28. Find the Truth

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Revia menatap dinding tinggi yang berwarna abu-abu yang sangat gelap. Sebelah tangannya menggenggam erat tas yang di ikat di pinggangnya. Beberapa kali Revia menenangkan dirinya sembari melirik ke belakang. Sebuah portal oval yang menunjukkan Lora, Myron, Taka, Ethan, Igvin, dan Virgilio menatap ke arah Revia dengan tatapan khawatir, takut, dan serius. Revia menunjukkan senyumannya sebelum akhirnya berbalik, menghilang diantara pohon.

Mata Revia melihat sekeliling untuk mencari jalan masuk karena tidak terlihat seperti akan ada aktivitas yang membuat orang-orang di dalam keluar. Tak sengaja ia melihat sebuah jendela yang terbuka di atas kepalanya. Mau-tidak mau Revia harus menggunakan sayapnya karena posisi jendela yang tidak cukup jika memakai lompatan agar bisa masuk ke dalamnya.

Revia kembali menenangkan deru nafasnya sebelum merentangkan sayapnya. Dengan perhitungan seadanya, Revia menarik kedua sayapnya ke atas lalu menggentakkan ke bawah, hingga angin menerbangkan tubuhnya ke atas. Dengan cepat Revia masuk dan berusaha tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Akhirnya Revia masuk dan langsung bersembunyi di salah satu rak buku dari sekian banyak rak buku di dekatnya. Revia menghela nafas lega, tak ada bunyi tanda adanya makhluk hidup di ruangan itu. Baru saja Revia mau menghilangkan efek sihir, bunyi pintu membuat Revia membatu di tempatnya.

"Astaga," suara kesal terdengar dari arah pintu di belakang Revia. "Dio! Kenapa kau biarkan jendela terbuka?!" suara seorang wanita dengan nada kesal.

"Aku kira kenapa, kau'kan suka mengeluarkan bau-bauan aneh dari gelasmu. Jadi aku membuka jendela agar bau itu keluar," kata seorang lelaki dengan nada malas.

"Itu, bukan, gelas, tetapi, tabung reaksi. Lalu bau itu adalah bau kemenangan! Kenapa sih harus seseorang yang tidak mengerti kimia ada di tempat ini?!" suara kekesalannya memenuhi ruangan itu.

Revia memilih merangkak dari tempatnya ke arah kiri, di mana rak-rak buku tersusun rapi memanjang ke sana. Kepala Revia keluar sedikit sampai matanya bisa mengintip apa yang bisa di lihat dari rak buku yang paling ujung. Terlihat dua orang yang masih berdebat pada satu pihak saja.

Mata Revia menyelidiki sekeliling ruangan hingga akhirnya melihat sebuah jubah coklat yang penutup kepalanya di gantung pada sebuah tiang yang bercabang. Itu adalah tujuan selanjutnya. Suara keras mengalihkan perhatian Revia. Ternyata wanita itu sedang berteriak marah pada lelaki yang hanya menutup matanya, masih terlihat ekspresi yang sama pada wajah lelaki itu.

"Aku tidak percaya kau yang di kirim ke sini untuk membantu!" seru wanita itu kesal.

"Kalau mau protes, langsung katakan kepada Yang Mulia Raja."

"Tidak mungkin aku akan protes kepada beliau yang dengan baik hati menempatkan anak-anak yatim piatu di sini dan merawat dengan baik, sesuai kemampuan masing-masing anak. Kita ini sudah bukan seperti warga dan Raja, tetapi keluarga," kata sang wanita.

Pertanyaan di kepala Revia menjadi bertambah. Kalau di dalam benteng ini adalah hubungan erat bagaikan keluarga, mengapa ada dinding tebal yang memutuskan hubungan dengan dunia luar? Bukankah suatu negara lebih baik jika berhubungan baik dengan negara lainnya agar lebih berkembang?

"Karena itu bukankah lebih baik langsung berbicara kepada Yang Mulia Raja? Dia itu mendengar segala keluhan," kata lelaki itu acuh.

"Enak saja, hanya karena itu bukan berarti bisa memberikan semua keluhan langsung kepada Baginda," kata wanita itu kesal lalu beranjak ke pintu lain.

Lelaki itu menghela nafas pasrah lalu mengikuti wanita dari belakang. Revia menatap kedua orang itu sampai menghilang dibalik pintu. Lelaki itu terdiam sebelum menutup pintu yang ganggang pintu sudah di genggamannya. Matanya melirik ke arah Revia yang masih terdiam manis di tempatnya, sebelum akhirnya menutup pintu.

Revia beranjak dan langsung meraih jubah coklat yang menjadi tujuan barunya sebelum mengelilingi istana itu. Setelah memakai jubah, Revia melihat ke arah pintu yang tadi di masuki oleh kedua orang tadi. Merasa tidak ada pergerakan, Revia langsung keluar dari pintu yang pertama kali terbuka. Revia memegang ujung jubah terluar karena gugup memasuki tempat baru yang seharusnya tidak ia masuki. Ada beberapa orang yang melewatinya tanpa berbicara, hanya menatap dengan tatapan bingung.

"Hei! Kau yang pakai jubah!" Revia langsung membatu di tempatnya. Tepukan mendarat di bahu Revia. "Kau orang baru ya?" tanya seorang perempuan saat Revia menoleh ke belakang. Sebagai balasan, Revia mengangguk gugup. "Selamat datang, kau tidak perlu menggunakan jubah dia dalam ruangan kau tau?" kata perempuan itu dengan senyuman ceria.

"A-aku lebih nyaman seperti ini," kata Revia gugup dan membuang arah pandangnya.

Wanita itu menatap ke arah Revia dengan tatapan lembut. "Baiklah jika itu keinginanmu, tiba-tiba masuk ke tempat baru memang tidak mudah, tetapi saat kau masuk di sini maka kau sudah menjadi bagian keluarga," kata wanita itu dengan senyuman manis yang membuat Revia terdiam melihatnya. "Oh iya, aku belum memperkenalkan diri. Namaku adalah Gina," katanya dengan senyuman yang semakin lebar.

"R- maksudku, Avi," kata Revia yang kebingungan menyebutkan namanya sendiri.

"Nama yang unik. Apa kau ingin aku ajak keliling atau ingin berpetualang sendiri? Asal kau tahu saja, semua ruangan boleh kau masuki, kecuali kamar mandi pria dan kamar mandi yang sedang di pakai. Sisanya bebas keluar-masuk," jelas Gina yang tidak merasa lelah menunjukan lengkungan lebar di mulutnya.

"Aku akan berjalan sendiri," kata Revia yang sempat berpikir beberapa detik.

"Oh! Pilihan yang berani!" seru Gina ceria dan memukul pundak Revia beberapa kali. Besar kekuatannya sampai Revia hampir jatuh karena kaget. "Hanya ingin mengingatkan saja, ada beberapa orang yang akan marah jika kau membuka pintu secara tiba-tiba, jadi ketuk dulu sebelum masuk," jelas Gina dengan gaya guru yang menegur muridnya. Revia hanya bisa mengangguk gugup.

"Ah."

Revia melihat ke belakang Gina dan ia kembali membatu. Gina yang menoleh ke belakang langsung menunjukkan senyuman cerianya. "Tasha!!"

.
.
.
.
.
.


Bersambung!

Kayaknya aku nggak pernah sekali pun ngetik kayak gitu ya? wkwkwk.

Yang merasa nanggung siapa? Tiba-tiba udah bersambung aja. Ada yang merasa sesuatu terputus setelah melihat kata "bersambung"?

Maaf saya iseng, ini belum bersambung kok, masih 880 kata. Belum sampai 1000, jadi kalian boleh teang kok. Sekali-kali boleh dong iseng wkwk.

.
.
.

Revia masih terdiam ditatapi tajam oleh Tasha yang diam di tempatnya. Gina menatap Revia dan Tasha bergantian dengan tatapan bingung. "Apa kau pernah bertemu dengan Avi sebelumnya Sha?" tanya Gina bingung.

"Avi?" tanya Tasha dengan nada mengejek, Revia tersentak takut. "Iya, aku pernah bertemu dengannya," kata Tasha yang menahan senyuman mengejeknya.

"Begitu? Kalau begitu aku pergi dulu ya," kata Gina tanpa curiga berjalan meninggalkan kedua gadis itu.

Di dalam hati, Revia seakan-akan berteriak agar Gina tidak pergi meninggalkan dia dan Tasha berdua saja. Tasa menatap tajam kembali ke arah Revia setelah melihat Gina pergi. Revia terdiam dengan gugup karena cukup lama di tatapi seperti itu.

"Jadi, apa keperluanmu?" tanya Tasha yang menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Tidak mungkin kau sebodoh itu akan menyerang musuh di dalam sarangnya bukan?" tanya Tasha dengan wajah  malas.

"Tentu saja," kata Revia gugup. "Aku hanya ingin mencari informasi," kata Revia yang sudah menormalkan ekspresinya.

"Informasi? Apa lagi yang ingin di ketahui oleh orang-orang seperti kalian?" tanya Tasha yang menatap Revia kesal.

"Itu."

"Itu?"

"Alasan mengapa kalian marah dan menyerang, bahkan mengadu domba," kata Revia yang sudah menemukan tombol percaya dirinya.

"Apa? Tentu saja kalian sudah merebut apa yang menjadi milik negara ini," jelas Tasha dengan ekspresi kesal.

"Apa buktinya sampai kau bisa berkata seperti itu?" tanya Revia. "Selain apa yang di katakan oleh Yang Mulia Rajamu yang terhormat," kata Revia lagi yang membuat mulut Tasha yang sebelumnya terbuka, ingin mengatakan keluhan, kembali tertutup.

Tasha kembali memikirkan apa yang di pikirkan oleh Revia. Tentu saja ia bisa mengagung-agungkan Raja yang memberikan kasih sayang kepada anak-anak yatim piatu yang ia bawa ke dalam negaranya. Tetapi sisinya yang lain mengatakan bahwa ia sudah muak dengan segala pertarungan yang ada.

Revia menatap Tasha yang masih terdiam dengan mata yang melihat ke bawah. "Kalau begitu-"

"Tunggu." Revia tidak jadi berbalik, ia menatap Tasha yang menatapnya serius. "Aku ikut."

"Yakin?!" seru Revia tidak percaya.

"Kenapa?" tanya Tasha kesal.

"Ti-tidak, bukan apa-apa." Tidak pernah Revia tebak pikirkan sebelumnya, orang yang pernah membunuhnya kini akan membantunya. "Kalau begitu ada tempat yang kau sarankan?" tanya Revia.

"Tentu saja, satu-satunya tempat tersimpannya berbagai informasi," kata Tasha dengan senyuman sinis.

"Kau tidak akan mengatakan Yang Mulia Raja bukan?" tanya Revia ragu.

"Tidak masalah kalau kamu mau cari mati, tetapi jangan ajak-ajak," kata Tasha yang melewati Revia santai.

"Hei tunggu!" seru revia yang mengikuti Tasha dari belakang.

.
.
.
.
.
.

Kali ini bener-bener bersambung hehehe~

Terima kasih yang sudah menunggu, aku akan berusaha mengupdate cerita ini karena sudah mendekati ujung cerita, mohon siapkan mental~~

Mungkin sudah aku katakan saat up di cerita selanjutnya, tetapi aku akan mengatakan kembali untuk tidak panik. Kalau panik malah tambah susah, tapi hati-hati ya kalau berhubungan dengan orang luar hahaha~

Terima kasih sudah membaca~

-(20/03/2020)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro