7. Butuh Pengertian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Orion mengamuk. Semua anak buahnya yang turut andil dalam pencarian ibu Deandra terkena damprat. Ya, mereka harus tahu apa akibatnya bekerja dengan tidak becus, tapi tetap saja berani berkhianat demi uang yang lebih banyak. Tidak ketinggalan, pria itu juga memarahi sang asisten pribadi karena tidak bisa mengurusi bawahan dan tidak berhasil menemukan apa-apa.

Berkali-kali Orion mengumpat dan mengucapkan segala sumpah serapah atas kebodohannya sendiri. Dia punya uang dan kekuasaan, tapi apa yang dicarinya selama belasan tahun ini sangat sulit untuk digapai. Kini, tiba-tiba orang lain muncul membawa apa yang Orion dambakan.

Kesepakatan, itulah yang harus Orion bayar jika ingin menebus sesuatu yang Darel genggam.

Karena Darel licik, Orion juga ingin melakukan hal yang sama selepas makan malam mereka tadi. Entah memang dirinya yang tidak memiliki takdir keberuntungan atau apa, Orion gagal membuat beberapa anak buah Darel yang berhasil dia hubungi untuk buka suara. Segala tentang Darel tetap tersimpan rapat tanpa bisa Orion usik.

“Apa yang membuat kita kalah cepat?!” tanya Orion setelah membanting sebuah vas di ruangannya.

Amarah yang membara masih terlihat jelas dalam dirinya. Ini memang bukan kali pertama Orion mengamuk, tapi sang asisten mampu dibuat bergidik. Susah payah dia menahan diri untuk tidak beranjak ketika Orion melempar beberapa barang yang nyaris mengenai dirinya.

“Mungkin Tuan Darel memiliki petunjuk yang lebih jelas, Tuan.”

“Bagaimana bisa?! Sedangkan CCTV di jalan saat itu rusak— menurut hasil penyelidikanmu. Lalu bagaimana Darel bisa tahu?!”

“Mungkin Tuan Darel bertemu wanita itu, Tuan.” Sang asisten berusaha tetap bernapas, karena dadanya penuh atas makian Orion sejak tadi.

“Mustahil!” Orion memukul meja kerjanya. “Bagaimana bisa mereka bertemu, William?! Mustahil!”

“Maafkan saya, Tuan.”

Karena tidak ingin mengatakan hal yang lebih membuat Orion murka, akhirnya hanya kalimat itu yang keluar dari William. Nanar tatapan tuannya membuat pria itu ingin melarikan diri, sebab takut jika tiba-tiba ada kegilaan yang lebih dari sebelumnya.

“Keluar, tinggalkan aku sendiri. Aku harus berpikir,” desis Orion tanpa menatap asistennya.

Beberapa detik setelahnya, William berpamitan, meninggalkan Orion yang tersiksa sesal dalam keheningan ruang. Pintu kembali terbuka, menimbulkan efek marah luar biasa pada Orion. Karena seingatnya tadi, dia sudah menyuruh William untuk keluar. Namun, dengan beraninya kembali datang.

“Aku sudah menyuruhmu pergi, Wi—”

Kalimat Orion terhenti, sebab setelah membalik tubuh yang dia dapati ternyata sosok wanita tinggi berbalut gaun malam selutut. Mata mereka sama-sama bertemu, lalu akhirnya terputus setelah Orion membalik tubuh. Tidak ada minat untuk bicara, jadi Orion diam saja, seakan-akan tidak ada orang lain di ruangannya.

“Kamu menghancurkan barang-barang hanya karena frustrasi tidak berhasil menemukan wanita itu. Segila itu kamu padanya?”

Tahu jika dirinya membalas ucapan Aretha, suasana pasti lebih kacau. Maka, Orion memilih diam, kembali bergelung dengan kehampaan hati yang bercampur frustrasi.

“Berhenti mencarinya, Orion. Kita bisa mengadopsi anak jika kamu benar-benar menginginkannya. Berhenti menyiksaku setiap saat.”

“Aku menginginkan anak yang berasal dari benihku.”

Sebuah jawaban singkat dan padat itu berhasil mengempaskan harapan Aretha. Panas di matanya hampir tidak tertahankan lagi. Apa yang diucapkan Orion telah mengingatkan Aretha tentang ketidaksempurnaan pernikahan yang mereka jalani.

Jika bisa memilih takdir macam apa yang akhirnya Tuhan putuskan, tentu wanita itu ingin menjadi seorang ibu dan membahagiakan suaminya. Impiannya begitu sederhana; menjalani hari-hari yang selalu diisi canda tawa. Bukan maunya untuk seperti ini, meringis kala mengetahui sang suami mencari kabar wanita lain.

“Tapi bukan berarti kamu bisa mengabaikanku seperti ini, Orion. Puluhan tahun kita bersama, haruskah kamu menyakitiku dengan terus-menerus mencari kabar wanita itu?”

Getar dalam suara Aretha tidak bisa disembunyikan. Setiap inci tubuhnya kalaupun bisa pasti sudah meraung kesakitan. Cinta yang selama ini dia jaga dan pertahankan telah sepenuhnya berpaling. Wanita mana pun jelas tidak bisa menerima kenyataan itu dengan lapang dada.

Lelah berdiri, Orion duduk di kursinya. Tatapannya dengan Aretha bertemu, sejenak membawa kenangan lalu ketika ekspresi wanita itu tampak menyedihkan. Tidak akan Orion sangkal, bahwa dia pernah mencintai Aretha dengan seluruh hati dan hidupnya. Namun seiring berjalannya waktu, Orion sadar, dia ingin keturunan dan Aretha jelas tidak bisa memberikannya.

“Kalau kamu bisa menerima kenyataan yang ada, kamu tidak akan terluka parah, Aretha.”

Air mata wanita itu luruh, melintasi wajahnya yang masih kencang meski telah senja. Hati Orion sebenarnya terguncang melihat istrinya seperti sekarang. Namun, dia ingin menegaskan bahwa tidak ada yang bisa mengubah keputusan yang telah dia buat. Sekalipun Aretha memberontak, Orion tidak peduli.

“Aku istrimu, Orion! Pikirkan sedikit tentang hatiku! Kamu pikir aku patung yang bisa kamu diamkan setiap malam?!” Kesabarannya habis. Nada tinggi disertai amarah tak bisa lagi dibendung.

“Lalu apa yang kamu pikirkan tentangku dan keluargaku? Sejak bertahun-tahun lalu kamu mengeluh tentang keluargaku yang menginginkan kita memiliki anak. Kamu tidak pernah mengerti keinginan mereka dan sibuk memberikan pembenaran diri di depanku! Kamu sibuk mengatai mereka yang terlalu mencampuri urusan kita!”

Terkesiap, Aretha tidak menyangka Orion bisa menyanggah dengan kalimat-kalimat menyakitkan itu. Selama ini Orion diam, sama sekali tidak pernah menyalahkan atau mengeluh perihal istrinya yang memiliki kekurangan. Karena sikap Orion yang seperti itu, Aretha berpikir segalanya memang baik-baik saja.

“Orion ...,” sebut Aretha disertai air mata yang lebih deras.

“Aku diam, bukan berarti bodoh. Aku mengamatimu, lalu mulai berpikir apakah aku sudah salah menjatuhkan hati denganmu.”

“A-apa yang kamu bicarakan?”

Kaki wanita itu sangat lemas. Matanya juga tidak bisa melepaskan wajah Orion yang penuh keseriusan. Di sepasang mata cokelat milik suaminya, Aretha sama sekali tidak menemukan cinta yang tersisa. Hatinya berderak patah bersamaan tubuh yang terjatuh di lantai.

“Kalau saja kamu tidak banyak mengeluh tentang keluargaku dan tentang aku yang mencari keberadaan wanita itu, mungkin sekarang kamu sedang berada di pangkuanku. Kalau saja kamu tidak melakukannya, mungkin aku sekarang sedang menyentuhmu penuh cinta dan hasrat. Aretha, segalanya tidak lagi sama. Aku lelah denganmu.”

“Ti-tidak!” Kepalanya menggeleng kuat, menolak kalimat yang meluncur tanpa keraguan dari sang suami. “Aku tertekan, Orion! Aku hanya melampiaskannya dengan bercerita padamu! Bagaimana bisa kamu jadi lelah akan sikapku itu?!”

“Dan kamu pikir aku tidak lelah?”

Bangkit dari kursinya, Orion kini berdiri di depan meja. Tangannya tidak juga terulur untuk memberi bantuan pada sang istri. Sebuah sikap yang menegaskan bahwa mereka tidak baik-baik saja.

“Aku juga mendapat tekanan, Aretha! Aku mencoba mengerti kondisimu, tapi apa kamu mencoba mengerti posisiku?! Kamu hanya fokus pada keluhanmu dan mengabaikan keinginanku yang ingin menemukan jejak wanita yang berkemungkinan mengandung benihku!”

“Tapi aku istrimu! Seharusnya kita saling menerima, Orion! Aku punya kekurangan dan itu jelas bukan salahku!”

“Begitukah? Lalu kenapa kamu tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku pernah meniduri seorang gadis, meskipun aku sudah menerimamu yang tidak bisa memberiku keturunan?”

Orion baru saja melayangkan kata-kata yang seolah-olah mencemeti istrinya. Tidak bisa bersuara akibat nyeri yang terlalu, Aretha hanya semakin terisak keras.

Malam ini adalah bencana untuknya, karena Orion menunjukkan pemberontakan secara frontal. Dan yang lebih membuat Aretha terlihat kian menyedihkan, sang suami meninggalkannya begitu saja.

Sakit hati ... hanya mampu disembuhkan oleh sentuhan dia yang tercinta. Malangnya, luka menganga yang Aretha miliki berasal dari cintanya sendiri. Lalu, bagaimana cara agar deritanya berakhir?

🍁🍁🍁

Meski memiliki kesibukan, Darel tidak mengingkari janjinya pada Deandra. Dia juga sedikit sadar hanya pernah sekali saja mengajak gadis itu pergi bersama. Setelah menyelesaikan segala pekerjaannya, Darel segera kembali ke penthouse dan langsung memboyong Deandra ke mobil.

Raut senang kentara sekali di wajah lugunya. Setiap kali berdekatan dengan Darel, Deandra merasakan ketenangan dan kenyamanan yang melenakan. Di setiap waktunya, gadis itu bahkan tidak rela jika mereka harus berpisah. Kalau saja takdir lebih berbaik hati pada Deandra, mungkin saja statusnya berganti menjadi Nyonya Tristan.

Tahu baru saja melamunkan suatu kegilaan, Deandra mengulum senyum. Tindakannya itu ternyata tidak luput dari perhatian Darel.

“Aku ingin tahu gadisku sedang memikirkan apa.”

“Ya?” Seketika Deandra menoleh, tapi cepat-cepat kembali menatap jalanan.

“Deandra tidak memikirkan apa pun, Tuan.”

“Begitu? Kamu tahu? kalau seseorang suka berbohong, maka hidungnya dalam lima menit akan bertambah panjang.”

“Hah? Benarkah, Tuan?” Refleks Deandra menyentuh hidungnya, memastikan apakah bertambah panjang atau tidak. “Tidak bertambah panjang, Tuan. Tuan berbohong.”

Tangannya berhenti menyentuh hidung ketika sadar bahwa itu hanyalah bualan Darel. Bibirnya mengerucut, yang tak elak malah membuat laki-laki di sampingnya tersenyum.

“Artinya kamu memang tidak jujur, Deandra.” Darel berkata santai sembari tetap fokus mengemudi.

“Ya, memang.” Si lugu yang tidak bisa berbohong.

“Apa yang kamu pikirkan?”

“Tuan."

Darel menoleh sekilas.

“Ya? Aku bertanya apa yang kamu pikirkan.”

“Tuan. Deandra memikirkan Tuan.”

“Haruskah aku memberimu hadiah karena sudah memikirkanku?”

Rambut Deandra dibelai pelan oleh Darel, yang mana mengakibatkan sang gadis juga ingin menyentuh tangan besar itu. Gerakan Darel terhenti karena genggaman Deandra. Mereka sempat berpandangan beberapa detik.

“Sekarang apa, Deandra?”

“Hanya ingin memegang tangan Tuan. Apakah tidak boleh?”

Karena kekuatannya yang jelas jauh lebih besar, Darel berhasil melepas genggaman Deandra yang sejak tadi bertahan di rambut. Guratan kecewa tak bisa Deandra sembunyikan. Padahal hanya ingin menyentuh tangan Darel, tapi ... ternyata tidak boleh.

“Posisi ini lebih baik,” kata Darel sembari meraih salah satu tangan Deandra.

Mata gadis itu secara cepat mengikuti gerakan tangannya yang berada dalam kuasa Darel. Betapa terkejut dirinya ketika sadar bahwa tangan mereka kini ada di paha laki-laki itu. Tanpa dipaksakan, senyum Deandra terbit.

Bagi Deandra, bersentuhan dengan laki-laki adalah hal tabu. Sebelum bertemu Darel, mendiang ibu Deandra selalu memastikan anak gadisnya tidak terjamah oleh laki-laki pengambil keuntungan semata.

Mirisnya, sentuhan laki-laki yang berstatus sebagai ayah pun tak pernah Deandra rasakan.
Dalam ketabuan dan keraguannya ketika Darel menyentuh penuh kelembutan, akal jernih Deandra menguap. Hal tabu itu perlahan-lahan berubah menjadi sesuatu yang Deandra selalu inginkan. Dalam hangat sentuhan laki-laki itu, Deandra mendapatkan sesuatu yang selama ini tidak pernah dia miliki.

Mereka hampir tiba di sebuah taman yang cukup jauh dari penthouse. Sepanjang perjalanan menuju bagian utama taman, Deandra terpaku menatap kelap-kelip yang melayang di udara. Malam memang telah datang, membuat pemandangan di sekitar sana gelap disertai titik-titik cahaya yang berasal dari kunang-kunang.

“Cantik, Tuan.”

Mendengar pujian itu, Darel tahu bahwa Deandra tidak kecewa pada tempat yang mereka tuju. Karena sebelumnya gadis itu sudah berpesan tidak ingin dibawa ke pusat perbelanjaan atau berakhir dengan makan malam di restoran mewah. Dan di sinilah mereka, di sebuah taman yang gelap dengan pencahayaan dari lampu mobil Darel yang masih menyala meski mobilnya tidak melaju lagi.

“Ayo turun. Aku akan menunjukkan sesuatu padamu.”

Percaya, satu kata yang mewakili perasaan Deandra pada Darel. Lihatlah, gadis itu tidak protes atau menolak ketika laki-laki dewasa mengajaknya untuk turun dari mobil di tengah kondisi  sekitar yang gelap. Meski tidak memungkiri bahwa rasa takut menyelinap di hatinya, tapi Deandra mencoba patuh ketika Darel menggenggam tangannya dan menuntun untuk berjalan.

Setelah melewati rerumputan dan pohon-pohon tinggi, kaki mereka berhenti melangkah. Mata sang gadis memandang takjub pada pemandangan di hadapannya. Mereka berada di daerah tinggi, hingga bisa melihat bagaimana kota hidup di bawah sana.

Lampu-lampu penerang dari setiap bangunan dikombinasikan dengan warna gelap dari pohon-pohon yang tumbuh di sekitarnya. Perpaduan serasi yang jelas membuat Deandra senang. Karena ketika berada di penthouse, yang dia dapati hanyalah gemerlap gedung pencakar langit, hanya ada bangunan kokoh. Namun kali ini, apa yang dilihatnya lebih berbeda.

“Kenapa di sini bisa ada alas duduk dan makanan, Tuan?”

Deandra baru saja mengalihkan pandangan dari ketakjubannya. Kini, dia mendapati hal lain tak jauh dari tempatnya berdiri. Sebuah karpet lebar tergelar, dilengkapi beberapa camilan kemasan dan makanan berat yang terbungkus kotak dari restoran. Tidak ketinggalan, ada sebuah lampu yang menyala dengan bahan bakar minyak tanah. Persis seperti yang Deandra punya di rumah kumuhnya dulu. Penolong ketika listrik tiba-tiba padam di malam hari.

“Karena aku ingin kita menikmati malam ini.”

Warna kemerahan muncul di wajah Deandra. Dirinya tak bisa menampik bahwa apa yang Darel lakukan sangatlah luar biasa. Di sela-sela kesibukan laki-laki itu, dia bahkan masih sempat mengatur tempat agar mereka berdua merasa nyaman.

Berada di tempat yang penuh kesunyian, Deandra merasa hatinya begitu tenang. Seolah-olah hanya ada dirinya yang bebas melayang di udara malam bersama kunang-kunang. Tatapan kagumnya, senyum bahagianya, juga embusan napasnya yang berpadu dengan alam terlihat serasi. Mengikis habis barang sejenak ingatan perihal hari-hari berat yang pernah Deandra lalui.

“Tuan, Deandra ingin bertanya.”

Tidak perlu memerlukan banyak waktu untuk Darel fokus pada kata-kata Deandra. Laki-laki itu segera meletakkan botol air mineral di tangannya, lalu menatap serius wajah sang gadis. Yang ditatap kini menundukkan wajah. Ingatan Deandra terusik secara tiba-tiba dan dia memutuskan untuk membicarakan itu pada Darel.

“Bertanyalah, Deandra.”

“Apa ... berada di dekat ayah sendiri akan terasa nyaman seperti saat Deandra bersama Tuan?” Pertanyaan menyedihkan.

“Dari sekian banyak analogi antara hububanmu dan aku, haruskah kamu menggunakan hubungan ayah dan anak?”

Wajah Deandra terangkat. Bibirnya dia kulum karena gugup mendapati tatapan Darel. Jemarinya juga saling menaut resah.

“Tapi jika itu membuatmu nyaman, teruskan saja.”

“Apa?” Deandra tidak mengerti.

Reaksi tenang Darel berserta kelam matanya hampir menenggelamkan Deandra dalam pusaran ketidakberdayaan. Gadis itu selalu lemah dan tak pernah bisa menghindari bagaimana pesona Darel yang meluluhlantakkan kewarasannya.

“Jika bersamaku terasa nyaman dan kamu anggap hubungan kita seperti ayah dan anak, aku tidak masalah.” Deandra mengangguk setuju. “Tapi kamu harus ingat satu hal, Deandra. Seorang ayah tidak akan melumat bibir anak gadisnya.”

Habislah Deandra karena ada pada rasa malu yang tinggi. Buru-buru dia menyibukkan diri dengan mengunyah makanan. Tidak dipedulikannya Darel yang menatap dari samping disertai senyum yang seolah-olah menertawakan.

Jelas Darel tahu apa yang gadisnya rasakan dan paham bahwa Deandra ingin dimengerti dalam rasanya menginginkan hangat kehadiran sosok ayah. Hanya saja dia merasa saat ini belum waktunya untuk membicarakan perihal ayah dengan Deandra. Untuk itu, dia sengaja merangkai kata yang dipastikan dapat menghentikan Deandra membahas topik tadi.

Darel juga sebenarnya tahu, kalau Orion dan Deandra merasakan hal yang sama; rindu. Bukannya tidak ingin menyatukan dua insan itu, tetapi Darel ingin memastikan hal lain lebih dulu dan menyelesaikan misinya mendapatkan lahan.

To be continued

Hai, kamu! Apa kabar? Semoga selalu sehat, ya.

Thanks banget untuk komen-komen kalian di part sebelumnya. Semoga Tuhan mengabulkan doa-doa kalian atas kesehatanku dan bayiku. Dan semoga juga Tuhan kasih kesehatan untuk kalian semua.

Thanks juga untuk yang kasih saran supaya aku memperbanyak konsumsi kalsium. Emang bener-bener sejak hamil ni gigiku minta diperhatiin lebih. Huhuhu.

Uhm ... mau bahas apa ya sekarang?

Ah, iya. Di part ini entah kalian udah merasa kasihan apa nggak sama Aretha. Karena nyatanya, apa yang dia lakukan itu ada sebabnya. Diomongin terus sama keluarga suami, pastinya sakti hati dong, ya. Hehehe.

Banyak yang minta Rosella dihadirkan. Ohh itu pasti. Kalian hanya mesti bersabar. Pelan-pelan yes. Kalau langsung semua dimunculkan, ceritanya ntar cepat kelar.😆

Love you from Bali ♥️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro