Enam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Raffa duduk di kursi kebesaran Fatur. Cowok itu menaik turunkan alisnya seraya tersenyum, "Raffa tahu Raffa ganteng, please, Pa! Gengsi dong, masa Papa lihatin Raffa terus."

"Raffa, Papa minta kamu cek pembangunan sama Deva itu, kamu yang ngurus, bukannya malah Deva. Kamu diem di mobil, udah kayak supir tau, gak?"

Raffa bercerita pada Fatur soal pengecekan tadi. Raffa sengaja mengatakan itu agar ia terbebas dari pekerjaan kantor yang membuat otaknya mumet.

Kan siapa yang tahu Fatur menyerah dan membiarkan Raffa mencari pekerjaan sendiri.

"Wah boleh deh, Pa. Raffa gak papa jadi supir, tapi digaji, 'kan?"

Fatur menghela napasnya pelan, "Raffa, anak ganteng Papa, kamu itu udah besar."

"Akhirnya setelah sekian lama Papa muji Raffa ganteng. Udah gak gengsi lagi, pa?" tanya Raffa seraya tertawa.

"Jangan geer kamu, Raffa! Papa mau kamu ngerti, Papa gini juga buat kamu juga. Suatu hari nanti, kamu bakalan nikah, punya anak. Kalau kamu gini terus, anak kamu sama Isteri kamu mau kamu kasih makan apa?"

"Nasi."

Fatur mengusap wajahnya kesal. "Iya! Bener! Emang bener kasih makan nasi, duit buat beli berasnya dari mana?!" tanya Fatur yang terlampau kesal.

"Kerja, digaji, Papa kan mau angkat Raffa jadi supir."

Fatur menghela napasnya lagi. "Raf, Papa udah tua—"

"Allhamdulillah Papa sadar!"

"Arghh!" Fatur dengan gemas mengepalkan kedua tangannya di depan wajah Raffa.

Raffa beranjak, cowok itu menarik Fatur dan menyuruh Papanya duduk. Tangan Raffa tersimpan di pundak Fatur dan memijatnya. "Enak, Pa? Raffa bisa jadi apa aja, jadi OB bisa, jadi supir bisa, jadi Tukang Pijet juga Raffa bisa. Hebat kan?"

Raffa beralih memijat kepala Fatur.

"Iya, di situ." Fatur memejamkan matanya menikmati pijatan putranya.

Deva yang sedari tadi melihat perdebatan Raffa dan juga Fatur menggeleng pelan.

Ada-ada saja tingkah dua orang itu. Sebentar bertengkar, sebentar lagi akur. Aneh.

***

"Assalamualaikum, Lily … Main, yuk!"

Raffa berdiri di depan rumah Lily seraya mengetuk pintu.

Tak lama, pintu rumah Lily terbuka. Di depannya sekarang, ada Rizki—Papanya Lily yang berdiri menatap ke arah Raffa.

"Lo ngapain ke sini pake jas gitu? Mau pantomim?" tanya Rizki heran.

Raffa menggeleng, "Mau sulap."

"Oh, gak terima pesulap. Sana pulang." Rizki hendak menutup pintunya lagi. Namun, Raffa menahannya.

"Om! Raffa ke sini mau minta Lily lamar Raffa! Dia harus tanggung jawab, lihat perut Raffa buncit." Raffa mengusap perutnya sendiri.

Rizki melotot, tangannya refleks menyentuh perut milik Raffa. "Kamu hamil?"

"Bukan, Raffa kebanyakan makan tadi."

"Gak bagi-bagi. Lo tau? Di sini makan cuman nasi pake garem doang, Mamanya si Lily gak cari nafkah," ujar Rizki sedih.

Raffa tertawa, Raffa dan Rizki sudah cocok menjadi sepasang mertua dan menantu bukan?

"Papa, ngomong sama siapa … Raffa? Ngapain ke sini? Gak nerima pengemis. Ayo, Pa, masuk."

"Heh!" Raffa menahan pergelangan tangan gadis itu.

Rizki menatap mereka bergantian. "Ly, dia bukan pengemis. Pesulap katanya," bisik Rizki.

"Ayo masuk ke dalem, gak enak ngobrol sambil berdiri," ujar Rizki. Pria itu memilih masuk ke dalam rumahnya setelah itu.

Raffa tersenyum menatap Lily yang tengah memasang wajah jutek ke arahnya.

Tangan Raffa terulur mencolek dagu gadis itu. "Cemberut terus ih, gengsi dong masa gue ke sini gak disambut sama senyuman lo."

"Apaan sih, alay lo!"

"Gak papa, alaynya sama lo doang. Aduh, jadi malu!" Raffa menutup wajahnya sendiri.

Lily tertawa, tangannya terulur mendorong pundak Raffa dengan kesal.

"Apaan sih, sok imut!"

"Tapi gue emang imut, kata Mama gue, waktu masih kecil gue gemesin banget. Bersyukur banget deh gue kalau punya anak kayak gue." Raffa tertawa pelan.

Lily menggeleng, gadis itu menarik Raffa agar masuk ke dalam rumahnya. Saat sampai di ruang tamu, Lily menyuruh Raffa duduk.

"Mau minum apa?"

"Gak usah deh, gue minum air liur gue sendiri juga kenyang."

"Raf! Gue serius."

"Mau gue seriusin? Kapan? Yaudah nanti gue ajak Nyokap sama Bokap ke sini ya." Raffa mengacak puncak kepala Lily pelan.

Raffa mengajak Lily duduk bersamanya. Cowok itu meraih ponsel miliknya, kemudian menyandarkan kepalanya pada bahu Lily.

"Senyuuum!" Raffa mengarahkan ponselnya pada mereka.

Cekrek!

"Raffa!"

"Diem! Gue mau sombong nih sama Papa Geer." Raffa mengotak atik ponselnya dan mengirimkan foto dirinya dan juga Lily pada Fatur.

Setelah itu, Raffa mematikan ponselnya. "Ly, kata Boby lo ngambek. Ngambek kenapa? Kok gue gak tau? Lo aneh nih, ngambek bukannya bilang sama gue malah bilang sama orang lain."

"Gue sebagai cowok lo merasa—"

"Lo bukan cowok gue." Lily memotong ucapan Raffa.

Raffa mengangguk, "Yaudah, ganti. Gue sebagai calon suami lo merasa di duakan! Gue gak terima, lo—"

"Lo bukan calon suami gue."

"Wah! Minta di sidang nih orang, udah jelas-jelas, yang mau sama lo cuman gue doang. Gengsi dong, masa Anak gantengnya Mama Dena ditolak?"

Lily mencubit pipi Raffa dengan gemas. Gadis itu tertawa, "Raf, lo pulang dari Amerika kejedot patung Liberty atau gimana? Kenapa jadi cerewet banget sih?"

"Yaudah, gue mau jadi cool boy nih." Raffa berdehem pelan.

Cowok itu melipat kedua tangannya di dada, kemudian bersandar pada sofa. Wajahnya terlihat datar seraya menatap Lily.

"Raf?" panggil Lily.

"Hm."

"Lo marah?"

Raffa berdecak pelan. "Nggak! Gue mau jadi cool boy."

Lily menganga tak percaya. Tangannya terulur menyentuh kening milik Raffa. "Gak panas."

"Nggak, yang panas hati gue kalau lihat lo jalan sama cowok lain."

"Dih, yang ada … lo yang jalan sama cewek lain. Kayak tadi …."

"Deva? Itu mah sekretarisnya Papa. Tadi gue dihukum sama Papa ngecek pembangunan, Lily!" ujar Raffa gemas.

Tangan Raffa terulur mencubit hidung Lily dengan gemas. "Lo cemburu?"

"Nggak!"

"Yah, hati gue sakit deh."

"Alay lo!"

Raffa tertawa pelan. Ia sudah berjanji pada dirinya, ia akan membuat Lily tersenyum setiap saat.

Raffa tak mau kejadian masa lalu kembali terulang.

"HIDUP ACIL!"

TBC

Hallo! Gimana kabarnya? Ada yang kangen sama Raffa?

Kesan setelah baca part ini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro