9. Sandiwara

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setiap orang pernah berbuat kesalahan, pernah bertindak bodoh, pun pernah berada dalam fase tidak serius dalam menjalani hidup. Ketika itu semua terjadi, risiko juga harus ditanggung. Tanpa pernah terpikirkan sebelumnya bahwa akan ada akibat fatal, Rosella menanggung sakitnya hukuman yang Darel beri.

Kaya, calon pewaris kerajaan bisnis orang tua, dan tampan adalah tiga hal yang menggambarkan Darel di mata Rosella. Dengan senang hati dia menerima perjodohan itu, meski dalam kondisi Rosella menjalin hubungan dengan orang lain. Tidak ada masalah bagi perempuan itu ataupun kekasihnya, karena mereka sama-sama sepakat di awal bahwa hubungan yang ada tidak akan sampai ke jenjang pernikahan. Hanya sekadar memenuhi kebutuhan seks tanpa harus ada obrolan perihal masa depan bersama.

Tidak ada yang harus dikorbankan, Rosella paham itu. Dia menikmati membayangkan menjadi Nyonya Tristan. Memiliki suami tampan juga memberinya banyak keuntungan; bisa dipamerkan dan tidak membuat malu. Dalam khayalannya, menjalani hidup bersama Darel meski tidak diawali cinta adalah sebuah berkah.

Untuk mengakhiri hubungan dengan kekasihnya sebelum resmi menikahi Darel, Rosella membuat perayaan tidak biasa. Ya, perayaan yang diisi oleh percintaan panas Rosella dan kekasihnya di apartemen. Sialnya, Darel menangkap basah kelakuan sang calon istri, karena hari itu dia berniat menjemput Rosella sesuai keinginan ibu Darel. Dan petaka malam pertama pun tak bisa dielakkan.

"Ibuku akan datang untuk sarapan bersama," kata Rosella begitu melihat Darel keluar dari ruang ganti.

Laki-laki itu mengembuskan napas panjang. Salah satu hal yang dia benci adalah bersandiwara menjadi suami baik hati. Topeng suami pencinta istri harus dia kenakan setiap kali berhadapan dengan keluarganya atau keluarga Rosella. Berpura-pura menjadi pasangan yang saling melempar senyum ketika duduk bersisian juga hal yang membuat Darel muak.

Sesungguhnya Darel memiliki kesempatan untuk melepaskan diri dari Rosella. Namun, dia terlalu sayang pada keluarganya, hingga tidak ingin menggoreskan luka. Lagi pula, bagi Darel kebebasannya masih ada. Pulang ke rumah hanyalah alibi agar orang tuanya tidak khawatir.

Dari semua perlakuan dinginnya pada Rosella, Darel tetap ingin menjadi anak baik di mata keluarga. Perkataan yang sudah dia lontarkan pun enggan untuk ditarik. Jadi, Darel dan pernikahannya bukanlah keterpaksaan yang mana laki-laki itu tidak memiliki alasan untuk menolak dulu.

"Jika ibumu begitu khawatir anak perempuannya tersakiti, seharusnya kamu diajak pulang saja."

Di tepi ranjang, Rosella mencengkeram erat seprai sampai lusuh. Pagi hari seperti ini Darel sudah berhasil membuatnya kesal. Bayang-bayang sarapan bersama dengan suami yang disertai keceriaan jelas hal mustahil bagi Rosella. Bahkan, sekali saja dia belum pernah mendengar Darel memuji kecantikannya saat sedang berdua.

"Sekian lama berpura-pura, apakah kamu tidak bisa lupa kalau sedang bersandiwara dan akhirnya jadi benar-benar mencintaiku?"

Sekilas Darel menatap Rosella, tapi kembali memalingkan wajah. Tangan laki-laki itu sibuk mengetik sesuatu di layar ponselnya, lalu segera memasukkan ke saku. Dasinya dia perbaiki, memastikan penampilannya sempurna.

"Darel!"

Itu yang tidak disukai Darel dari Rosella. Perempuan itu bisa mengubah suara dengan cepat, dari rendah ke tinggi atau sebaliknya. Memang, Darel tidak memiliki perasaan lebih untuk istrinya. Akan tetapi, dengan sifat yang labil, Darel pun kian enggan untuk belajar menjalani pernikahan normal setelah kejadian Rosella dan kekasihnya di apartemen setahun lalu.

"Kamu memintaku untuk mencintaimu. Tapi, kamu tidak bisa menjadi perempuan yang layak untuk aku coba cintai, Rose."

Sudah tidak tahan melakukan obrolan pagi dengan istrinya, Darel berniat keluar dari kamar. Niatnya terhalangi, karena Rosella sudah menghadang Darel di pintu. Kedua alis laki-laki itu hampir bertautan, menatap bingung dengan reaksi sang istri.

"Kenapa kamu menghalangi jalanku? Minggir," perintah Darel tanpa nada tinggi.

Masih bergeming di tempatnya berdiri, Rosella juga menampakkan wajah tidak bersahabat. Malas menanyakan ada apa, Darel pun memilih diam. Kedua tangannya dia lipat di perut sambil menunggu jika Rosella ingin bicara.

"Apa kamu memiliki perempuan lain sampai-sampai tidak mau melihatku sebagai istrimu?!"

Mata Rosella jelas melihatkan kemarahan. Api bagai berkobar di sana, siap membakar apa pun yang dikehendakinya. Dada yang naik turun itu juga menandakan bagaimana kecurigaan sangat mengganggunya. Rasa marah itu kian menyala, tatkala Darel malah menyeringai.

"Jadi benar kamu punya perempuan lain?! Kamu punya simpanan?!"

"Apa itu penting bagimu?" tanya Darel datar.

"Ya, penting! Aku istrimu dan berhak tahu apa yang kamu lakukan di luar sana! Aku tidak terima jika kamu memiliki simpanan!"

Merasa lucu, Darel tertawa kecil yang malah mengundang Rosella semakin memuncak. Perempuan itu mendelik tidak terima atas respons sang suami.

"Rose, kurangi marah-marah. Itu hanya akan membuatmu bertambah tua dengan cepat."

Kelakar Darel terdengar sebagai ejekan di telinga Rosella. Dengan marah yang terlalu, pintu itu dipukul Rosella. Melihat istrinya mulai menggila, Darel masih tidak berniat untuk mempermudah perdebatan pagi ini.

"Siapa namanya?! Aku ingin tahu! Aku akan menghabisinya kalau perlu!"

Jiwa Darel yang enggan terpancing sejak semalam, kini nyatanya berhasil dibuat goyah. Ancaman Rosella memang tidak berarti apa-apa karena Darel tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti Deandra. Namun, sepertinya Darel perlu memberi peringatan untuk sang istri.

Masih dalam pembawaan tenang, meski jiwanya bergejolak, Darel melangkah lebih dekat pada Rosella. Laki-laki itu buka tipe suami yang suka main tangan, tetapi kali ini sepertinya dia harus berubah demi memperjelas batas sang istri. Batas yang tidak boleh dilalui Rosella untuk mengusik kehidupan pribadi Darel.

Perempuan berlipstik merah itu terkejut luar biasa saat satu tangan Darel mencengkeram erat pinggangnya. Sentuhan kasar pada rambutnya juga membuat Rosella nyaris berteriak. Ya, nyaris, sebelum Darel mendekatkan wajah ke telinganya seraya membisikkan sesuatu.

"Sebelum kamu berhasil menghabisinya, biarkan aku yang lebih dulu menghabisimu, Rose. Aku tidak suka milikku disentuh orang lain. Untuk itu aku menghukummu yang telah lancang bercinta dengan laki-laki lain di saat kamu sudah bersedia menikah denganku."

Napas Rosella serasa habis, dadanya penuh oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Darel dalam versi murka memang menakutkan. Kesombongan Rosella bahkan mampu runtuh dalam sekejap. Gemetar tubuhnya menambah fakta bahwa ancaman sang suami begitu mengerikan.

"Ka-kamu sangat kejam, Darel," desis Rosella di antara rasa sakit yang masih Darel beri.

Sedikit menjauhkan wajah, Darel lalu menyeringai. Kekuatannya dalam mencengkeram pinggang juga rambut pendek Rosella bertambah. Rosella meringis, lalu perlahan-lahan air matanya tumpah. Raut kesakitan sang istri tetap tidak melunakkan hati Darel.

"Aku memang kejam. Dan seharusnya kamu tahu sebelum berani bermain di belakangku. Bersyukurlah aku tidak langsung menghabisimu di malam pertama kita."

Meski tidak dikatakan, Rosella jelas tahu itu. Mana mungkin dia bisa melupakan kekejaman Darel di balik pembawaannya yang tenang. Siapa pun tidak menyangka bahwa laki-laki dengan sejuta pesona itu mampu berbuat kasar pada istrinya sendiri. Malam pertama yang diharapkan terjadi secara indah, nyatanya malah menumpahkan darah pada wajah Rosella.

Kalau ada yang mengetahui hal itu, mungkin Darel sudah mendekam di balik jeruji besi. Namun, itu Darel yang melakukannya dengan segala perhitungan. Rosella diajak pergi menjauh selama dua pekan dengan dalih bulan madu dan lebih mendekatkan diri satu sama lain. Segala pekerjaan tetap Darel tangani dari jarak jauh. Akibat kelicikannya itu, pihak keluarga tidak ada yang tahu bahwa bibir Rosella terluka akibat perbuatan sang suami.

"Sekarang mulai saja sandiwaramu menjadi istri yang baik. Atau kalau memang ingin mengakhirinya, kita bisa sama-sama menjelaskan bahwa kamu dan aku tidak baik-baik saja selama ini."

Sentuhan kasar Darel terputus. Satu tangannya masuk ke saku celana dengan tatapan tak lepas dari Rosella yang masih tampak kesakitan. Jemari lentik sang istri bergerak cepat untuk menghapus air mata yang menambah kesan berantakan di wajahnya.

"Aku tidak ingin berpisah denganmu. Tidak akan kubiarkan itu terjadi, sampai kapan pun."

Kedua bahu Darel terangkat sebentar, lalu kembali turun sebagai tanda bahwa dia tidak peduli akan sikap keras kepala Rosella. Memang, Darel tidak ingin mengakhiri hubungannya secara pihak, karena dia sadar bahwa reputasi keluarganya sangat penting. Namun, jika Rosella menyetujui perpisahan, dengan senang hati Darel akan mengabulkan.

Si cantik Rosella juga memiliki keputusan untuk hidupnya. Sekali Darel terikat, dia tidak akan pernah melepaskan. Segala sakit hati atas sikap dingin sang suami juga tidak mampu melunturkan keinginan perempuan itu. Rosella percaya, suatu hari nanti Darel akan berlutut demi memohon cinta dan kasih Rosella.

🍁🍁🍁

Setelah tadi pagi kembali menjalankan peran sebagai suami baik hati di hadapan ibu mertua, kini Darel harus mengulangnya di hadapan sang ibu. Darel memang tidak bisa mengabaikan Rosella begitu saja, karena faktanya perempuan itu pun suka berbuat licik.

Menemani ibu mertua berbelanja ditambah kata-kata manis yang menyatakan bahwa lebih baik Darel ikut, tentu adalah strategi Rosella. Satu tahun tinggal di atap yang sama, Darel memahami benar bagaimana sang istri dengan mudah memanfaatkan keluarga Darel untuk mendekatkan mereka. Kebiasaan Darel yang selalu menolak pergi berduaan bersama istrinya adalah alasan utama Rosella melakukan kelicikan. Mereka saling membalas tanpa tahu kapan berakhir.

Dalam diri sang ibu, Darel menemukan cinta luar biasa. Cara Esther mencinta suami dan anak-anaknya adalah suatu kesucian yang tidak pernah ingin Darel nodai. Untuk itu, apa pun permintaan ibunya, Darel berusaha selalu menyanggupi. Laki-laki rupawan itu tidak pernah sampai hati mengecewakan sang ibu, salah satu sebab kini Darel menggenggam jemari Rosella.

"Senang sekali melihat kalian akur. Kapan seorang bayi akan melengkapi pernikahan kalian?" tanya Esther dengan wajah semringah.

"Kami masih menikmati hidup berdua, Ibu. Lagi pula, umurku masih muda," kilah Darel setenang mungkin.

"Tapi Ibu ingin segera memiliki cucu."

"Bersabarlah, Bu."

Dari tadi Darel terus-menerus membalas perkataan ibunya. Lidahnya dengan cekatan mengeluarkan lisan, mendahului Rosella supaya tidak ada pembicaraan aneh lagi. Sudah cukup dengan belanja bersama, Darel tidak mau lagi ada hal yang membuatnya pusing. Bahkan terusiknya Rosella juga tak mempengaruhi Darel sedikit pun.

Mereka berkeliling pusat perbelanjaan, saling tersenyum dan menanyakan pendapat atas pilihan pakaian yang Esther ambil. Jika dilihat dari jarak jauh, mereka sungguh tidak memiliki cela. Sangat pantas dikatakan harmonis jika saja cacat di dalamnya tetap menjadi rahasia.

Sudah dua jam Esther dan Rosella berbelanja. Malam telah datang disertai suara perut yang meminta diisi. Untuk segera mengakhiri kepura-puraan itu, Darel menyarankan agar mereka segera makan malam dan pulang.

"Di dekat sini ada restoran keluarga. Ibu mau mencobanya?"

Ingin rasanya Darel meludah ketika menatap ekspresi Rosella yang menggemaskan ketika bicara, tapi faktanya itu dibuat-buat. Apalagi sikap perempuan itu yang sering manja dengan Esther, sungguh menimbulkan niat Darel untuk melempar Rosella ke Antartika.

"Tentu saja. Jika kamu mau, Ibu juga mau."

Genggaman Rosella mengetat, seketika mengalihkan wajah Darel yang sejak tadi sebenarnya enggan menatap. Bisa dia lihat bagaimana istrinya tersenyum puas karena sang ibu mertua mengikuti sarannya tadi. Kalau saja Darel bisa, sudah dipastikan Rosella akan berakhir dengan makan malam seorang diri.

Kalau bukan karena Ibu, memang siapa yang mau menikmati hidangan ditemani ular tidak berbulu seperti Rosella?

Menantu dan ibu mertuanya kembali bercakap-cakap, sedangkan Darel memilih melihat ke sekeliling sembari berjalan menuju basemen. Tanpa disadari Darel, ada seorang gadis di hadapannya yang tengah asyik tertawa bersama temannya. Keduanya sama-sama tidak fokus, hingga saling menabrak. Tubuh sang gadis sampai mundur akibat tabrakan barusan.

"Nona tidak apa-apa?"

Deandra.

Darel masih bergeming atas pertanyaan yang diajukan Rosella perihal tabrakan barusan. Fokus laki-laki itu tertuju pada Deandra yang juga bergeming menatapnya. Gadis itu juga mengabaikan Agustin. Menyadari siapa yang baru saja berbenturan dengan Deandra, Agustin mencoba mengalihkan nonanya.

"Kalau Nona tidak apa-apa, mari kita pergi." Deandra mengangguk pelan. "Maafkan ketidaksengajaan nona saya yang sudah menabrak Tuan. Semoga Anda tidak apa-apa. Kami pamit."

Sekilas Agustin membungkuk hormat, lalu menyeret pelan Deandra yang masih tidak bersuara. Dua perempuan itu mengambil arah berlawanan, membuat Darel harus menahan diri agar tidak menoleh ke belakang. Ya, Darel sekali lagi harus bersandiwara, demi menutupi siapa Deandra di mata Esther dan Rosella.

Pernah berciuman, pernah saling memeluk, dan pernah tidur seranjang. Namun, kali ini Darel dan Deandra harus berpura-pura tidak mengenal satu sama lain. Itu adalah hal menyakitkan jika saja udara yang menjadi saksi mampu menyampaikan rasa.

To be continued

Yeayyy! Aku tetap update demi kalian. Bolehlah minta komennya yang banyakkk biar aku senang.😆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro