15: Be Cut Up

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Desau angin menggeletik telinga. Tak ada perubahan dari awan yang bergumul di atas sana. Pinta hati hujan segera turun agar kedua cowok itu bisa lolos dari tatapan tajam seorang gadis di depan mereka, tetapi ketika mengingat dunia virtual adalah tempat bernaung saat ini mereka sama-sama membuang napas panjang sebab hujan tak 'kan turun.

Vichi masih nyaman mengatupkan mulut. Matanya semakin tajam seakan ingin menguliti kedua cowok yang wajahnya sama-sama lebam. Selama ini dia tidak pernah percaya cowok akan sebrutal itu memperebutkan seseorang yang dicintai. Tak dapat dipungkiri ada perasaan aneh melihat Miky dan Mahen bertengkar karena dirinya.

"Sebelum kejadian ini sikap kalian udah aneh, gak seperti biasanya. Gue tau lo berdua emang gak akur, tapi kali ini bukan masalah gak akur lagi."

Miky membuang pandangannya ke arah lain, enggan menatap raut kecewa Vichi. Dia belum mengatakan apa-apa saja Vichi sudah terlihat muak, apalagi jika mengatakan kebenarannya. Menjadikan gadis itu sebagai bahan taruhan jelas perbuatan yang sulit dimaafkan.

Diam-diam cowok bermata sipit itu menunggu Mahen membuka suara. Bagaimanapun juga cikal bakal taruhan tersebut berasal dari ide cowok itu. Andai saja Mahen tidak muncul menawarkan hal gila dan menyulut emosi dia tidak akan berada di posisi ini sekarang.

"Kenapa diam? Gak ada sesuatu yang pengen lo jelasin?"

Dari menit ke menit suara Vichi mulai tak terkontrol. Sesekali terselip emosi tertahan dalam ucapannya, tetapi gadis itu tetap berusaha mengendalikan gejolak amarah dan kecewa yang tercipta. Gadis berumur dua puluh satu tahun itu tidak ingin membiarkan keadaan semakin rumit karena mengedepankan emosi.

"Gue rasa apa yang lo alami ada kaitannya sama gue. Tapi, kalau lo berdua gak mau jelasin atau merasa gak nyaman karena introgasi ini, gue dengan senang hati bakalan menjauh ... seperti yang Miky lakuin ke gue." Jelingan gadis itu berakhir pada Miky. Cowok itu sama sekali tak berniat menatapnya.

Jangan tanyakan perasaan Vichi saat ini. Terlalu rumit menjelaskan betapa hatinya hancur. Dia menunduk, membiarkan air matanya mengalir tanpa tahu apa yang menjadi pemicu paling menyakitkan baginya. Kakinya perlahan mundur lalu berbalik untuk pergi dari sana.

"Maafin gue." Mahen yang tadinya menyembunyikan wajah dengan cara menunduk, kini menatap bebas ke arah Vichi. "Ini karena kesalahan gue."

Miky membelalak, tidak percaya atas apa yang baru saja dia dengar. Mahen melimpahkan keadaan ini sebagai kesalahannya sendiri tanpa melibatkan orang lain.

"Karena gue juga. Gue minta maaf," sergahnya segera.

Jauh lebih baik. Meskipun di matanya Mahen tak lebih dari seorang musuh, tetapi mengakui kesalahan adalah sikap gentle yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu.

Vichi berhenti, dia berbalik dan kembali mendekat. Usahanya membuahkan hasil. Entah keyakinan dari mana bahwa kedua cowok itu tidak akan membuatnya semakin kecewa.

"Gue cemburu sama kedekatan lo dan Miky. Gue gak pernah suka lo dekat-dekat sama dia, dan dengan bodohnya gue ngajakin dia taruhan."

Mahen memberanikan diri menatap wajah Vichi yang semakin ditekuk karena ucapannya. Tak dapat dipungkiri gadis itu akan menghilangan sisi respek untuknya. Namun, itulah konsekuensi yang harus dia hadapi.

"Gue juga salah karena termakan emosi. Maafin gue atas segala sikap yang membuat lo sedih dan kecewa." Miky menambahkan.

Vichi tersenyum miris. Dia tidak pernah menyangka akan berada di posisi ini. Diperebutkan dua cowok? Adegan yang hanya pernah dia temukan dalam dunia fiksi. Dia menyesal pernah menginginkan berada dalam keadaan seperti itu, dan sekarang ingin menarik ucapannya.

Dia bukanlah benda yang dapat dipermainkan seperti ini, dan tindakan Miky serta Mahen jelas membuatnya kehilangan semangat. Sekarang tak ada yang mampu dia ucapkan selain menatap dan mendengarkan lontaran permintaan maaf yang diucapkan berkali-kali tanpa ada efek sama sekali.

Vichi berlari, menjauh dari sana secepat yang dia bisa. Dia tidak ingin menangis di depan kedua cowok itu, yang ada dia akan dianggap remeh seperti mereka menjadikannya bahan taruhan. Panggilan untuknya tak digubris lagi. Jika kembali ke dunia nyata, Vichi tidak akan mau bertemu kedua cowok itu lagi, cukup di dunia ini.

***

Di saat sekolah kelas tertinggi selalu mendapatkan pelajaran paling sulit, begitu pun level gim yang kelima orang itu mainkan. Musuh bersenjata api, samurai, dan sniper semakin banyak dan sulit dikalahkan. Entah akhir seperti apa yang menunggu mereka.

Miky dan Wira pergi ke selatan. Gea dan Vichi bergerak ke barat, dan Mahen sendiri berlari ke timur setelah berhasil menumpas beberapa pasukan bersenjata. Atmosfer peperangan kali ini jauh lebih pekat. Pergerakan musuh sulit dilacak sebab mereka gemar menyembunyikan diri.

Distrik kota mati memberi kemudahan untuk itu. Jangkauan kali ini juga jauh tak terbatas. Mereka bisa bermain kucing-kucingan sampai ke jembatan layang.

"Ge, aman?" Wira mengecek keadaan gerombolan cewek, takut terjadi sesuatu sebab sedari tadi tidak ada yang memberi informasi."

"Gak aman. Kak Vichi kehabisan anak panah dan gak ada kotak amunisi yang kelihatan."

Wira meraup wajah, khawatir. Walaupun mereka dalam mode bermain, tetap saja dia takut jika ada kesalahan sistem baru yang dapat membuat mereka mendapatkan luka asli. Bukannya mendoakan, dia hanya takut jika benar terjadi.

"Ya udah, hati-hati."

Dor!

Keriuhan di sisi barat membuat kedua cowok itu saling pandang. Sepertinya Vichi dan Gea sedang dalam masalah. Miky dan Wira mengangguk, lantas berlari hendak ke tempat tembakan berasal. Namun, di tengah perjalanan mereka malah dihadang oleh banyak samurai.

Miky sigap mengangkat senjata dan di saat itu juga layar hologram dari lensa matanya memberikan informasi bahwa Vichi dan Gea telah gugur. Cowok itu mendesah panjang, senapannya tak jadi menyemburkan peluru.

"Mik, tembak."

Bukannya tidak peduli, dia kesulitan mendapatkan fokus menghadapi para musuh. Otaknya dipenuhi oleh Vichi dan rasa bersalah. Dia sudah meminta maaf kepada gadis itu, tetapi tak kunjung mendapat maaf. Haruskah dia mendiamkannya, memberikan ruang barang sejenak untuk berpikir? Miky tahu memaafkan tak akan mudah.

Cukup lama berdiam diri, bahkan dia tidak sadar Wira sudah sekarat di depan sana dan menghilang di menit berikutnya. Di saat bersamaan informasi lain muncul, Mahen juga telah gugur. Kini dia pasrah, membiarkan salah satu samurai melayangkan pedang ke arahnya dan game over.

Setelah keadaan kembali seperti semula, hal pertama yang menyambut adalah kemarahan Gea. Gadis berumur dua puluh tahun itu tidak peduli jika yang dimaki adalah seseorang lebih tua darinya.

"Lo sadar gak! Gue udah muak tinggal di sini sampai pengen mati aja." Gadis itu menangis sesegukan. Wira turun tangan menenangkan Gea.

Sementara itu, Vichi meraup wajah, membiarkan badannya luruh di atas ubin. "Kita semua pengen balik, Ge. Ta--"

"Apa pun yang lo rasain sekarang, gue mohon kesampingin dulu." Gea melepas rangkulan Wira dan memilih menjauh dari sana sebelum terjadi pertengkaran lebih serius.

"Lo gak papa?" Mahen mendekati Vichi, tetapi langsung ditepis gadis itu.

"Biarin gue sendiri."

🎮
(Day 15)

Udah day 15, menuju ending.

Jangan lupa berbuka dengan yang segar-segar 😆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro