[3] : Na Jaemin dan Kamera

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

• From Home •

•~~•

Gak usah pacaran sama cowok lain, sama gue aja

JaeBukanSembarangLelaki—

Spill dong, cara mengatasi hati yang terlanjur kecewa

NaJaemin

•~~•

—Di penghujung hari kala sinar senja mulai meredup menyisakan warna keunguan di atas langit yang menghiasi hiruk pikuknnya jalanan sore ini, Jaemin melangkahkan kakinya untuk kembali menjenguk sang Bunda setelah beberapa jam yang lalu hanya berluntang-lantung dijalanan sambil memotret beberapa gambar dari kamera yang tergantung di lehernya.

Kamera yang saat itu Taeil berikan setelah genap 40 hari kepergian Taeyong, pria itu tersenyum waktu itu seakan memberitahukan secara tidak langsung bahwa benda itu merupakan salah satu benda kesayangan milik Taeyong, benar apa kata orang, hati itu macam telor ceplok yang udah tanggung di acak, nggak akan bisa balik lagi seperti semula.

Anak itu masih mengais kamera ditangannya saat bertemu dengan pria yang sudah memasang sederet gigi rapih dengan bibir yang membentuk sebuah tarikan lengkung yang menghiasi wajahnya.

"Datang lagi hari ini" Taeil menepuk pundak Jaemin sesaat dengan wajah yang masih tetap tersenyum.

"Hehe, seneng aja liat bunda banyak senyum kalau disini"

"Makasih udah sempetin kirim buket bunga ke Bunda kamu"

"Buket bunga?" Jaemin mengernyitkan dahinya, mana ada Jaemin ngirim buket bunga, kalaupun Jaemin ingin memberikannya sudah pasti akan ia berikan secara langsung.

"Loh? bukan kamu yang kirim?"

"Nggak tu pa"

"Samperin aja sana, lagi seneng tuh"

Jaemin mengangguk kemudian melangkahkan kaki-kaki itu untuk pergi ke ruangan ibunya.

"Bun?"

"Kamu kesini lagi" wanita itu tersenyum yang hanya dibalas dengan cengiran lebar dari Jaemin.

"Tadi ada yang kesini?"

"Liat bunda dapet apa"

"Siapa yang kasih?"

"Suster disini"

Jaemin hanya mengangguk, bukan jawaban itu yang ia inginkan namun ia memilih untuk mengabaikannya, Jaemin kini terduduk tepat di kursi samping ranjang yang menghadap langsung ke arah jendela, tirainya sudah tertutup rapih mengingat malam akan segera tiba, anak itu menggenggam tangan ibunya, memperhatikan secara seksama sebuah gelang berwarna biru dengan tulisan nama ibunya disana.

"Rambutnya gak di potong?"

"Masih pendek"

"Udah panjang, kamu jadi kaya anak perempuan"

"Nanti Nana potong"

"Nanti kena razia"

"Gak apa-apa—" anak itu tercekat sesaat, ada memori kecil yang berputar dalam ingatannya kini "—lagian yang tukang razianya udah gak ada".

"Payong mau kurban?"

"Mana ada kurban pake gunting!"

"Oh atau jangan-jangan kita baru aja dibeliin satu unit apartemen sama Payong?"

"Hari ini pasti pembukaannya ya pa?"

"Potong pita?"

"Yoi" Jeno menyengir untuk sama-sama melakukan hi-fi dengan Renjun.

"Renjun"

"Iya pa?"

"Sini"

"Aaaaaakkkkk!!! Jangan sentuh aku!" Renjun berteriak dengan histeris kala Taeyong menyentuh rambutnya.

"Hari ini razia rambut"

"Ngibul si Payong, hari ini Kamis!"

"Liat rambut kalian udah kaya manusia goa, mana bau matahari!"

"Ini tuh namanya style pa!"

"Pokoknya gak ada yang keluar kelas, kelasnya saya kunci barusan"

"DIH! APA-APAAN ITU INI NAMANYA PEMAKSAAN HAK!" Haechan mulai meninggikan suaranya yang langsung diangguki oleh Jeno sebagai tanda persetujuan.

"SEBAGAI MASYARAKAT YANG MENJUNJUNG TINGGI HAK DAN MARTABAT KITA MENOLAK DICUKUR PAYONG!"

"HEH!! KALIAN UDAH BOLEH NGOMONGIN HAK KALAU KEWAJIBAN KALIAN UDAH DIPENUHI! SOK-SOKAN NGOMONGIN HAK ITU PERATURAN SEKOLAH SEGEDE GABAN AJA KALIAN OGAH NURUT!"

"Ya emang kenapa sih pa? Siswa itu mengeksplor diri kan bukan dikekang aturan gimana mau maju pendidikan kalau gini caranya!" Kini giliran Jaemin membuka suara, anak itu berani sumpah kalaupun Aram bisa jalan pake dua kaki, Jaemin tetep ogah dicukur sama Taeyong.

"Eksplorasi diri juga harus ke arah yang lebih positif bocah jahanam!—mana ada eksplorasi kalau kerjaan kalian cuman corat-coret bangku pake tipe-X!"

"Hihhhh! Pokoknya kita gak mau dicukur!!"

"Mau model apa coba, saya jago"

"Bohong banget"

"Saya tetep bakalan cukur rambut kalian hari ini"

Ucapan Taeyong nampaknya terlalu mutlak untuk di tentang, sekuat tenaga laki-laki itu berusaha dan pada akhirnya keempat anak itu berhasil di taklukkan.

Hasil potongan rambut asal-asalan yang Taeyong lakukan bahkan membuat Haechan bersikeras untuk memakai topi selama kurang lebih satu minggu sampai sekiranya rambut anak itu agak layak untuk dipandang.

Lamunan Jaemin seketika buyar tak kala rambutnya kini di usap secara berlahan oleh ibunya, matanya tersorot tepat ke arah kedua manik mata anak itu yang membuat Jaemin terpaku.

"Dicukur ya na"

Jaemin mengangguk.

"Oh iya, Ayah mana? Udah makan? Udah pulang kerja? Bunda kayanya udah lama banget gak liat ayah, orang-orang disini gak ada yang tau"

Kali ini sebuah hantaman lain malah menusuknya, pertanyaan yang justru membuat Jaemin kembali tersulut.

Tidak, Jaemin tidak benci pada ayahnya, sungguh.

Hanya saja ada sepercik kekecewaan atas keputusan yang dipilih oleh pria tersebut yang tak bisa sedikitpun Jaemin terima.

Apa ibunya sudah lupa?

Apa ibunya justru tak pernah mengingatnya?

Anak itu kembali menarik nafasnya mencoba untuk menetralkan pikirannya agar tak lepas kendali, Jaemin kembali tertegun selama beberapa saat kemudian memilih untuk tersenyum dengan begitu lembut "Ayah lagi diluar kota Bun, nanti Nana telepon kapan pulangnya"

•~~•

—Jaemin kembali  melangkahkan kakinya pulang menuju sebuah tempat yang katanya disebut rumah, anak itu tak kunjung memasuki rumah begitu dirinya tiba disana, dan memilih untuk menatap tanaman-tanaman hias yang kini sudah terlihat lebih tersusun dan terawat.

"Kalau memori di kepala kamu sudah terlanjur mati, setidaknya biarkan rumah ini tetap hidup dengan memorinya sendiri", Ucap Taeyong kala itu, Jaemin kembali terkekeh saat otaknya memberikan sebuah rangsangan atas pemikirannya, semua saran yang Taeyong ucapkan selalu memiliki efek luar biasa untuk banyak hal yang mampu mengubah kehidupannya.

Yang Jaemin tau, hari-harinya terasa begitu berat sekarang, beberapa situasi memang nampak membaik tapi disisi lain ada sebuah hati yang sedang sekuat tenaga berusaha mengikhlaskan, benar apa kata orang, beberapa hal memang harus direlakan demi memperjuangkan suatu hal yang lain, tapi merelakan dan mengikhlaskan bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan, bahkan rasanya waktu tak cukup handal untuk mengobati semuanya.

Jaemin meraih kenop pintu rumahnya kemudian berjalan masuk hanya untuk disambut dengan satu-satunya bingkai foto yang ada di rumahnya ini, netranya menatap dengan lekat pada foto itu, ada senyuman nanar yang kini tersungging pada bibirnya.

"Saya ada pertanyaan Pa, jika hari ini semua titik bergerak dengan begitu cepat melewati langkah saya, tanpa menoleh, tanpa ikut menarik saya, apa yang harus saya lakukan? bahkan hanya untuk melangkah saja agaknya saya mulai kembali tertatih"

•~~•

"Sejenis hewan?!"

"Bisa jadi! Bisa jadi!"

"Uhmm... unggas-unggas?!"

"Bukan!"

"Mamalia?!"

"Bisa jadi!"

"Kambing?"

"Bentar ngab—kayanya bukan hewan"

"Kayanya?!"

"Sabar dong, orang sabar katanya jidatnya lebar"

"Si Jaemin emang udah jenong makanya dilempar kuaci!"

"Jenong is pinter Chan"

"Jenong is teater tradisional"

"Itu lenong ege!"

"Cepet buru Jaem!"

"Hooh-hooh"

"Tebak!"

"Makhluk hidup?!"

"Ya ya ya!!!!"

Jaemin masih bersemangat untuk menebak sebuah gambar yang dicoretkan di atas kertas putih bergaris hasil merobek dari buku tulisnya yang kemudian di tempel dengan solatip, di hadapannya ada Renjun yang dengan segenap hati membantu Jaemin dalam permainan ini, Haechan dan Jeno udah bengek dari tadi sampai air matanya keluar saking bengeknya.

Jaehyun yang awalnya adem ayem datang dengan blazer coklatnya di buat menganga lebar tak kala melihat gambar tak senonoh yang tertempel di jidat Jaemin, tangannya dengan segera bergerak nabok jidat Jaemin dengan keras yang membuat anak itu jatuh terjengkang diikuti oleh gelak tawa dari ketiga anak lainnya.

Jaemin yang di tabok hanya bisa mengaduh padahal yang bikin gambar Haechan tapi malah ia yang justru kena imbas, sang oknum kini hanya bisa tertawa keras di lantai sambil memegang perut yang rasanya diserang keram mendadak.

"Mau jadi apa masa depan negara kalau remaja jaman sekarang modelan begini?"

"Emang muka saya fotogenik sih pa"

"Maksudnya bukan model yang itu Chan" Jeno menjelaskan

"Assalamualaikum Pa Jaehyun Ganteng"

"JIJIK BANGET!!!!"

"Yeuuuuu kemarin-kemarin yang maksa minta di panggil Jaehyun siapa hayo" Melihat ekspresi tak menyenangkan dari Jaehyun membuat Renjun justru semakin senang untuk kembali mengusilinya.

"Nada bicara kamu nggak usah yang bikin geli!"

"Orang nggak saya kelitikin"

"Pa Jaehyun juga gak ketawa kan?" Jaemin menimpal yang langsung diberi tanda jempol oleh Jeno.

"Ngamuk dia"

"Persis kingkong hilang habitat"

Kedua bola mata Jaehyun kian melebar tak kala mendengar ucapan Haechan yang sedang menyengir senang.

"KURANG ASEM!!"

"KETEKIN!"

"Makin asem bego!" Ucap Renjun tertawa.

"Kalian mau saya hukum kaya gimana lagi sebenernya hah?!"

"Apa aja deh pa—udah kebal, udah vaksin dua kali soalnya"

"Bisa di cek di aplikasi pedulilindungi"

Jaehyun dibuat mematung, tak ada yang ia lakukan kini selain memijat pelipisnya yang seketika berdenyut "Buka buku kalian, mau saya cek PR yang kemarin saya kasih"

"Lupa gak bawa"

"Bukunya di pake bungkus bala-bala pa"

"Kalau gak salah ketinggalan di meja makan rumah"

"Buku saya di jual pa sama ibu"

"Alesan Mulu hidupnya heran!"

"Emang bener kok!"

Jaehyun tak kehabisan ide, laki-laki itu sudah hafal betul seluk-beluk tingkah menyebalkan keempat bocah itu.

Gak akan nurut kalau gak disogok.

"Saya berencana ngajak kalian makan mie ayam padahal"

Sesuai dengan dugaan Jaehyun, keempat anak itu seketika berdiri dengan heboh, mencari-cari buku yang terselip di dalam tas mereka masing-masing, kecuali Haechan, anak itu hanya memakai tas selempang kecil berwarna hitam mirip rentenir bank.

Jaehyun sampai berfikir apakah anak itu benar-benar membawa buku didalamnya, tentu jawabannya ya, Haechan membawa bukunya, tapi digulung sampe sampulnya lecek.

"OH TENTU INI ADA, MOHON BERSABAR PA KITA BUKANYA HARUS PELAN"

"INI RAHASIA NEGARA SOALNYA—AYO JEN DIBUKA BUKUNYA" tutur Jaemin yang langsung ditoyor sama Jeno.

"KAPAN SIH KITA GAK NGERJAIN TUGAS"

"Lambemu ampas semua itu!!"

Laki-laki itu hanya terdiam memperhatikan keributan kecil yang dibuat oleh keempat bocah yang sedang beradu argumen tentang alat tulis mereka yang hilang entah kemana.

"Bentar pa, beli pulpen dulu"

"Gak ada! Pake pensil aja!"

Renjun kembali duduk di bangkunya setelah mendengar intruksi Jaehyun.

"Kalau nilai kalian bagus, saya beliin mie ayam"

"Kalau jelek?"

"Kalian beliin saya kopi starbucks"

"IDIHHHH TIDAK ADIL SEKALI"

"PA!! BAPA TAU GAK, BELI KOPI STARBUCKS ITU ALTERNATIF BAGI SAYA UNTUK MENUJU KEMISKINAN!"

"KOPIKAP AJA PA, RASANYA SEBELAS DUABELAS INI"

"Mau Torabika cappucino aja pa? ada tambahan choconya"

"Gak"

"PA JAEHYUN MAU LIAT DOMPET SAYA? ISINYA CUMAN STRUK MINIMARKET SAMA FOTO MBAK IRENE"

"BODO AMAT! MAKANYA NILAI TUH YANG BAGUS!"

"BAGUS KOK!!"

"APAAN! NILAI PAS KKM AJA ITU UDAH HASIL DARI BELAS KASIH SAYANG GURU-GURU YANG NGAJAR KALIAN!"

"Pa Jaehyun sayang kita?"

"G"

"Padahal kita sayang Teh Yeeun"

"Minta di lempar sepatu kalian emang!"

"Jangan pa, pentofel sakit"

"Makanya gak usah banyak tingkah"

"Orang saya dari tadi duduk"

"Moncong kamu yang gak duduk!"

"Lama banget ni guru kalau ngajar banyak bacot"

"Ngomong apa tadi kamu?!"

"Hehe, maaf atuh pa—skuy lah jelaskan wahai Bapa Jaehyun yang terhormat"

"Kumpulin bukunya saya bilang"

"Oh" Haechan membulatkan mulutnya, kemudian menarik buku Jaemin, Renjun, dan Jeno untuk ia berikan pada Jaehyun.

"Ada pertanyaan soal materi yang saya berikan kemarin?"

"Emang Pa Jaehyun ada ngasih duit?"

"BUKAN MATERI ITU BAHLUL!"

"Ngegas teros kerjaannya! Nanti kena stroke Tah pa!"

"Kamu do'ain saya?!" Jaehyun udah tarik nafas dari tadi pengen banget rasanya beneran nabok itu anak satu-satu.

"Iya dong"

"Heh!!!!!"

"Maksudnya do'ain biar banyak rezekinya pa—suudzan banget hidupnya si Jepri"

"Terserah!—Selagi saya periksa tugas kalian, tolong dibaca-baca lagi apa yang kemarin di pelajarin biar saya tanya satu-satu!!!"

"Pa Jaehyun"

"Paan?!!!"

"Ini nih, manusia yang hidup dengan kebencian—Pa nanti tah hidupnya gak tenang"

"Mau nanya apaan cepet!"

"Kalem Pa Kalem!"

"Hm!"

"Gak jadi deh"

"Pa Jaehyun galak"

Untuk sekian kalinya, Jaehyun hanya dapat mengubur rasa kekesalannya dalam-dalam.

Mungkin kisah inilah yang akan selalu ia ceritakan untuk anak cucunya nanti.

•~~•

• From Home•

•~~•

ToBeContinue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro