Bab 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pagi ini Deva sudah dipusingkan dengan panggilan di ponselnya yang tidak berhenti berdering. Kabar tentang dirinya yang kemungkinan tertular covid-19 telah menyebar hingga terdengar ke telinga ibunya. Deva tentu tahu siapa yang memberitahu ibunya itu, sejak subuh tadi sang ibu terus menghubungi Deva walaupun dia sudah mengatakan kalau dirinya masih dalam keadaan baik-baik saja, tetapi sang Ibu terus berbicara di telepon hingga membahas masalah dirinya yang tidak ada niatan untuk pindah ke rumah sakit di Semarang, tempat ibunya tinggal.

"Ya nggak bisa lah, Bu, pindah di saat kayak gini. Naik pesawat aja ngeri," jawabnya ketika sang ibu mulai kembali membahas masalah itu.

"Kan Ibu udah nyuruh kamu pindah dari dulu-dulu. Kalau kamu di sini kan ada yang urus kalau lagi sakit."

"Kalau lagi kayak gini juga nggak ada yang boleh dekat, Bu."

"Ngeyel terus kalau dibilangin. Terus ini kamu gimana makannya? Kamu kan nggak boleh keluar rumah."

"Makan mudah, Bu. Tinggal pesan, nanti dianterin."

Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana. "Terus yang beres-beres rumah kamu siapa? Mbok kan udah berhenti kerja."

Deva memang tidak bercerita tentang Seza yang mengambil alih tugas si Mbok sekarang. "Ada Bu."

"Siapa?"

"Temen Haikal. Monika juga tahu."

"Kamu harus hati-hati ya, Le. Sekarang ini zaman susah jangan asal percaya sama orang."

Berapapun usianya Deva pasti selalu dianggap anak kecil oleh ibunya ini. Pembicaraan berlanjut ke masalah pernikahan, bagian yang paling membuat Deva ingin segera mengakhiri panggilan itu, tetapi dia tidak ingin menjadi anak yang durhaka dengan langsung menutup telepon ibunya begitu saja.

"Kalau kamu udah nikah kan ada yang urus toh, Le. Memangnya nggak ada apa dokter atau perawat yang mau sama kamu di RS?" tanya ibunya.

"Deva kan udah bilang nggak mau nyari yang profesinya sama, Bu."

Ibunya berdecak kesal. "Sayang Monika udah nikah."

"Bu..." tegur Deva. Deva malas membahas masalah ini, kemudian dia berusaha untuk mengakhiri panggilan itu dengan berbagai macam alasan.

"Kamu tuh ya, udah jarang nelepon Ibu, tiap Ibu nelepon selalu mau kamu matiin. Ya Mbok ibunya ini ditengok."

"Nanti ya Bu, nunggu kondisi udah terkendali, Deva pulang ke Semarang."

"Bawa calon istri. Bosan Ibu lihat kamu dateng sendiri terus."

Deva tidak menanggapi kalimat ibunya itu dan segera mengakhiri panggilan. Setelahnya dia menghela napas, usianya sudah 33 tahun, kariernya juga bagus. Teman-temen seangkatannya semua sudah menikah, hanya dirinya yang masih betah sendiri. Entah karena memang belum menemukan orang yang tepat atau masih dihantui trauma masa lalu.

Deva kembali fokus pada ponselnya, iseng mengirimkan pesan kepada Seza. Entah kenapa dia seperti miliki teman baru, mungkin karena mereka berdua sering bertukar pesan. Apalagi bahasa Seza yang menanggapi Deva tanpa canggung.

Deva : Bosen ya di rumah.

Satu pesan yang dikirimnya mendapat jawaban beberapa menit kemudian. Beberapa kali Deva menyunggingkan senyum membaca balasan Seza. Perempuan itu bercerita tentang dirinya yang menyukai drama Korea gara-gara bosan di rumah selama pandemi ini.

Deva jadi penasaran dan ingin bertemu langsung dengan Seza, mengingat selama sebulan ini mereka hanya bertukar pesan saja.

Akhirnya Deva mengajak Seza untuk bertemu kalau hasil testnya negatif. Untunglah Seza menyetujuinya. Sudut bibir Deva tertarik membentuk senyuman. Rasanya dia tidak sabar menunggu lusa datang.

*****

"Kata Mas Haikal, Mas Deva kemungkinan nggak kena Covid, tapi nggak tahu ya. Karena gejalanya beda sih," cerita Indri. Saat ini Seza dan Indri sedang berbicara lewat telepon. Ya, hanya cara ini yang bisa mereka lakukan untuk tetap berkomunikasi. Keduanya masih takut kalau harus bertemu atau bahkan nongkorong di restoran.

"Dokter Deva ngajak ketemu kalau hasil testnya negatif. Gue berharap negatif, tapi kok jadi deg-degan mau ketemu dia," Seza menyuarakan ketakutannya.

"Deg-degan kenapa? Ketemu orang ganteng tuh seneng kali."

"Takut aja. Selama ini kan gue suka nulis aneh-aneh di post it. Apalagi yang waktu gue tempel di kasur dia. Siapa tahu dia ketemu gue mau bahas itu."

"Negatif aja sih pikirannya. Lagian kalau dia nggak suka sama cara lo, kayaknya lo udah dipecat dari dulu-dulu, deh."

Seza membenarkan ucapan Indri. Namun, dia juga masih bingung kenapa Deva mau bertemu dengannya. Bukannya lebih bagus kalau mereka tetap seperti ini. Toh dia cuma seorang pembantu untuk Deva.

"Ya ampun gue kangen banget sama cowok gue, Za!" keluh Indri. Sepertinya ini keluhan yang entah sudah berapa kali didengar Seza. Indri memang menjalin hubungan jarak jauh dengan pacarnya. Biasanya mereka bisa bertemu dua minggu atau sebulan sekali. Namun, lagi-lagi karena corona ini mereka tidak bisa bertemu dan itu sudah berlangsung berbulan-bulan.

"Lo tahu nggak berapa banyak orang yang depresi karena nggak bisa ketemu pacarnya kayak gue gini?"

"Nggak tahu, gue nggak ngitungin," jawabnya asal.

"Ishhh. Lo banyangin nggak betapa frustrasinya gue nggak bisa meluk bahkan ciuman sama pacar gue. Astaga rasanya gue mau gila!" keluh Indri lagi.

"Emang harus banget ya ciuman sama pelukan?"

Indri berdecak kesal, Seza ini memang tidak tahu apa-apa tentang hubungan percintaan. "Sezaaaa astaga!!! Makanya punya pacar dong."

"Hm... masa alasan gue punya pacar cuma karena mau ciuman!"

Indri menghela napas, sebagai sahabat tentu saja Indri tahu kalau selama hidupnya Seza tidak pernah menjalin hubungan, itu kenapa temannya ini terlihat polos sekali untuk masalah seperti ini. "Gini ya Za, ciuman dan pelukan itu bisa menghilangkan stres, itu cara mengutarakan rasa sayang. Semakin sering dilakukan bisa membuat hubungan semakin erat. Dan satu lagi."

"Apa?" tanya Seza.

"Bisa meningkatkan sistem imun."

"Ngaco ih!"

"Ih nggak percaya. Makanya rajin baca!" seru Indri.

"Ogah banget gue baca gituan. Bayanginnya aja geli.

"Yah lo sih belum ngerasain aja. Awas ya kalau nanti nagih."

"Apaan sih, Ndri. Bahasannya gini banget. Udah ah gue mau siap-siap tidur, udah malem nih. Telepon pacar lo aja, kan katanya kangen."

"Dia lagi shift malem. Lo pikir kenapa gue nelepon lo kalau dia lowong, gue pasti nelepon dia lah," jawab Indri sewot.

Setelah panggilan itu diakhiri. Seza bersiap untuk memejamkan mata, tetapi matanya kembali terbuka saat mendengar ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk dari Deva, laki-laki itu mengirimkan foto kertas hasil pemeriksaannya.

Dokter Deva : Negatif

Seza langsung mengucap syukur dan mengetikkan balasan di sana.

Seza : Alhamdulillah.
Kayaknya dokter cuma demam karena kecapekan. Hasilnya lebih cepet keluar dari perkiraan ya.

Deva : Iya.
Besok kamu masuk seperti biasa ya. Tenang aja rumah nggak saya berantakin.

Seza : Hehe, siap, Dok.

Deva : Sampai ketemu besok, Seza.

Membaca pesan itu entah kenapa membuat jantung Seza berdetak lebih kencang.

******

Pagi ini Deva bangun dengan suasana hati yang baik, hasil testnya negatif, artinya dia bisa beraktivitas seperti biasa. Deva salut dengan orang-orang yang mampu bertahan untuk di rumah saja, karena jelas dia merasakan kebosanan. Namun, semua itu tentu harus dilakukan untuk kebaikan bersama.

Deva masuk ke kamar mandi lalu mengecek tampilannya di cermin. Rambut-rambut disekitar rahangnya sudah bertumbuh, Deva langsung mengambil alat cukur untuk membersihkannya. Dia harus tampil rapi hari ini.

Setelah selesai membersihkan diri Deva berpakaian dan turun ke dapur untuk menyiapkan sarapan untuk Seza. Hanya roti panggang karena dia tidak terlalu pandai memasak. Anggap saja ini sebagai ungkapan terima kasih karena selama karantina Seza yang menyiapkan makanan untukknya.

Setelah selesai menyiapkan sarapan Deva menunggu kedatangan Seza di meja makan. Sesekali dia melihat layar ponselnya menunggu sesuatu walaupun tidak ada pesan apapun di sana. Belum ada.

******

Seza memacu mobilnya menuju rumah Deva, sepanjang perjalanan Seza berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Berbeda dari pagi-pagi sebelumnya, pagi ini entah kenapa dia berdandan hanya untuk bekerja membereskan rumah Deva.

Kenapa dia jadi ingin tampil rapi? Apa ada hubungannya dengan janji temunya dengan Deva?

Begitu sampai di rumah Deva, Seza melihat sesuatu yang ganjil. Dia segera masuk ke rumah laki-laki itu. Rumah itu sepi seperti hari-hari sebelumnya. Namun saat memasuki dapur Seza melihat segelas susu dan setangkup roti panggang yang tersaji.

"Apa dokter Deva di kamar, ya?" gumamnya.

Pertanyaannya itu terjawab ketika ponsel Seza berdering, menandakan satu pesan masuk.

Dokter Deva : Saya harus ke RS ada panggilan. Itu sarapan buat kamu, dihabiskan ya.

Pantas saja Seza tidak menemukan mobil Deva terparkir di carport. Ternyata laki-laki itu tidak ada di rumah. Ada rasa aneh yang menjalari hatinya. Namun, melihat makanan yang tersaji di meja makan membuat hatinya menghangat.

*****

Hahahha sabarrrr

Happy reading...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro