[4] : Huang Renjun dan Tumpukan Berserak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

• From Home •

•~~•

Tetap beli barang lucu walau tidak berguna

InjunScrollOlshop

Kalau punya prinsip yang berbeda sama orang tua, kita dosa gak sih? soalnya gue malah jadi gak nurut karena punya prinsip sendiri

HuangRenjun

•~~•

—Setelah membantu ibunya untuk membersihkan sisa makanan di dapur, Renjun langsung beranjak pergi menuju kamarnya, tubuhnya ia dudukan tepat di hadapan meja belajar seraya menaruh segelas air putih yang sangaja ia bawa tadi.

 Jemarinya meraih beberapa buku yang akan ia persiapkan untuk besok, sesekali Renjun membuka lembaran buku tersebut memeriksa apakah ada tugas rumah yang perlu ia kerjakan.

Renjun sudah berjanji untuk belajar lebih giat sekarang, masa bodo diledekin Haechan sampai Renjun bisa salto pake satu kaki, pokoknya dia mau tobat !.

Kalau khilaf, ya itu diluar kendali Renjun.

"Dek?"

Seketika Renjun mengalihkan perhatiannya tak kala mendengar suara Winwin yang kini sedang berada di balik pintu kamar Renjun disusul dengan suara ketukan pintu beberapa kali.

"Masuk aja ko"

Winwin membuka kenop pintu kamar adik laki-lakinya itu dan dengan segera melangkahkan kakinya untuk menghampiri Renjun, laki-laki itu menjulurkan tangannya untuk mengusak rambut Renjun , yang membuat Renjun jadi gemes sendiri dengan menepis tangan Winwin.

"Apa?!"

"Udah gede ya adik Koko"

"Ya kan gue makan, jadi bisa gede"

Win-win hanya tertawa ringan untuk menanggapi ucapan Renjun tadi.

"Lagi ngapain?"

"Lagi membuat seribu candi—Ya nggak liat apa gue lagi ngapain?"

"Galak bener kaya anak perawan"

"Kenapa?" Renjun mendelik sinis.

"Seneng aja, sekarang suasana rumah jadi lebih hangat, gak ada lagi ribut-ribut, kamu juga banyak senyum kalau di rumah"

"Yaudah Sono! Gue mau belajar!"

"Tumben"

"Serba salah amat hidup gue, belajar dibilang tumben, gak belajar makin bego"

"Iya iya, bentaran" Winwin tersenyum seraya menjulurkan sebuah kantung plastik berwarna putih ke arah Renjun, membuat anak itu justru menaikan satu alisnya "udah lama kamu gak beli cat kan?"

Selama beberapa saat Renjun hanya termenung menatap ke arah bungkusan putih itu, tangan Winwin sampai pegal sendiri karena tak kunjung mendapatkan respon dari adiknya.

"Simpen aja disana" Renjun kembali tersadar, jari telunjuknya mengarah ke arah sebuah lemari pakaian bercat putih dengan garis hitam di tengah lemari tersebut, di pintunya terdapat telapak tangan berwarna biru hasil dari tangan iseng Renjun yang pada saat itu berlumuran cat.

Winwin memilih untuk menuruti apa yang diinginkan Renjun, laki-laki itu segera membuka lemari pakaian Renjun yang di bagian atasnya telah tersusun rapih beberapa jaket dan sweeter,  namun ekspresi wajah laki-laki itu seketika berubah ketika melihat sisi bawah dari lemari tersebut, ada banyak kanvas tertumpuk disana, berbagai warna cat yang masih tersegel dengan rapih dan kuas-kuas yang berserakan tak menentu ada disana, semua peralatan lukis yang sengaja Winwin belikan untuk Renjun hanya berakhir bisu didalam lemari ini.

Winwin tidak pernah mengerti, kenapa Renjun justru mengubur semua hal yang menjadi kegemarannya selama ini hanya karena seseorang yang bahkan hanya anak itu temui dalam jangka waktu beberapa bulan?

"Renjun?"

Seakan tau apa yang akan Kakaknya itu katakan Renjun kini menarik nafasnya panjang "Iya Ko, gue sibuk, nanti kalau gak sibuk gue ngelukis lagi"

Laki-laki itu tak menjawab, tatapannya kini terpaku pada Renjun yang terlihat fokus menatap bukunya, Winwin yang terus menatapnya membuat anak itu justru berdecak.

"Gue gak fokus kalau lo ada di kamar gue mulu!"

"Galak bener"

"Keluar sono, belum makan kan lo"

"Kamu gak sibuk kan?"

"Gak liat?"

"Nope, maksudnya, kamu gak sesibuk itu sampai gak ada waktu buat ngelukis"

"Ko Winwin ngomong apa sih? gue beneran lagi sibuk"

"Kenapa berhenti ngelukis?"

"Tau apa koko soal ngelukis?, ngelukis tuh harus pake mood ko, gak bisa asal-asalan yang ada gue makin stress kalau lukisannya jelek"

"ngumpulin mood sampai berbulan-bulan emang?"

"Bisa aja"

"Dek?"

"Gue gak mau bahas itu ok?, mungkin one day, Koko tau istilah 'jangan menabur garam di luka yang masih basah' iya kan?, Jangan bahas"

"Bukannya itu salah satu cara buat kamu menyembuhkan diri?"

"KO!"

"Jun, kamu tau apa yang terjadi ketika sebuah luka kamu biarkan tak terobati?"

"..."

"Bisa lebih menyakitan"

"..."

"Akan terus terasa menyakitkan sampai akhirnya kamu sadar luka yang kamu kubur itu sudah membusuk"

"Gue besok berangkat pagi, kalau mau keluar tutup lagi pintunya"

•~~•

"Gak ada nyontek! Renjun!" Yuta menatap galak ke arah Renjun yang nampak tak terima dengan memberikan ekspresi wajah yang lebih menyebalkan.

"Sembarangan lo!!!!"

"LAMBE!!!"

"Ampun tuy"

"Ngapain kamu?"

"Nebak nomor togel"

"Bener-bener ni bocah satu!"

"Atuy jangan marah-marah, nanti kamu tambah tua~"

"Sinting!"

"Atlet badminton?"

"GINTING!"

"Ngantuk pa, ini font nya kenapa kecil pisan?, gak pake times new roman pasti" Jaemin mengangguk-angguk sok tau.

"Ngerti apa kamu soal kek gitu"

"Lumayan lah pa, tau dikit A4, TNR sama 12"

"Tau itu apaan?"

"Nggak, hehe"

"Emang gak ada yang bisa diharapin sama kalian"

"Dih?! gak ngaca"

"HEH!"

Yuta jadi beneran mau nabok Jaemin "Ini ulangan harian terakhir, mulai minggu depan saya bakalan ngasih pembahasan soal buat UTBK"

"UTBK?"

"Itu singkatan dari 'Utang Tunggak Bayaran Kas' bukan sih?"

"Yeilah santuy gue dulu kelas 11 gak bayar setahun gak dikasih soal buat menebus hutang kas kelas"

"Kayanya UTBK tuh 'Uiran Terakhir Bagi Kelas' biasa buat bikin acara ada bayaran gitu"

"Iuran Jaem bukan Uiran"

"UJIAN TULIS BERBASIS KOMPUTER PINTTERRRR! SI ATUY NYURUH JOIN SBMPTN!"

"Chan? Otak lo? kesetrum belut sawah?"

"Kok pinter?"

"Baru nyadar lo pada"

"Ibarat kata liat ikan bunyinya kukuruyuk Chan saking kaga percayanya gue"

"Udah gak usah banyak bacot, intinya kalau kalian bisa lolos sbmptn kalian bisa masuk universitas—berhubung nilai semesteran kalian sebelumnya kelelep tinta merah jadi kalian gak bisa join SNMPTN"

"Gak ngerti aing mah tuy ah rungsing" Jaemin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Otaknya jangan ditaro mulu di dengkul makanya"

"Tapi saya gak mau kuliah"

"Kenapa?"

"Gak minat"

"Gak tau" Jeno menyahut

"Mau langsung tajir pa, bisa kaga ya dapet warisannya Raffi Ahmad?" 

"Gak tau Pa, bingung jurusan"

"Jurusan tinggal milih"

"Mana bisa! nanti galau di semester akhir gimana?"

"Ya jalanin aja"

"Dahlah"

"Btw, Basic kalian dimana?"

"Basic ya, mungkin beban keluarga"

"Basic saya itu berdiam diri di atas kasur seharian"

"Itu bukan basic dodol, itu namanya tidak berguna!"

"PA ATUY SADAR TIDAK?! KALIMAT ITU MERUSAK MENTAL ANAK BANGSA"

"Kalian sadar gak?, overthinking tiap malem mikirin masa depan tapi malah males-malesan, apalagi kalau bukan tidak berguna?"

"Dih!"

"Gini dah, kalian mau jadi apa?"

"Mau jadi peliharaannya Irfan Hakim"

"Rich ounty buat Aram"

"Lo laki Jen"

"Maksudnyaaaaaaa, kalian punya cita-cita atau apa kek yang dapat mendukung kehidupan kalian dimasa depan"

"Pa? Serius nanyain cita-cita ke anak yang mau lulus SMA?, bingung pa, jangankan mikirin cita-cita, mikirin kenapa hidup kita gini amat aja udah cukup bikin depresi tiap malem"

"Kalau Mang Atuy nanyanya ke bocah TK jawabannya kalau nggak guru, dokter, polisi atau tentara"

"Kalau yang anti-mainstream ada yang jawab mau jadi satria baja hitam atau ninja"

"Kalau bocah sekarang mungkin bercita-cita jadi gamers handal kek ade saya" Ucap Haechan seraya mengingat ucapan Chenle dan Jisung yang sangat menggebu-gebu pengen jadi gamers profesional.

Haechan, iyain aja.

"Gak ada banget?"

"Gak"

"Suram banget hidup kalian"

"Yang ngomong biasanya lebih suram"

"Mang Atuy bukan cuman hidupnya doang yang suram, hatinya juga makanya mukanya—"

"—APA?!"

"Woya ganteng! idaman mama-mama arisan"

Yuta tak menanggapi lagi, perdebatan ini akan terasa lebih panjang jika tidak drinya duluanlah yang mengalah.

"Terus kalian gak punya planning kedepannya mau apa?"

"Yeilah pa, pertanyaan Bapa itu Retoris, ya nggak ada lah pa, kan tadi saya udah bilang"

"Kalian ini tipe-tipe manusia yang hidup kemarin yaudah, jalanin hari ini, besok gimana ntar"

"Kan emang gitu"

"Denger ya curut, yang namanya perencanaan tuh harus punya biar nanti dimasa depan seenggaknya hidup kalian gak berantakan amat"

"Sekarang aja udah berantakan"

"Terus mau gini terus?"

Keempat anak itu tak menjawab, kepala mereka sibuk untuk menengok ke arah lain, menghindar kontak mata dengan Yuta.

"Mau sampai kapan gini terus?"

"Atuy ngomomgnya persis bapak saya di rumah" celetuk Renjun yang justru membuat Yuta kini terdiam.

"Lagian mana ada sih pa orang yang gak khawatir sama masa depannya? khususnya buat umuran kita yang sekarang—Kita yang dikasih pertanyaan kaya gitu bukannya dapet pencerahan pa, kita malah tambah bimbang ujungnya ketakutan sendiri—itulah kadang saya gak ngerti pa, saya tau betul orang tua itu pasti pengen hal yang terbaik dari yang baik untuk anak-anaknya, tapi pernah gak sih pa mereka mikirin juga kita tuh gimana?, Kita bahkan maksain diri biar bisa banggain mereka, maksain sesuatu hal yang bahkan kita sendiri tuh gak siap, saya juga gak akan nyalahin orang tua saya, tapi tolong, jangan terlalu mendikte setiap pergerakan kita, mana sempet eksplor diri, waktu buat eksplor diri aja malah kepake buat mikirin omongan dan saran yang makin bikin kita hilang arah, kita seakan dituntut harus begini dan begitu, menjangkau apa yang kita nggak bisa, ibarat saya tuh kucing yang disuruh terbang, mau jatuh berapa kali pun ya harus bisa terbang—ok sekian makasih, saya Huang Renjun, Escetepe semua untuk saya"

"Kayanya slogannya bukan itu dah Jun?"

"Gak tau gue lupa"

Yuta hanya terhenyak, bingung harus menjawab apa, dia sangat memahami apa yang Renjun katakan, namun lidahnya terasa membeku untuk membalas argumen yang diberikan anak itu.

Laki-laki itu kembali menghela nafasnya sesaat sebelum kembali menatap keempat anak itu lebih dalam.

"Intinya kalian masih bingung dalam menentukan arah?"

"Yoi"

"Ok, kalau gitu biar saya ajak kalian ke suatu tempat"

"Jangan bilang mau disuruh ke perpustakan nyari perencanaan?

"Bukan"

"Terus?"

"Rumah Taeyong"

Ucapan Yuta tadi membuat Haechan, Jeno, Jaemin dan Renjun seketika terdiam, keempat anak itu bagai membeku, tatapannya hanya tertancap menatap Yuta.

"Nggak mau"

"Kemana aja kek pa asal jangan kesana"

"Kita ke perpustakaan aja nyari perencanaan"

"Kita. ke rumah. Taeyong."

"Paa!"

"Nanti minggu jam 9, semua kumpul disekolah, nggak ada yang nggak hadir, kalau ada yang gak hadir saya samperin kalian"

•~~•

Renjun memilih untuk tidak langsung pulang ke rumahnya, anak itu berbelok tepat saat dia sampai pada persimpangan yang dulu membuat Renjun tertarik untuk mengikuti langkah Taeyong.

"The Persistence of Memory akan menjelaskan bahwa waktu memainkan pengaruh yang sangat besar pada keseluruhan lukisan"

Renjun kembali menatap nanar ke arah jalanan yang terlihat lebih kecil di posisi dia sekarang, ada angin sejuk yang menyapu rambutnya memberikan kesan  menenangkan

Benar apa yang dikatakan Taeyong tempo hari, waktu sungguh memainkan waktu yang sangat besar, entah karena waktu membiarkan seseorang datang dan pergi, waktu yang selalu berputar pada porosnya tanpa peduli banyak jiwa yang memerlukan istirahat, waktu yang melakukan banyak perubahan dan waktu yang enggan untuk peduli pada nasib-nasib manusia.

Renjun memangku dagunya di atas lengan yang bertumpu pada pembatas jalanan, matanya terpejam hanya untuk menikmati angin yang berlahan terus-menerus membelai rambutnya.

Jika saja waktu bisa diulang, jika saja waktu berbaik hati untuk Renjun, mungkin Renjun akan memilih untuk berlari menghampiri Taeyong saja saat itu, mungkin dia akan menyelesaikan lukisannya dan berkata dengan penuh rasa terimakasih bahwa mulai detik itu dia merasa bahwa dengan kehadiran Taeyong dunianya akan selalu baik-baik saja.

•~~•

•From Home •

•~~•

ToBeContinue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro