-seri. "Namanya Astrid Wulandari, dia Ketua OSIS di SMA Garuda."

Wajah Sang Ayah kembali dihiasi keterkejutan, kali ini disertai dengan ekspresi kekaguman dan kebanggaan. "Hebat banget Anak Papa, pacarannya sama Ketua OSIS."

Filomela hanya tertawa saat ayahnya mengucapkan hal itu.

"Tadi kamu ngobrol sama ayah kamu ya?" Astrid bertanya sambil duduk di lantai, setelah Filomela kembali ke kamar dengan membawa dua gelas jus jeruk yang diletakkannya di meja kecil.

Filomela duduk di lantai, berhadapan dengan Astrid, dan menjawab, "Iya! Itu Papa aku! Dia tadi nanyain kamu, dikiranya kamu itu temen baru aku, tapi aku jelasin, kalau kamu bukan temen aku, tapi pacar aku."

Wajah Astrid seketika memerah pekat. "K-Kamu bilang begitu sama Papa kamu?"

Dengan anggukan kepala, Filomela berkata, "Iya."

"Jadi Papa kamu udah tahu kalau kamu suka perempuan?" Astrid tampak terkejut menyadari betapa santainya interaksi Filomela dengan ayahnya saat membahas kisah cinta sesama perempuan.

Menahan tawa, Filomela segera membalas sambil menyeruput jus jeruk yang dibawanya tadi. "Iya, aku udah ngaku dan Papaku nerima."

Rasa iri mulai muncul di hati Astrid saat mendengar Filomela diterima oleh ayahnya terkait seksualitasnya, terasa sangat mustahil bagi dirinya untuk mengaku seperti itu pada orang tuanya yang sering bertengkar setiap hari.

"Aku ikut seneng kalau Papa kamu nerima kamu," Astrid berucap sambil menyunggingkan senyum tipis. "kalau Ibu kamu, gimana responsnya?"

Ekspresi ceria Filomela yang semula penuh senyuman langsung memudar seketika saat Astrid menanyakan tentang keberadaan Sang Ibu.

"Aku ga punya Ibu."

Hanya itu yang diucapkan Filomela sebelum akhirnya gadis berambut merah muda itu beralih topik, seolah-olah memaksa Astrid untuk berhenti membahas keberadaan ibu kandungnya. Meskipun Astrid masih penasaran, ia menyadari bahwa melanjutkan pertanyaan tersebut hanya akan membuat Filomela semakin tidak nyaman.

"Papa! Kak Ricky! Astrid mau pamit pulang!" Filomela berteriak di ruang tengah, tempat di mana mereka bertiga sering berkumpul untuk menonton televisi bersama.

Sang Ayah muncul dari pintu belakang, mengenakan kaos putih yang penuh noda tinta warna-warni. Dengan senyuman lebar, ia menyapa Astrid dengan ramah sambil berkata, "Wah, kenapa buru-buru pulang?"

Tampak sedikit tegang, Astrid menjawab, "I-Iya, soalnya udah malam, takut dicariin, Om."

Tertawa terbahak-bahak, ayahnya Filomela mengangguk-anggukkan kepalanya dengan bilang, "Jangan manggil Om, panggil Papa aja," Kemudian suara Sang Ayah merendah, seolah-olah sedang berbisik kepada Astrid. "sering-sering main ke sini ya, Astrid, biar Filomela ga kesepian."

Astrid hanya terkekeh, sementara Filomela, yang juga mendengar bisikan itu, cuma tersenyum tipis, tampak menahan tawanya.

Hanya Ricky yang tidak terlihat, mungkin sedang malas untuk keluar dari kamar. Akhirnya, setelah berpamitan pada Filomela dan ayah pacarnya, Astrid pun pulang ke rumahnya, sendirian.

"Pacar kamu cantik." kata Sang Ayah, kepada Filomela yang berdiri di sampingnya.

Mendengar itu, Filomela hanya memeletkan lidahnya pada Sang Ayah. "Pastinya dong."

Satu jam kemudian, Filomela bertukar pesan dengan Astrid, membahas hal-hal lucu yang membuat gadis berambut merah muda itu tertawa saat membaca setiap kata dari pesan kekasihnya.

Berbaring di ranjang, Filomela tampak sangat bahagia, merasa hidupnya akhirnya kembali normal dan cerah, jauh dari suasana kelam dan mencekam yang melingkupi hari-harinya sebelumnya.

Saat Filomela sedang mengetik balasan pesan untuk Astrid, tiba-tiba orang yang bersangkutan menelepon. Kali ini bukan sekadar panggilan suara, melainkan panggilan video. Tentu saja Filomela terkejut, namun segera merapikan rambut merah mudanya sebelum mengangkat telepon tersebut.

"Hai." sapa Astrid dengan senyuman lebar, tampak pula sedang berbaring di ranjang di kamarnya, seperti Filomela.

"Hai!" balas Filomela dengan nada yang lebih tinggi dan riang, mengatakan hal yang sama. "Ada apa nih?"

"Enggak, aku cuma kepikiran aja soal kamu dan Agnes."

Dengan mengedipkan bulu matanya, Filomela tampak heran. "Oke, emang kenapa?"

Setelah menarik napas panjang, Astrid mulai berbicara kembali. "Rahasia kalian dibocorin sama orang misterius, kan?" Dengan jeda sebentar, Astrid kembali melanjutkan. "Sebagai Ketua OSIS, aku cemas, takutnya serangan orang itu enggak berhenti di kalian. Sekolah bisa heboh kalau setiap hari ada siswa yang rahasia besarnya dibocorkan dan diviralkan di internet atau lewat pesan berantai."

Bola mata Filomela menegang, entah kenapa dia merasa Astrid akan mengatakan sesuatu yang luar biasa.

Melanjutkan ucapannya, Astrid berkata, "Jadi aku punya ide, gimana kalau kita buat ekstrakulikuler baru khusus untuk orang-orang yang mungkin sedang diasingkan atau dikucilkan oleh teman-temannya, mirip seperti apa yang kamu dan Agnes alamin kemarin, soal kegiatan dan aktivitas ekskulnya biar aku atur nanti. Menurut kamu gimana?"

Setelah mengemukakan rencana cemerlangnya untuk menangani orang-orang yang mungkin menjadi korban berikutnya dari serangan siber yang dilancarkan oleh sosok misterius dari balik layar, Astrid meminta pendapat Filomela.

Ekspresi wajah Filomela menunjukkan keterkejutan yang mendalam; apa yang baru saja diungkapkan Astrid sangat mengagumkan, hingga membuat seluruh kulit Filomela jadi merinding.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro