10. Fight

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Beberapa kali Revia menghindari es yang datang ke arahnya. Tasha tanpa memperdulikan apapun tetap saja melemparkan es yang semakin kecil untuk membuat Revia terluka.

Ringisan Revia terus terdengar pelan karena beberapa kali sayapnya terkena es kecil Tasha tetapi sepertinya Tasha tak menyadarinya. Karena merasa lemas, Revia mendarat di tanah.

Tasha tersenyum miring dan seketika kedua kaki Revia dibekap oleh es. Revia mencoba menggerak-gerakkan kedua kakinya tetapi hasilnya nihil.

"Ini adalah akhirnya Wings maker!!"

"Maaf itu mah salah cerita."

"Loh? Kau nggak bisa membuat berbagai macam sayap?" tanya Tasha bingung.

"Nggak pernah coba. Lagi pula di sini nggak ada buku yang biar tau kekuatan tersembunyi."

"Emang di dunia ini ada kekuatan tersembunyi?"

Revia terdiam sejenak sambil mengingat-ingat yang ada di seluruh ingatannya. "Tidak."

"Berarti itu nggak ada artinya ya?"

"Begitulah. Mangkannya jangan sembarangan nyebut, nanti authornya eh mamanya marah di sini."

"Oh baiklah, pakai namamu saja. Siapa namamu tadi?"

"Namaku Revia."

"Aku Tasha. Salam kenal. Nah! Ini akhir untukmu Revia!!!"

Di sisi lain Igvin dan lelaki di depannya diam-diam mendengarkan percakapan tak jelas kedua gadis itu.

"Gadis-gadis yang aneh," kata Igvin pelan.

"Itu benar. Skakmat!" seru lelaki di depannya riang.

"Apa?! Ulang lagi!" seru Igvin kesal sambil mengacak-acak apa yang ada di atas papan catur(?). (Padahal sebelumnya kartu, sekejab jadi catur).

Kembali di sisi kedua gadis itu. Tasha melemparkan kembali es-esnya, Revia yang telah menghilangkan sayapnya dengan gesit mencoba untuk menghindar walau beberapa kali terus terkena. Tak lama ia mengeluarkan sebuah tongkat di salah satu kantung celananya. Hanya sekali ayunan tongkat itu memanjang dan menghancurkan beberapa es.

"Kau punya senjata?!"

"Tentu saja, bagi yang bukan attaker ataupun defender pasti harus menyiapkan sebuah senjata," kata Revia.

Tasha menggeram, sebongkah es besar terbentuk dan datang ke arah Revia. Dengan sekali lihat saja sudah tampak duri-duri tajam di seluruh bagiannya. Revia melihat bongkahan itu dengan panik. Tentu saja hanya dengan tongkat ia tak dapat memecahkan es tersebut.

Revia tak tahu harus melakukan apa, ia hanya menggam erat tongkat di tangannya dan berencana memukul sekuat-kuatnya. Tiba-tiba saja sebuah tembok es terbentuk dengan cepat tertabrak oleh sebongkah es itu, tembok dan bongkah es itu sama-sama hancur.

"Apa kau selalu sial seperti ini?"

Revia menoleh ke belakang dan senyumnya melebar melihat lelaki di belakangnya. "Virgilio!" seru Revia senang.

"Tidak mencoba memukul es dengan tongkatmu?" tanya Virgilio datar dan tangannya menunjuk ke bawah.

"Oh iya!" Revia langsung memukul es di kakinya dan hancur dalam sekali pukul. "Pintar!" puji Revia sambil mengacungkan jempolnya ke arah Virgilio.

"Kau saja yang lamban."

"Jahatnya..." kata Revia mencoba bertahan dengan kata-kata setajam es itu.

Virgilio terdiam melihat Revia, lebih tepatnya melihat luka-luka di beberapa bagian tubuh Revia yang terkena es tajam tadi.

"Ada apa?" tanya Revia bingung.

"Lukamu," kata Virgilio yang mengalihkan wajahnya.

"Oh, tenang saja ini hanya luka kecil. Sudah biasa untukku," kata Revia yang membuat Virgilio kembali terdiam.

Tasha kembali menggeram melihat dirinya dihiraukan. Baru saja Tasha ingin kembali mengeluarkan kekuatannya tetapi tangannya ditahan oleh lelaki yang bersamanya tadi.

"Lepaskan aku," geram Tasha.

"Sampai di sini saja," kata lelaki itu menatap gadis itu dengan ekor matanya.

"Oi Virgi, kau mempunyai kekuatan es ya. Pantas kita tak akrab. Hahaha!!" Igvin mendekati Revia dan Virgilio dengan wujud manusianya.

"Jangan memberiku panggilan anehmu," kata Virgilio menatap rendah Igvin.

"Sama-sama Vi saja nggak bisa akrab. Gimana sih?" cibir Revia pelan.

"Hei aku masih bisa mendengar suaramu nona," kata Igvin sambil merangkul Revia.

"Sejak kapan kau memanggilku nona?! Mengerikan! Jangan panggil aku begitu!" seru Revia sambil berusaha menjauh.

"Kenapa? Kau tidak suka? Padahal aku merendahkan diri loh master," kata Igvin sambil menahan kedua pundak Revia.

Revia menggeliat mencoba untuk melepaskan pegangan Igvin, tapi apa daya dengan perbedaan kekuatan ia tak dapat melepaskan diri.

"HEI KAU!" seruan tersebut membuat ketiga orang itu menoleh dan terlihat Tasha melihat mereka geram dengan lelaki di sampingnya.

"INI MASIH BELUM SELESAI!" serunya penuh amarah.

"Tu-tunggu dulu, sampai kapan pertarungan ini selesai?!" tanya Revia tak percaya.

Tasha menyipitkan matanya yang membuat Revia merinding.

"Sudahlah, ayo. Kalau terlalu lama di luar kita akan mendapat hukuman," kata lelaki itu sambil membalikkan tubuh Tasha dan mendorongnya agar beranjak dari tempat itu.

"Tunggu! Kalian sebenarnya siapa?" tanya Revia sambil berlari menuju kedua orang itu tetapi langkahnya terhenti melihat sebuah portal dan kedua orang itu masuk.

"Kalian tidak tau siapa mereka?" tanya Virgilio sambil menatap punggung Revia yang kecewa.

"Kau tahu mereka?" tanya Igvin yang membuat Revia memutar tubuhnya.

"Tidak," kata Virgilio yang membuat Revia menunduk.

"Begitu... wanita itu adalah salah satu orang yang dihadapi oleh master saat itu. Saat master ingin di bunuh, aku datang tepat waktu," kata Igvin dengan bangganya.

"Ah iya, kau memang menolongku tepat waktu sekali," cibir Revia sambil melempar pandangannya.

"Kalian tau peperangan akan mulai?"

"Kapan?!" tanya Revia dan Igvin bersamaan.

"Ikut," kata Virgilio sambil bersiap beranjak dari tempat itu.

Revia dan Igvin bertatapan sejenak hingga akhirnya mengikuti Virgilio dari belakang. Mereka berjalan sampai di kota centrum, lebih tepatnya di pasar kota itu. Tak jauh dari sana ada sebuah papan pengumuman dan hanya terdapat secarik kertas di sana.

Revia dan Igvin berhenti untuk membaca tulisan di kertas itu. Sedangkan Virgilio menyingkir sedikit ke tepi. Revia menunjukkan wajah kagetnya, sedangkan Igvin tak mengerti apa pun.

"Apa tulisannya?"

"Kau tak dapat membacanya?" tanya Revia kembali.

"Tulisan para vibirus beda dengan kalian."

Revia mengangguk. "Isinya mengenai peperangan yang sebentar lagi akan dimulai. Tetapi... Dengan siapa? Mengapa kalian tahu dan percaya begitu saja?" tanya Revia sambil melihat Virgilio.

"Karena dikatakan oleh ahlinya."

Revia menaikkan sebelah alisnya bingung. "Ahli? Siapa?"

"Orang yang dapat melihat potongan masa depan."

"Hooo ada orang yang mempunyai kekuatan seperti itu ya? Sudah aku duga kalian lebih menarik karena lebih banyak dari dari vibirus," kata Igvin sambil meletakkan kedua tangannya di kedua sisi pinggangnya.

"Tentu, aku juga setuju dengan Igvin." sebuah suara membuat ketiga orang itu menoleh dan mendapati dua orang lelaki, salah satunya mempunyai rambut berwarna biru.

"Aqua!"

"Aquory," ralat Igvin kesal.

"Maaf," kata Revia sambil tertawa pelan.

Aquory juga ikut tertawa pelan. "Senyum anda manis sekali," puji Aquory sambil tersenyum manis.

"Oh.. te-terima kasih," kata Revia sambil menunduk sekaligus menyembunyikan wajahnya yang memanas.

"Kenapa kalian ada di sini?" tanya lelaki di samping Aquory.

"Oh, kami diajak kesini untuk melihat pengumuman ini," kata Revia sambil menunjuk papan pengumuman di sebelahnya.

"Memang, kalau mengenai kecepatan berita di kota pusat yang paling cepat," katanya sambil memungut-mungut. "Oh iya, kita belum berkenalan. Namaku Alvern, aku teman sekelas Virgilio," katanya sambil mengulurkan tangannya.

"Salam kenal, namaku Revia dan kami, aku dan Igvin tak sengaja bertemu Virgilio hingga akhirnya kami sampai di sini," kata Revia sambil tertawa pelan.

"Kau terlalu jujur master," kata Igvin dengan wajah datarnya.

"Begitukah?!"

"Master memang tak cocok ya kalau di suruh menyembunyikan sesuatu," kata Igvin sambil tertawa pelan.

"Bukan begitu, kalau ada yang suruh aku tak memberitahu kepada siapapun maka aku tidak akan mengatakannya," protes Revia kesal.

"Kalian sangat cocok ya?"

"Dari mananya?" tanya Revia menatap Alvern yang tertawa pelan dengan kesal.

"Tentu saja! Instingku memanglah bagus," kata Igvin dengan bangganya. "Dan pastinya refleks master lebih bagus dari padaku," lanjut Igvin sambil merangkul Revia yang telah pasrah.

"Oh iya! Kami berdua melihat kalian melawan pak Syl! Hebat sekali! Belum ada yang bisa menyentuh pak Syl, sekalipun lima orang sekaligus," seru Alvern semangat.

"Oh... terima kasih, ngomong-ngomong langit mulai gelap. Aku rasa sudah waktunya aku kembali," kata Revia sambil melirik langit sejenak.

"Ah, kau benar."

"Berikan aku nomormu," kata Virgilio sambil membuka hp-nya.

"Oke," kata Revia sambil membuka hp-nya dan menunjukkan nomornya ke Virgilio. "Eh, tapi buat apa?" tanya Revia bingung.

"Informasi. Sudah," kata Virgilio sambil menyimpan kembali hp-nya. "Sana pergi," usir Virgilio sambil berbalik dengan wajah yang melirik Revia yang kebingungan.

"Eh, oh iya baik," kata Revia yang bingung dan langsung membuka sayapnya.

"Uwaaaah... di lihat dari dekat ternyata bagus," kata Alvern yang mengulurkan tangannya untuk menyentuh sayap Revia.

Tiba-tiba Igvin menghempaskan tangan Alvern. "Tidakkah kau tahu bahwa sayap adalah bagian sensitif?" tanya Igvin dengan senyum sinis.

"Benarkah?!" tanya Alvern kaget.

"Kalau di pegang tidak masalah. Hanya saja kalau terluka, sayap ini yang paling menyakitkan," ralat Revia.

"Sudahlah, ayo kita pulang," ajak Igvin sambil mengubah wujudnya menjadi tringgiling dan melompat ke penutup kepala jaket Revia.

"Baiklah, kami pamit dulu," kata Revia yang menunduk sebelum akhirnya terbang meninggalkan tempat itu.

.
.
.
.
.
.

Saya membayangkan bagaimana writerblock-nya saya (yang dipaksakan) saat mengetik ini. *horor*

Tidakkah keliatan sebuah percakapan yang sengaja dipotong? :v

Draft cerita tinggal satu :"v semoga bisa ngebut sampe chap2 yang banyak biar terus mingguan up-nya #curhat.

Oke, terima kasih sudah membaca~

-(07/06/2018)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro