Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

5. TUYUL

"Raffa! Balik ke kantor!"

Raffa meringis pelan kala mendengar suara Fatur di seberang sana. Cowok itu melirik ke arah Lily yang sibuk memainkan ponselnya.

"Hallo, Pa! Aduh muka Raffa jelek! Eh … salah, sinyalnya jelek. Nomor yang anda tuju sedang … tut … tut …." Raffa dengan segera mematikan sambungannya.

Ia kembali fokus menyetir.

"Kabur lagi kan, lo?" tanya Lily seraya meletakkan ponselnya ke dalam tas miliknya.

Raffa menggeleng, "Pantang kabur sebelum dapet duit, gengsi dong, masa Anak ganteng kabur."

Tapi bener sih, gue kan emang kabur, batin Raffa.

Ponsel Raffa kembali berdering. Saat Raffa akan meraihnya, Lily buru-buru mengambil dan mengangkatnya.

"Hallo, Om."

"Ini siapa? Lily? Lily, bilang sama Raffa, balik ke kantor. Pacar kamu itu susah banget dibilangin, kerjaannya ngerusuh terus dari kemarin."

Lily menatap Raffa tajam. Gadis itu menendang kaki Raffa dengan kesal.

"Anjir!" pekik Raffa.

"Iya, Om. Raffa Bentar lagi balik."

Setelah Lily mengatakan itu, Fatur memutus sambungan teleponnya. Pria itu sepertinya tengah kesal sekarang.

"Gak kabur?" tanya Lily.

Raffa menggeleng, "Nggak, gue … gue itu tadi … anu … cuman …."

"Anter gue pulang sekarang, terus lo balik lagi ke kantor. Gue gak mau ya punya calon suami pemales kayak lo."

Raffa mendengkus kesal. Cowok itu memilih melajukan mobilnya tanpa menjawab apa-apa.

Mobilnya berhenti tepat di depan rumah Lily.

"Awas, balik lagi ke kantor," pesan Lily.

"Iya, bawel lo."

Lily menyimpan ponsel Raffa ke tempat asal. Setelah itu, Lily turun. "Semangat!"

"Nggak! Gue gak senyum, gue gak bakalan senyum cuman gara-gara disemangatin sama mantan," kata Raffa.

Namun, tak lama setelahnya, bibir Raffa tertarik membentuk sebuah senyuman.

"Najis, katanya gak senyum. Itu apaan?"

"Ya … suka-suka guelah, gengsi dong, masa lo ngatur-ngatur?!"

Lily tertawa, gadis itu akhirnya memilih berjalan memasuki rumahnya.

Raffa menghela napas pelan. "Apaan sih Papa Geer? Pake segala ngomel-ngomel, kayak gak pernah muda aja."

***

"Siang, Pak Raffa."

"Enak aja! Gue bukan Bapak-Bapak!" Raffa masuk ke dalam ruangan Fatur setelah mengomeli beberapa karyawan yang menyapanya.

Cowok itu duduk di sofa, "Pa, kenapa, sih?" tanya Raffa.

"Dari mana aja, kamu? Jam segini Baru sampe. Meeting udah selesai!"

Raffa tercengir lebar, cowok itu kembali beranjak, "Berarti, Raffa boleh pergi lagi?"

Fatur memijat kepalanya yang terasa pusing. Semakin besar, Raffa bukannya semakin mengerti.

"Pak, setelah ini kita akan mengecek salah satu pembangunan di daerah—"

"Kamu pergi sama Raffa aja, Dev."

Raffa berdecak pelan, cowok itu menggeleng. "Mending kita bangun rumah tangga aja, Dev," sahut Raffa.

"Jangan macem-macem kamu, Raffa!" Fatur melotot.

Raffa tertawa, cowok itu akhirnya menarik pergelangan tangan Deva. "Ayo, cus! Kita nonton sirkus," ajak Raffa.

Deva melotot, gadis itu pasrah ketika dirinya diseret keluar oleh Raffa.

Seisi kantor menatap kaget ke arah Raffa dan juga Deva. Ada yang berbisik-bisik, ada yang menatap dari pertama keluar ruangan sampai keluar kantor, dan banyak lagi.

"P-Pak, gak enak."

"Lo gak makan apa-apa, apanya yang enak? Bajigur?" tanya Raffa kesal.

Deva menghela napasnya. Raffa masuk ke dalam mobil, cowok itu menyuruh Deva ikut masuk.

Saat di dalam mobil, Raffa tidak langsung melajukan mobilnya. "Lo tau gak, tadi yang duduk di situ pacar gue, gue jadi merasa berdosa sekarang. Kayak lagi selingkuh rasanya, masa sehari udah ada dua anak gadis yang duduk di situ?"

"Lo pindah ke atas sana, biar terbang lo sekalian. Leher lo iket pake sarung, biar waktu mobil maju, lo kayak superman mau terbang," sambung Raffa.

"S-serius, Pak?" tanya Deva kaget.

Fatur saja tidak sekejam itu.

Raffa menggeleng, "Bercanda."

Raffa melajukan mobilnya. Deva sedari tadi hanya diam menatap lurus ke depan.

"Dev, cewek sukanya apa? Cewek suka gue gak?" tanya Raffa.

"Nggak, Bapak aneh."

"Woi! Lo kata gue bapak lo? Panggil Gue Raffa," teriak Raffa yang sontak membuat Deva kaget.

Gadis itu dengan cepat mengangguk. "I-iya."

"Tadi lo bilang, gue aneh? Berarti gue limited edition? Wah, gue aneh." Raffa terkekeh pelan.

Deva mengedik ngeri, jangan sampai jodohnya memiliki sikap seperti Raffa. Tidak cocok sekali dengan dirinya yang kalem.

Raffa menghentikan mobil ketika ia mendapati lampu merah.

"Om, ini jok empuk banget."

"Asstagfirullah." Raffa sontak menoleh ke belakang.

Cowok itu membelakan matanya kala mendapati anak kecil, yang hanya mengenakan kolor berwarna putih. "Buset, ini anak tuyul kenapa di sini?" gumam Raffa.

"Gue denger, Om."

"Lo masuk lewat mana?" tanya Raffa.

"Lewat pikiran keluar dari hati."

Raffa menganga, "Tuyul bucin."

Deva hanya memperhatikan saat Raffa berbicara sendiri. Ia sudah tahu perihal Raffa yang memang bisa berbicara dengan makhluk seperti itu.

Fatur yang memberi tahunya.

"Om, minta duit dong."

"Baru kali ini gue ketemu Tuyul sopan, beut. Biasanya juga asal ngambil." Raffa mengeluarkan uang seribu di dalam dompetnya.

Cowok itu memberikannya pada si Tuyul, "Nih, ambil."

"Baik bener. Gue diajarin sama Om Ocong, katanya gak boleh nyuri, kalau ada orangnya harus izin."

"Bagus, kalau orangnya lagi gak ada?" tanya Raffa.

Tuyul itu tercengir lebar, "Bawa aja, Sayang, Rezeki gak boleh ditolak."

"Sama aja itu namanya nyuri, ontohod!"

Raffa memilih melirik ke arah lampu merah. "Lama banget," gumam Raffa.

"Dev, lo gak takut liat gue ngomong sendiri?" tanya Raffa.

Deva menggeleng.

***

Raffa menguap menunggu Deva yang masih mengobrol dengan mandor. Cowok itu memilih masuk ke dalam mobil dan meraih ponselnya.

Tak lama, panggilan vidio grup, masuk.

Raffa mengangkatnya.

"Anjir, Bob, di hp gue muka lo mirip spiteng."

"Sialan! Bukannya Assalamualaikum, atau apa malah ngatain!"

"Gak papa, Raf, si Boby emang pantas dinistain kayak gitu," sahut Lily di seberang sana.

Raffa tertawa pelan. Ia sangat senang sekarang. Baru kali ini mereka melakukan hal ini bersama lagi.

Boby, Bintang, Raffa, dan juga Lily, rasanya Raffa rindu dengan kebersamaan mereka.

Saat masih kecil, dan belum mengerti apa itu cinta, semuanya terasa begitu indah.

"Sinilah main ke Bandung," ujar Bintang.

"Boleh, tuh. Tang, gue ikut kerja di situ ajalah, pusing gue di sini. Masa gue disuruh temenan sama kertas," kata Raffa.

"Heh! Gengsi dong, masa Anak orang kaya ikut kerja ke orang," sahut Boby.

"Heh berisik lo! Yang kaya bokap gue, kalau gue kayak Ariel Noah."

"Najis!"

"Pak, udah."

Raffa menoleh, cowok itu mengangguk, "Udah? Yaudah, kita pulang."

Raffa kembali mengarahkan wajahnya pada ponsel. "Gue udah dulu, ya? Mau balik."

"Lo lagi sama siapa, Raf?" tanya Lily.

Raffa mengarahkan ponselnya pada Deva. Saat itu juga, Lily mematikan sambungannya.

Tersisa Bintang, dan juga Boby di sana.

"Parah lo, Lily ngambek!"

TBC

Hallo? Gimana kabarnya? Semoga suka yaa…

Mau tanya dong, harus dijawab nih. Kalau cerita Gengsi dong yang pertama terbit, kalian mau beli gak?

See you!

Follow instagram Octaviany_Indah. Yaaaa

Raffa Mahendra

Lily Putri Anshari

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro