14: Denying

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hamparan laut terlihat memesona meski aura kelam terpancar karena cuaca tak mendukung. Jembatan layang dengan banyak kendaraan mogok di atasnya menjadi hiasan, menambah kesan kota mati yang sesungguhnya. Dari rooftop gedung bertingkat ini pemandangan sekitar sangat jelas terlihat. Gedung-gedung pencakar langit yang saling menandingi kekokohan satu sama lain.

Miky masih betah menyoroti kota tanpa nama ini. Dia merenung sekaligus menjauh dari seorang gadis. Sakit hatinya tak lagi dipedulikan. Bagaimanapun juga janji adalah janji. Dia tidak ingin memperkeruh keadaan karena melanggar perjanjian itu.

Jika ditanya apakah dia menyesal telah mengiyakan permintaan Mahen? Maka jawabannya adalah anggukan. Dia jelas menyesal, menjauh berarti tidak ada komunikasi sama sekali.

"Lemah," ejeknya pada diri sendiri.

Lagi, hal baru yang berhasil dia dapatkan mengenai dirinya. Dia tidak pernah sadar bahwa salah satu kelemahannya adalah menjauh. Harusnya dia mengetahui itu sedari dulu ketika Mahen memilih tak peduli lagi akan persahabatan mereka.

Desau angin membuatnya memejam. Bayangan rumah di mana keluarga kecilnya berkumpul muncul hingga membuat mata kelam itu kembali terbuka. Jika nyeri yang tiba-tiba dia rasakan tepat di ulu hati karena rindu, berarti benar adanya bahwa dia sedang merindukan rumah.

"Rindu rumah? Bukan gue banget," elaknya sambil tertawa kecil.

Teriakan sang mama, wejangan kakak, paksaan ayah, dia rindu semua itu. Makan terburu-buru ketika ada kelas pagi, terlambat masuk kelas karena begadang semalam suntuk bermain gim, dan berakhir dipuji oleh dosen. Aneh memang, tetapi dia jauh lebih dihargai di kampus dibandingkan tempatnya pulang.

Jurusan kuliah yang mati-matian Miky pertahankan karena hobi dan ada Mahen juga. Namun, keputusan yang dia anggap sangat membahagiakan itu justru membuatnya kehilangan keakraban dengan sahabat satu-satunya. Dia tidak menyesal mengenal Mahen, yang dia sesalkan adalah memperkenalkan Mahen dengan gim.

"Miky."

Suara itu lagi, pemilik mata bulat yang selalu membuatnya terkunci pada satu titik. Dia tidak tahu cara menghindar dengan baik, selain itu dunia virtual tak seluas bumi yang mereka pijak.

"Miky, gue mau ngomong sesuatu."

Pada panggilan kedua dia berbalik. Baiklah, mari perjelas semuanya. Bagaimanapun juga Vichi harus tahu bahwa dia sedang menghindari gadis itu.

"Kenapa?"

Gadis yang tengah memegang pedang itu diam, menatap Miky lamat-lamat. Aliran darahnya yang panas berdesir lebih cepat dari sebelumnya.

"Lo yang kenapa," lirih Vichi sambil merunduk. Tak dapat dipungkiri kesedihan yang dia rasakan disebabkan oleh Miky yang tak pernah menghampiri dan mengajaknya berbicara.

Miky berdiri tegak, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Cowok itu tersenyum simpul sambil mundur sebanyak lima langkah. Dia dapat melihat kerutan di dahi mulus itu, tanda bahwa gadis tersebut kebingungan. Ketika Vichi melangkah lagi, Miky kembali mundur.

"Lo di situ aja, jaga jarak sama gue."

"Kenapa?"

Hanya satu kata itu yang terus dia gaungkan. Vichi semakin yakin bahwa cowok bermata sipit itu tengah menjauhinya. Namun, atas dasar apa Miky bertindak demikian?

Belum sempat mendengar jawaban yang sangat ingin dia ketahui, dari jauh terdengar gema hentakan sepatu dari dalam bangunan dan dalam hitungan detik sampai ke atas rooftop. Dua samurai dan satu penembak tiba-tiba muncul. Lagi dan lagi mereka harus menghadapi kesalahan sistem yang sewaktu-waktu bisa merenggut nyawa.

Kepungan musuh tidak hanya menimpa Miky dan Vichi, di lantai dasar ketiga manusia yang tengah berbincang mengenai misi juga harus berhadapan dengan tiga samurai dan tiga penembak. Keadaan jauh dari kata aman ini membuat kelima penyintas gim itu mengeluh sebelum bergerak melumpuhkan musuh.

"Bang, Vichi mana?" Mahen berbisik ketika menyadari Vichi tidak ada di antara mereka.

Wira menggedik, sibuk mencari posisi aman untuk melindungi Gea. "Kayaknya dia ke atas."

Mahen menurunkan bidikannya, dia segera berbalik hendak naik ke lantai atas. Akan tetapi, teriakan Wira membuatnya urung.

"Lo gila? Lihat musuh di depan lo!"

Mahen menelan ludah, gusar. Hampir saja dia bertindak bodoh, meninggalkan Wira dan Gea di sini bersama enam musuh yang siap melayangkan nyawa mereka. Segera dia meminta maaf dan kembali mengacungkan moncong senapan ke arah musuh.

Wira mengode Mahen agar berdiri di belakang bersama Gea yang sudah siap dengan shuriken. Cowok itu mengerti, dia harus menjadi penyerang bagian belakang, melindungi Wira dari para penembak.

"Gea, lo habisin si samurai di sebelah kanan, dan kalau bisa bantu Mahen ngelumpuhin satu penembak," perintah cowok berumur dua puluh tiga tahun tersebut.

Gadis berumur dua puluh tahun itu mengangguk patah-patah. Meski takut gagal, tangan kecilnya tetap bersiap melayangkan bintang ninja itu. Setidaknya dia pernah berlatih dan sudah lumayan mahir menggunakan benda itu.

Sementara di lantai atas, Miky dan Vichi sudah memulai pergerakan. Tak butuh waktu lama melumpuhkan ketiga musuh. Miky cukup membidik satu penembak di depannya, dan satunya lagi si samurai. Miky mempercayakan sisanya kepada Vichi.

Dalam waktu hitungan menit mereka berhasil mengeksekusi rencana dadakan itu. Peperangan singkat diakhiri tawa bahagia, sampai ketika Miky berhenti dan menatap lembut gadis di depannya.

"Maaf." Miky membuang napas panjang. "Gue emang sengaja kejauhin lo karena gue ... gue gak bisa dekat sama lo."

Vichi mundur, mulai menjaga jarak. Tidak menyangka apa yang dia pikirkan beberapa saat lalu ternyata memang benar adanya. Miky sengaja menjauh. Gadis itu mendongak, menatap langit. Lebih baik melihat ke atas dan menahan air mata, daripada melihat ke bawah dan mengizinkan air mata itu jatuh. Vichi tidak suka terlihat lemah.

"Gue cuma butuh satu alasan lo menjauh, Mik."

Miky mengangguk. Dia semakin menatap dalam ke manik Vichi. Baiklah, dia hanya perlu menyebutkan satu alasan sekaligus meringankan beban dalam hatinya. Dalam perjanjian tidak ada larangan untuk mengakui perasaan, bukan? Maka Miky akan melakukan itu.

"Karena gue suka sama lo."

Tepat ketika pernyataannya berakhir, bunyi bedebum dari arah pintu membuat mereka menoleh dan mendapati Mahen berdiri ngos-ngosan.

Cowok berseragam hitam itu mengepalkan tangan. Seharusnya dia tidak perlu mencari keberadaan mereka berdua sehingga dia tak akan mendengar bagaimana Miky mengkhianatinya.

"Brengsek!" Mahen maju, menerjang Miky yang tidak siap sama sekali.

Bogem mentah langsung melayang di pipi cowok berseragam tentara cokelat itu. Tidak terima, Miky juga melakukan hal serupa. Mereka saling memegang kerah baju satu sama lain, melayangkan tatapan nyalang. Teriakan Vichi dihiraukan begitu saja.

"Ngungkapin perasaan bukan suatu pengkhianatan dalam perjanjian itu, Hen."

🎮
(Day 14)

I just wanna say, semangat puasanya 😆

~Hapding everybody~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro