8. Murka

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selepas percakapan malam hari yang penuh ketenangan di saksikan pohon-pohon tinggi menjulang, Darel kembali meninggalkan Deandra. Meninggalkan dalam artian kata tidak tidur di ranjang yang sama dengan gadis itu. Darel punya rumah dan istri, dua hal yang menyebabkan dirinya tidak bisa terus-menerus menghabiskan waktu bersama Deandra.

Sesuai janji malam itu, Darel menyanggupi untuk menghubungi Deandra setiap hari. Sekadar memastikan gadisnya baik-baik saja ketika temu tak bisa terjadi. Di sela-sela kesibukannya, laki-laki itu juga terkadang membayangkan wajah polos yang telah membakar hasratnya.

Darel tidak tahu sampai kapan dia mampu bertahan untuk tidak menyentuh Deandra lebih dari pelukan atau ciuman. Berdekatan dengan gadis itu sungguh menguji kesabarannya. Setiap suara seksi Deandra terdengar, Darel seolah-olah siap untuk membuat itu menjadi desahan.

Sepulang kerja, Darel langsung menuju kelab untuk memenuhi janji pada sahabat-sahabatnya. Meski sebenarnya dia ingin menemui Deandra mengingat sudah satu pekan tidak bersua. Namun, niatnya dia singkirkan, karena rasa solidaritas pada John dan yang lainnya.

Tiba di kelab, meski baru pukul 8 malam, tetapi tetap tidak menyurutkan hingar bingar yang ada. Sebagai kelab dengan nama yang cukup populer, maka sudah dipastikan orang-orang yang ada di sana berpakaian layaknya tengah menghadiri pesta. Para tuan-tuan kaya raya bersanding dengan perempuan-perempuan bayaran kelas atas. Saling bersulang sembari melempar tatapan menggoda. Suatu kegiatan yang selalu Darel hindari.

"Beri sambutan meriah untuk Sugar Daddy!" Suara John lantang, menyambut Darel yang baru saja membuka pintu ruangan.

Senyuman mengandung penuh maksud mengiringi langkah Darel menuju sofa tempat ketiga sahabatnya duduk. Mereka seakan-akan tidak berkedip, memerhatikan Darel yang melepas jas serta melonggarkan dasi.

"Aku Darel, jangan menatapku seperti aku adalah orang asing."

"Kami menanti kisahmu, Darel," balas Aiden, laki-laki sepantar Darel.

Perawakannya memang tidak setinggi Darel, tetapi dia memiliki pesona yang tidak kalah saing dengan sahabatnya itu. Wajahnya bersih tanpa bulu, membuat para perempuan bayaran yang sering dia datangkan menjerit ingin mengelus rahangnya yang kuat.

"Apa? Tentang gadis itu?"

"Tentu! Mana mungkin kami menanti kisahmu dengan Nenek Sihir Rosella!"

Kali ini Boy yang menjawab. Jika John, Aiden, dan Darel memiliki sikap dewasa sesuai umur, tetapi tidak dengan Boy. Di usianya yang baru melewati angka tiga puluh, sifat kekanak-kanakannya masih sangat jelas. Tidak ada hal serius yang dia pikirkan. Pekerjaannya hanya duduk santai di rumah, menunggu transferan uang dari ayahnya, dan tentunya berpesta.

Mengabaikan tatapan penasaran para sahabatnya, Darel hanya meraih sekaleng soda dari meja. Isinya tandas setengah bagian dalam sekali teguk.

"Tidak minum?" John bertanya.

"Tidak. Aku butuh pikiran jernih untuk tetap mengingat jelas wajah gadisku."

"Hahahahaha!" Tawa keras itu berasal dari Boy. Semua mata langsung terarah padanya sekarang. "Lihatlah! Si tidak normal ini akhirnya jatuh cinta! Hahahaha!"

"Aku normal, Kid!" umpat Darel sembari melemparkan rokok bekas pakai pada Boy.

"Benarkah? Jadi, kamu sudah menidurinya?" Aiden penasaran.

"Belum."

"Hahahahaha! Dia memang tidak normal!" Lagi, Boy menertawakan Darel.

Dua sahabat Darel yang lain mau tidak mau juga jadi ikut tertawa, meski tidak sebahagia Boy. Sadar jadi bahan candaan, Darel hanya mendengkus lalu menyandarkan tubuh. Aiden yang duduk bersebelahan dengannya menepuk pundak secara pelan.

"Jangan membuat kami khawatir, Darel."

Tatapan Darel langsung jatuh pada John yang duduk di seberangnya dengan wajah serius. Si kekanak-kanakan Boy juga sudah berhenti tertawa. Terakhir, Darel melayangkan pandangan malas pada Aiden yang baru saja seolah-olah terdengar bahwa sahabatnya butuh penanganan khusus.

"Kalian ini kenapa? Aku normal, Dude."

"Tapi kamu sungguh membuat kami khawatir. Sudah setahun kamu tidak bercinta, padahal memiliki istri." Darel berdecak malas untuk membalas perkataan Aiden. "Setidaknya yakinkan kami jika kamu dalam keadaan baik-baik saja," sambung Aiden yang dibalas anggukan oleh John dan Boy.

"Haruskah aku mengirimkan foto ketika sedang ereksi? Atau ketika aku di kamar mandi sambil membayangkan wajah seorang gadis?"

"Ya. Itu adalah ide yang bagus." Tatapan seram Darel langsung tertuju untuk Boy. "Sebagai bukti untuk kami bahwa kamu bisa berdiri karena perempuan."

"Sialan, Kid. Kamu membuatku gerah!"

Tawa kecil kemudian terdengar dari ketiga sahabat Darel. Laki-laki itu melepas jas dan dasinya. Tidak ketinggalan, dia juga membuka tiga kancing teratas kemejanya. Dadanya perlu udara lebih banyak, karena perbincangan tadi nyaris membuat Darel kewalahan menjawab.

"Jadi katakan, kenapa kamu tidak bercinta selama ini?" Aiden kembali menyinggung pembahasan utama.

"Padahal Nenek Sihir Rosella itu cantik," tambah Boy yang tampak berpikir sambil mengelus dagunya.

"Dia cantik, tapi sayangnya Darel tidak suka dengan perempuan yang sembarangan membuka kaki pada laki-laki."

"Kamu sangat mengenalku, John!"

Mendapat pembelaan dari John, Darel tersenyum puas. Dua sahabatnya yang lain masih belum menampakkan wajah lega. Perihal Darel yang tidak ingin bercinta dengan perempuan memang jadi kecemasan mereka sejak lama. Sebagai sahabat yang sudah menjalin hubungan bertahun-tahun, jelas mereka tidak ingin ada salah satu anggotanya yang melenceng.

Bukan tanpa alasan para laki-laki itu mengkhawatirkan Darel. Seks adalah kebutuhan setiap laki-laki yang tidak lagi lajang. John dan Aiden meski belum menikah pun sering melakukannya. Namun, Darel mampu menahan diri. Entah apa sebab pastinya, karena Darel tidak pernah benar-benar terbuka perihal itu.

"Jika Nenek Sihir tidak membuatmu bernafsu, lalu bagaimana dengan gadis itu?"

"Dia? Dia berbeda," kata Darel yang tanpa sadar mengulas senyum.

Mengingat Deandra adalah hal menyenangkan, hingga tanpa Darel sadari menciptakan ekspresi tidak biasa di wajahnya. Cara gadis itu menyebut nama Darel, cara merengek, dan cara gadis itu tersenyum ataupun tertawa mampu membawa atmosfer hangat bagi Darel. Bersama gadis itu, Darel tahu dirinya hampir tidak bisa dikendalikan.

"Kamu sudah menjadikannya tahanan, tapi kenapa tidak menyentuhnya?"

"Apakah kamu tidak ingin menodainya?" John menambahkan kalimat Aiden.
Belum sempat Darel menjawab, Boy kembali ikut-ikutan bersuara.

"Si tidak normal ini mana mungkin seperti itu. Dia bahkan tanpa perasaan membuat Nenek Sihir menangis di malam pertama mereka."

Merasa dikeroyok, Darel memijat pelipisnya sebentar, lalu menenggak lagi minuman soda yang tadi masih setengah. Sejenak Darel memejamkan mata, mengabaikan para sahabatnya yang terdengar sangat cerewet malam ini.

"Namanya Deandra, gadis berumur tujuh belas tahun. Dan kalian masih menanyakan kenapa aku tidak menidurinya? Ck! Aku bukan penjahat kelamin. Aku ingin bercinta jika dia juga ingin."

Jawaban Darel mengundang tatap ketidakpercayaan dari ketiga sahabatnya. Aiden meraih rokok, lalu menyalakannya dan menatap Darel yang menyandar dengan mata terpejam. Kepulan asap berpencar ke seluruh ruang. John meneguk wine yang tinggal seperempat di gelasnya, sedangkan Boy mengunyah kacang mede favoritnya. Ruangan hening, karena mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Apakah kamu berniat serius dengannya sampai-sampai tidak mau menodainya sebelum pernikahan?"

Pertanyaan Aiden mengundang mata Darel untuk terbuka.

Pernikahan dengan Deandra, Darel sama sekali tidak memikirkan itu. Rosella masih menjadi istrinya dan tentu tidak akan mudah jika ingin menjadikan Deandra sebagai istri kedua. Karena itu hanya akan menyebabkan perdebatan dan pertentangan antara keluarga Darel maupun Rosella.

"Dia lugu. Aku cukup bersenang-senang dengan itu. Tidak ada bayangan pernikahan antara aku dan dia. Aku masih waras karena memikirkan reaksi keluarga."

Tadinya John dan yang lain mengira Darel akan mengakui suatu perasaan pada gadis lugu itu. Mengira kalau pada akhirnya hati Darel berlabuh pada satu cinta. Akan tetapi, pikiran John salah.

"Artinya kamu hanya main-main." Darel membenarkan ucapan John dengan anggukan. "Tapi aku sarankan jangan bermain terlalu lama dan dalam. Takutnya, kamu yang tidak bisa mengakhiri permainan atau merasa kecewa dengan bagian akhirnya."

Darel tahu dirinya sedang diingatkan, sedangkan otaknya menolak untuk menerima. Dengan kehadiran Deandra yang dia sendiri juga manfaatkan, Darel percaya diri telah mengendalikan permainan dengan handal.

"Dia benar. Aku akan menunggu karmamu, Darel. Aku akan tertawa sangat keras selama sepuluh menit jika suatu hari nanti kamu bersedia berlutut agar tidak ditinggalkan oleh gadis itu! Hahahaha!"

"Sialan! Anak kecil bisanya ikut-ikutan saja!" Darel jelas menunjukkan kekesalannya.

Sebuah rokok bekas pakai kembali melayang kepada Boy. Sialnya, kali ini berhasil masuk ke mulut laki-laki itu yang tengah menertawakan Darel. Sontak saja Boy batuk-batuk, tetapi malah membuat Darel dan lainnya tergelak.

"Kamu yang lebih dulu mendapatkan karma, Kid!"

Hendak membalas Darel yang sudah membuat dirinya terbatuk-batuk, niat Boy gagal karena baru saja ada seorang perempuan yang memasuki ruangan dengan raut tidak senang. Tawa semua orang terhenti demi menyambut perempuan yang terlihat tidak baik-baik saja itu.

"Darel, kamu keterlaluan! Harusnya kita menghadiri acara keluargaku tadi, tapi kamu malah di sini!" Perempuan itu berkacak pinggang.

"Selamat datang, Nenek Sihir! Seharusnya kami memberi penyambutan yang lebih baik agar kamu tidak marah-marah seperti ini."

Melihat Rosella yang tampak semakin kesal, diam-diam John dan Aiden menahan tawa. Boy memang selalu berhasil membuat perempuan itu seperti setan yang datang dari neraka. Wajah Rosella benar-benar merah sekarang.

"Diam kamu, Anak Kecil!"

Bukannya terkejut karena dibentak, Boy malah melempar sebuah kaleng soda pada Rosella yang masih berdiri beberapa meter darinya. Karena tidak siap menangkap, kaleng itu akhirnya jatuh dan mengenai kaki Rosella. Segala umpatan dan ringis kesakitan meluncur dari bibirnya. Tidak bisa ditahan, semua laki-laki di ruangan itu tertawa keras.

"Harusnya kamu menangkapnya, Nenek Sihir. Itu bisa membuat kepalamu lebih dingin."

Mata Rosella mendelik. Dia berjalan cepat ingin menghampiri Boy lalu melayangkan satu tamparan. Namun, dia tertahan ketika Darel menggenggam erat tangannya. Laki-laki itu sudah berdiri di dekat sang istri, menatap penuh keseriusan tanpa ada sisa tawa yang tadi.

"Kita pulang dan selesaikan di rumah, Rose."

"Aku ingin menamparnya! Kalian semua keterlaluan!"

Bola mata perempuan itu seakan-akan hendak jatuh. Raut marah dan tidak senangnya terlihat menggelikan oleh Boy, hingga laki-laki itu kembali tertawa. Aiden dan John mengamati dalam diam dengan tangan memegang gelas wine.

"Aku pulang dulu. Besok kita lanjutkan lagi."

Semua mengangguk, memberi izin pulang pada Darel. Rosella seketika memberontak ketika Darel menyeretnya untuk keluar dari ruangan. Harga dirinya tadi sudah dilukai dan ingin sedikit saja membalas, tetapi sang suami tidak memberinya kesempatan untuk itu.

Sepasang suami istri itu sudah tidak ada lagi di ruangan dengan pencahayaan minim. Tersisa tiga orang laki-laki yang saling tatap penuh maksud.

"Aku berani bertaruh, Darel akan bertekuk lutut pada gadis itu. Lihatlah, dia bahkan tidak berani menyentuh gadisnya yang masih suci," kata Boy yakin, lalu kembali sibuk memakan kacangnya.

"Tapi bercerai dari Rosella itu juga mustahil." John setuju kalimat Aiden.

"Siapa yang tahu? Kita tunggu saja. Dan jangan lupa untuk meminta traktiran besar jika benar Darel jatuh hati pada gadisnya, lalu memilih meninggalkan si Nenek Sihir."

🍁🍁🍁

"Aku membencimu, Darel!"

Baru sampai rumah, Rosella kembali bersuara lantang. Karena mereka tadi membawa mobil masing-masing, jadinya dia baru bisa melampiaskan kekesalannya.

"Benci saja. Aku tidak masalah."

Tanpa beban dan keraguan, Darel mengatakan itu. Dia hendak mandi, tapi tangannya dicekal oleh jemari lentik sang istri. Tatapan mereka bertemu. Darel tahu istrinya sangat marah, hingga untuk bernapas pun Rosella kesusahan. Wajah tirusnya yang bertabur riasan tampak kemerahan dari biasanya, tentunya karena dia sedang marah.

"Tapi aku juga mencintaimu, Darel! Sialan! Tidak bisakah kita menjalani hubungan normal?!"

Dengan gerakan pelan, tangan kiri Darel menyingkirkan cekalan istrinya. Tahu sedang ditolak, Rosella tidak memberi kesempatan sang suami untuk beranjak ke kamar mandi. Tubuh tinggi menjulang itu Rosella dekap dengan sekuat tenaga, mencegah Darel untuk bisa kabur dari sentuhannya.

"Aku mohon, Darel. Sudah satu tahun kita menikah. Aku mencintaimu, kita pasangan, tidak bisakah kamu menerimanya?" Suara Rosella merendah, berharap sedikit saja meluluhkan Darel.

"Tidak," jawab Darel cepat.

"Aku harus bagaimana? Jangan siksa aku. Aku tahu kamu lelah berpura-pura mencintaiku di depan keluarga kita. Aku tahu mulutmu penuh dusta setiap kali mengatakan cinta melalui telepon karena keluargaku ingin mendengar betapa aku berarti di hidupmu. Tidak bisakah kamu hentikan semua itu? Sungguh-sungguhlah mencintaiku, jangan hanya pada saat fitur pengeras suara panggilanku aktif seperti terakhir kali kamu melakukannya."

Ya, Darel ingat itu. Ketika di malam dia bersama Deandra, Rosella menghubungi. Lalu Darel menyatakan cinta dengan nada lembut melelehkan. Yang dia lakukan hanyalah untuk menutupi bagaimana hubungannya dengan Rosella tidak baik. Karena sudah bisa dipastikan, kalau istrinya akan menyalakan pengeras suara demi meyakinkan keluarga yang lain.

"Kamu cantik, masih ada banyak laki-laki yang mau denganmu selain aku. Carilah kesenanganmu di luar sana, aku tidak akan menghalangi."

Dekapan Rosella terlepas. Dia kini berdiri di depan Darel. Hak tinggi dua belas sentimeter yang dikenakannya membuat dia dengan mudah langsung berhadapan dengan mata Darel. Perempuan berambut lurus sebahu itu tampak mengiba.

"Kamu belum memaafkanku atas kejadian satu tahun lalu? Kamu bahkan sudah menghukumku, Darel!"

"Memaafkanmu yang bercinta dengan laki-laki lain sehari sebelum pernikahan kita? Silakan bermimpi, Rose."

Mata Rosella panas, begitu juga dengan hatinya. Tidak menunggu waktu lama, air meluncur bebas di wajah itu. Rosella menangis dan Darel tidak merasa iba sedikit pun.

"Aku sudah minta maaf, Darel. Kamu juga sudah memberiku hukuman menyakitkan di malam pertama kita!"

Rosella tersedu-sedu. Wajahnya dia tutup dengan kedua tangan.

"Oh, maksudmu hukumanku yang mencumbu tubuhmu dengan tamparan di sana-sini dan cambukan itu? Sayangnya, itu masih tidak cukup."

Lalu Darel meninggalkan Rosella menuju kamar mandi. Dapat dia dengar bagaimana perempuan itu menjerit disusul barang-barang jatuh lainnya. Suara gaduh masih terdengar dari bagian kamar utamanya, sedangkan Darel kini tengah mengguyur tubuh di bawah shower. Wajahnya menengadah dengan pikiran berkecamuk.

Pernikahannya tidak normal, Darel tahu itu. Sebuah hubungan harus terjalin demi kata bisnis. Rosella cantik dan berpendidikan, membuat Darel tidak menolak perjodohan yang ditetapkan keluarganya. Memang tidak ada di cinta di antara keduanya, tetapi Darel benci ketika dikhianati, benci ketika ada penjilat di sisinya, dan semua itu terbongkar tepat sehari sebelum pernikahan terjadi.

Marah luar biasa mengakibatkan Darel menghukum Rosella dengan caranya sendiri. Mereka bercinta di malam pertama dengan segala amarah. Darel menampar wajah dan bokong Rosella, juga bercinta dari posisi belakang lalu melayangkan cambuk ke punggung perempuan itu.

Sepanjang malam hanya ada jerit kesakitan dari Rosella, ditambah rasa pedih karena Darel menggunakan pengaman ketika bercinta. Satu hal yang membuat Rosella kian menangis, karena suaminya sendiri tidak percaya padanya.

To be continued

Finally yang kalian tunggu-tunggu muncul, ya. Yang penasaran sama Rosella udah puas, belum? Hihihi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro