13🌸

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ini, Filomela telah menyusun rencana matang di benaknya, membuatnya begitu antusias untuk segera mewujudkan semua yang telah ia pikirkan. Tentu saja, rencana ini berkaitan dengan ekstrakurikuler yang kemarin dibahas oleh Astrid, yang menjelaskan bahwa agar ekskul tersebut terbentuk dan mendapatkan ruang khusus, mereka membutuhkan minimal lima anggota terlebih dahulu.

Apabila Filomela dan Astrid dihitung, mereka masih membutuhkan tiga orang tambahan yang bersedia bergabung, sehingga jumlahnya akan genap menjadi lima anggota pendiri.

"Kapan Astrid main lagi ke sini?"

Itulah pertanyaan yang diajukan sang ayah saat Filomela, seperti biasa, duduk untuk sarapan di meja yang sama dengan ayah dan kakak laki-lakinya pada pagi hari. Filomela melirik ke arah wajah ayahnya yang tenang, tengah menggigit brokoli dengan ekspresi damai.

"Enggak tahu," sahut Filomela sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Ia melanjutkan bicaranya dengan pipi yang mengembung sambil mengunyah, "Astrid dan aku lagi sibuk mau buat ekskul baru, jadi kayaknya kami enggak ada waktu buat saling main ke rumah."

Ricky, yang mengenakan kaos putih berlengan pendek dan duduk di sebelah kiri Filomela, terkejut mendengar perkataan adiknya. Sementara itu, sang ayah hanya sedikit terpana sebelum akhirnya kembali membuka mulut untuk bertanya lebih lanjut, "Kreatif banget anak Papa, emang mau buat ekskul apa?"

Kali ini, Filomela merasa sedikit kebingungan mencari cara untuk menjelaskannya, karena menurutnya hal itu cukup rumit. Namun, ia tak punya pilihan lain selain memberitahu ayahnya, karena sang ayah sudah mengetahui sebagian.

Akhirnya, setelah berpikir keras, Filomela mencoba menjelaskannya dengan bahasanya sendiri tentang ekstrakurikuler tersebut kepada ayahnya—dan juga Ricky yang tentu saja ikut mendengarkan dan menyimak.

"Intinya sih, buat jadi ruang aman untuk murid-murid yang lagi dijauhin atau dipojokin sama temen-temennya, jadi kayak ekskul anti-bullying gitu, Pa."

Sang ayah mengangguk-angguk, perlahan mulai memahami ekstrakurikuler yang ingin didirikan oleh Filomela dan Astrid di sekolah. Sementara itu, Ricky tetap berwajah datar, tampak tidak terlalu tertarik.

"Bagus itu, Papa dukung."

Mendapatkan dukungan dari ayahnya terhadap proyek yang sedang ia kerjakan membuat Filomela merasa bahagia. Ia merasa beruntung memiliki sosok ayah yang selalu mendukungnya, karena ia tahu di luar sana banyak orang tua yang bukannya mendukung, malah meremehkan.

Entah mengapa, pikiran itu membuat Filomela jadi teringat pada Astrid.

Filomela tahu bahwa hubungan orang tua Astrid sangat tidak harmonis, namun ia masih belum sepenuhnya tahu bagaimana interaksi Astrid dengan kedua orang tuanya—apakah damai atau justru sebaliknya.

"Hey Ricky, kamu masuk aja ke ekskulnya Filomela dan Astrid," Begitu sang ayah mengucapkan hal itu kepada Ricky, pemuda berambut hitam tersebut langsung terkejut. "Biar kamu ada kegiatan di sekolah."

Filomela juga terbelalak, tidak menyangka ayahnya akan meminta Ricky untuk bergabung dengan ekskul tersebut. Sebenarnya, ia telah menargetkan kakak laki-lakinya, tetapi ternyata sang ayah sudah lebih dulu beraksi.

Menghela napas, Ricky tampak mulai menanggapi permintaan ayahnya dengan ekspresi malas. "Masa lupa sih Pa? Aku diskors seminggu, gimana caranya aku gabung kalau sekolah melarangku datang."

Sang ayah baru menyadari hal itu; ia lupa bahwa Ricky saat ini masih dihukum oleh pihak sekolah karena telah mengamuk dan menyebabkan lima siswa dirawat di rumah sakit. Mendengar itu, Filomela hanya tersenyum tipis.

"Bisa kok, Kak Ricky," Karena pembahasan sudah beralih ke perekrutan ekskul dan tampaknya kakaknya belum menolak, Filomela pun segera mengambil langkah. "Ga ada hubungannya sama status Kak Ricky yang lagi diskors, selama Kak Ricky bersedia, Kak Ricky bisa gabung kok!"

Ricky jadi terdiam, sepertinya sedang merenungkan respons yang akan ia sampaikan kepada Filomela.

Sang ayah tersenyum lebar, kemudian berbicara sambil melirik anak tertuanya, "Tuh, dengerin," ucap sang ayah sambil terkekeh kepada Ricky. "udah, jangan banyak mikir, kamu gabung aja."

"Mana kertas formulirnya?" Tiba-tiba, Ricky mengajukan pertanyaan itu kepada Filomela yang duduk di sampingnya.

"Eh?" Filomela kelihatan gelisah. "Kertas formulir apa?"

Dengan desahan, Ricky menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sang ayah segera menjelaskan hal-hal yang tampaknya masih belum dimengerti oleh Filomela.

"Kalau mau rekrut orang, seenggaknya kamu harus bawa kertas formulir pendaftarannya, kan harus ada bukti tertulis orang gabung ke ekskul kamu?"

Akhirnya, Filomela hanya tertawa kecil, menertawakan kebodohannya sendiri.

"Kamu kenapa Filomela?" Laila, si gadis berkaca mata, terkejut saat Filomela tiba-tiba masuk ke kelas dengan ekspresi cemberut.

"Aku lagi sebel sama diri sendiri." Filomela menjawab sambil duduk di bangkunya, masih mempertahankan raut cemberut yang membuat pipinya tampak mengembung.

Dengan penuh keheranan, Laila yang duduk di sebelah Filomela kembali bertanya, "Emangnya ada apa?"

Tak berminat menceritakan kejadian memalukan yang ia alami pagi tadi di meja makan bersama ayah dan kakak laki-lakinya mengenai kertas formulir pendaftaran, Filomela langsung mengalihkan tubuhnya ke arah Laila. Dengan tatapan dan sorotan mata yang begitu intens, gadis berambut merah muda itu berkata,

"Laila, kamu mau gak, gabung ke ekskul aku!? Aku belum buat kertas formulir pendaftarannya sih, tapi kamu bisa jawab dulu pakai lisan, kira-kira kamu mau gak, Laila!?"

Tentu saja, Laila terkejut ketika rekannya yang duduk di sebelahnya tiba-tiba mengungkapkan hal semacam itu—sesuatu yang sangat tidak biasa. Lagi pula, sejak kapan Filomela memiliki ekstrakurikuler sendiri di sekolah ini? Laila benar-benar kebingungan, tetapi meskipun ekspresinya dipenuhi tanda tanya, ia berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang, terutama karena yang sedang diajak bicara adalah Filomela, teman sebangku yang paling ia sayangi.

"K-Kalau boleh tahu, ekskulnya kayak gimana?"

Bola mata Filomela langsung berbinar-binar ketika Laila menunjukkan ketertarikan untuk mengetahui lebih dalam tentang ekstrakurikuler tersebut. Tentu saja, Filomela segera menjelaskannya dengan perlahan, sehingga Laila akhirnya bisa memahami.

"Gitu deh singkatnya," ucap Filomela, setelah menjelaskan semua alasan dan tujuan di balik ekstrakurikuler yang akan didirikannya bersama Astrid. "Jadi apa jawaban kamu, Laila!?"

"Eng... sebelumnya, boleh aku tanya sesuatu?"

Dengan semangat, Filomela menjawab, "Boleh, tanya aja sepuas kamu, Laila!"

"Aku lihat belakangan ini, kamu sering pulang bareng sama Ketua OSIS ya?" tanya Laila, dengan tatapan tajam yang begitu menusuk pada Filomela. "banyak yang bilang, kamu lagi pacaran sama dia, itu bener ga sih?"

Seketika, ekspresi Filomela yang sebelumnya dipenuhi senyuman ceria langsung lenyap, tergantikan oleh keterkejutan, kegelisahan, dan kerisauan. Filomela panik, bingung bagaimana harus merespons pertanyaan itu. Sebenarnya, ia sangat ingin mengungkapkan hubungannya dengan Astrid kepada Laila dan semua orang di sekolah, tetapi ia takut itu bisa memengaruhi status pacarnya sebagai Ketua OSIS.

Filomela khawatir Astrid bisa saja kehilangan jabatannya sebagai Ketua OSIS jika semua orang mengetahui bahwa gadis berkuncir kuda itu adalah seorang lesbian.

Itulah sebabnya, Filomela dengan canggung hanya menimpali dengan, "E-Enggak kok! Ahahaha! Mana mungkin! Aku sama dia emang udah deket dari dulu, temen masa kecil yang baru ketemu lagi di SMA. Gitu deh pokoknya, Ahahaha!"

Filomela tidak menyadari bahwa Laila bukanlah gadis bodoh yang mudah terperdaya oleh kebohongannya. Meskipun gadis berambut merah muda itu mengatakan demikian, si gadis berkaca mata tahu itu bukanlah kebenaran. Dari gelagat Filomela, Laila mengerti bahwa fakta yang sebenarnya justru sebaliknya.

Laila yakin, Filomela dan Ketua OSIS, memang sedang menjalin hubungan romantis.

"Lagi ngomongin apa sih?"

Baru saja Laila hendak memberikan jawaban mengenai ekstrakurikuler yang dibahas oleh Filomela, tiba-tiba sebuah suara muncul, menarik perhatian gadis berambut merah muda dan gadis berkaca mata untuk menoleh ke arah orang yang baru saja berbicara.

Ternyata itu Agnes.

Senyuman Filomela kembali mengembang saat ia menyadari bahwa target berikutnya yang telah ia rencanakan dalam pikirannya datang sendiri ke mejanya, membuat segalanya menjadi lebih mudah.

"Ah! Kebetulan banget! Agnes!" Tanpa basa-basi, Filomela segera bangkit dari bangkunya dan mendekati Agnes, menggenggam kedua tangan gadis berambut hitam itu dengan penuh semangat sambil berkata, "Ada yang mau aku omongin, jadi gini, aku sama Astrid buat ekskul baru, terus—"

"Aku udah tahu, kok."

Filomela langsung membeku ketika Agnes membalas demikian.

"Eh? Tahu dari mana?" tanya Filomela, terkejut.

"Dari Astrid," Agnes menjawab dengan nada santai. "tadi pagi kami ketemu di kantin, dia jelasin soal itu, dan aku tertarik, lalu dia ngasih kertas formulir pendaftaran, dan aku nulis data diriku di sana, dan yah, kayaknya aku udah resmi gabung."

Bola mata Filomela melotot, terkejut mengetahui Astrid ternyata telah lebih dulu mengincar Agnes. Bahkan, Astrid sudah menyiapkan formulir pendaftarannya segala, padahal Filomela ingin merekrut sahabatnya sendiri. Namun, karena sudah terjadi, Filomela tidak bisa berbuat apa-apa. Lagi pula, di sisi lain, Filomela merasa senang karena akhirnya Agnes bergabung dengan ekskulnya.

"Filomela!" Laila berseru dari belakang, membuat Filomela segera mengalihkan perhatiannya kembali kepada si gadis berkaca mata. "Aku juga, tertarik kok! Aku pengen gabung ke ekskul kamu, Filomela."

Mendengar Laila bilang begitu, membuat Filomela jadi terharu. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro