Poor Chanyeon

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jelaslah tertegun akan pengungkapan Chanyeon barusan. Itu berhasil membuat jantung Diana mencelus. Tapi, tunggu, satu manusia di hadapannya suka sekali berkelakar, ia tidak mau dibodohi, langsung percaya begitu saja.

Kemudian dengan atmosfer harap-harap cemas tengah menyusupi Chanyeon, Diana perlahan memberanikan diri menimpali tatapan mata rapper EXE itu.

"Ya! Ada apa denganmu? Apa kau sedang ngelindur? Atau malah mabuk, Oppa?" cibir Diana.

Chanyeon belum menjawab, memilih menikmati wajah di hadapannya yang mencibirnya barusan. Dadanya berasa ngilu, perihal ia tidak menemukan tatapan bola mata cokelat Diana yang juga mengesan perasaan yang sama dengannya.

Ah, seharusnya ia tak boleh berharap apa pun memang. Faktanya, ia sudah jelas tahu jika Diana sedang mencintai lelaki lain. Nekat mengungkapkan perasaannya, jelaslah harus terima resiko mutlak untuk patah.

"Aku tidak sedang ngelindur ataupun mabuk, Anna. Barusan itu murni dari lubuk hatiku, tapi tidak usah kau ingat omonganku barusan, anggap saja hanya derau. Aku tidak menuntut apa pun. Lupakan," balas Chanyeon, mengakhiri dengan tertawa canggung.

Jantung Diana mencelus lagi; antara percaya dan tidak dengan kenyataan yang ia dapat dari mulut lelaki jangkung di hadapannya yang kini tengah tertawa aneh, kentara dipaksakan itu. Namun, kecewa juga perlahan menyusup, perihal kenapa lelaki itu bisa pasrah begitu saja setelah nekat mengungkapkannya. Padahal juga menginginkan ... ah, lupakan!

"Bawakan saja softdrink untuk kami, Anna, karena kami sudah membeli corn dog mozarella. Dan ya, kami membelinya yang halal, Kyung dan Bae menginginkan kau bergabung untuk memakannya bersama," jelas Chanyeon tergesa dengan nada menahan gugup.

"Oh, baik," singkat Diana.

Chanyeon mengulas senyum tipis untuk mengakhiri percakapannya dengan Diana sebelum beringsut pergi.

"Oppa! Tunggu!" panggil Diana.

Berhasil membuat Chanyeon menghentikan langkahnya. Melengok. "Hmm?"

"Gomawo," terima kasih Diana.

Belum paham terima kasih perihal apa, Chanyeon mengerutkan keningnya samar.

"Atas jaket denimmu itu," singkat Diana, "Oh, aku akan segera mengembalikannya." Tergesa berbalik untuk mengambil, tapi tertahan dengan Chanyeon gesit menahan dengan suaranya.

"Tidak usah, Anna. Lagian kau besok akan mencucinya."

Diana menengok. "Oh, iya. Tapi ada jepit rambutnya. Aku akan mengambil dan mengembalikannya padamu," sahutnya, hendak beringsut pergi, tetapi tertahan oleh suara bass Chanyeon yang menahannya lagi.

"Tidak usah, Anna. Itu untukmu."

Lagi. Diana menengok. "Untukku?"

"Hmm. Aku lelaki, tidak mungkin memakai jepit rambut seperti itu. Lebih baik untukmu, dipakai olehmu, kau bagus me ...." Chanyeon tergesa mengambangkan omongannya perihal hendak mengatakan "kau bagus memakainya .... dan manis". Berakhir dengan tersenyum canggung.

Sekalipun omongan Chanyeon tidak terucap sempurna, Diana maksud apa yang hendak lelaki itu katakan, berhasil membuat kedua pipinya memanas sebab malu. Ah, dasar!

Tak berselang lama, Diana memilih mengangguk pelan saja.

"Anna ..."

"Hmm?"

"Sungguh, lupakan pengungkapanku beberapa saat lalu, anggap saja itu hanya derau. Maksudku, aku tidak mau kau berubah sikap kepadaku. Tetaplah bersikap seperti sebelumnya, ketika kau tidak tahu tentang itu, Anna," pinta Chanyeon mendapati sikap Diana yang kentara berubah, menjadi canggung kepadanya, layaknya dirinya yang menjadi rikuh walau tetap ada rasa plong di dada.

Diana masih bergeming tidak paham akan pola pikir lelaki satu ini, perihal menginginkan pengungkapan lelaki itu hanya derau semata yang harus segera ia lupakan. Kesal, ingin sekali mendecak, memaki untuk seharusnya tidaklah mengutarakannya sekalian, bagaimana pun ini tetap menjadi beban pikiran untuknya; tentang ia juga memiliki perasaan yang sama dan ia tidak bisa apa-apa untuk semua ini.

"Baik. Tidak perlu khawatir, Oppa." Bibir kenyal Diana akhirnya mencakap begitu, disusul ulasan senyum.

***

"Makanan apa yang sekarang ngetren di kotamu, Di? Besok jika aku ke kotamu itu, aku akan memaksa kau untuk membelikannya untukku," celoteh Bae Hyun, tertawa renyah.

Diana yang duduk di sofa yang bersampingan dengan sofa yang ditempati Bae Hyun, menyempatkan menjawab sebelum melahap corn dog mozarella di sebelah tangannya.

"Seblak. Itu makanan khas kotaku dan sedang ngetren di kota-kota lain se Indonesia, pedas dan kaya akan rempah-rempah, pokoknya lezat sekali. Jika kau berkunjung ke kotaku, jangan sungkan untuk menghubungiku, Oppa. Kebetulan kakak perempuanku juga mempunyai kedai khusus untuk menjual itu, aku akan mentraktirmu."

"Aku juga mendaftar, Di," nimbrung Kyung Seo sembari mengangkat sebelah tangannya.

Edaran mata Diana perlahan ke arah Kyung Seo di sebelah Bae Hyun. "Tentu, aku juga akan mentraktirmu, Oppa. Jangan khawatir."

"Aku juga, Anna." Chanyeon yang malah duduk lesehan di karpet beludru, ikut mengajukan diri.

"Untukmu pengecualian, Oppa," jawab Diana enteng, berkelakar dengan tampang serius.

"Wae? Bae dan Kyung saja ditraktir, kenapa aku tidak?" cicit Chanyeon dengan muka tertekuk menatap Diana yang mulai menggigit corn dog mozarella.

Bae Hyun dan Kyung Seo menatap bergantian Chanyeon dan Diana, menunggu respon apa selanjutnya.

"Karena kau sudah menyusahkanku untuk tinggal di rumah ini, maka aku malas mentraktirmu," cecar Diana sembari menguyah lamban.

Chanyeon membrengut. Bae Hyun dan Kyung Seo tersenyum geli.

"Benar, Di. Aku setuju, jangan berbaik hati kepada Chan, dia sudah banyak menyusahkanmu," hasut Bae Hyun.

"Ya! Bae Hyun!" Langsung tersambar cibiran Chanyeon seraya melontarkan tusuk corn dog mozarella miliknya ke paha Bae Hyun yang terbalut jeans.

Bae Hyun tertawa bahak. Kyung Seo tersenyum kalem. Diana mengamat senang ke arah Bae Hyun yang sudah membelanya sembari asyik mengunyah.

Merasa tidak mempunyai pembelaan sedikitpun, Chanyeon mencecar Bae Hyun yang belum jengah tertawa lepas.

"Diamlah, Bae! Apakah kau mau dimarahi orang gila, heh?!"

"Orang gila? Mana? Ayo cepat marahi aku!" decak Bae Hyun, meledek terus.

Dengan muka terkurung sebal, Chanyeon beralih mengedar ke Kyung Seo, memerintah seenak jidat. "Cepatlah marahi Bae, Kyung!"

Titah Chanyeon barusan itu berhasil membuat senyum Kyung Seo pudar, berubah mendeliki Chanyeon karena telah memerintah demikian yang menjelaskan, jika si orang gila yang dimaksud tak lain adalah dirinya sendiri--Kyung Seo.

Seketika Bae Hyun tertawa bahak lagi. Chanyeon pun terpingkal-pingkal hingga tak sadar menaboki meja. Diana hampir tersedak makanan di mulutnya karena kaget polah Chanyeon memerintah Kyung Seo--si orang gila termaksud.

Sesaat ke depan, tawa Bae Hyun dan Chanyeon perlahan pudar oleh dering ponsel Diana.

Segera Diana menilik ponsel yang ia taruh di bagan sofa sebelah pahanya persis yang terbalut celana legging. Mengamat siapa si penelepon, undur diri untuk mengangkat telepon itu.

"Assalamu'alaikum, Di ...."

Suara tenor pembuka telepon itu masih bisa Chanyeon dengar samar saat Diana sudah mengangkatnya sembari berjalan menjauhi ruang keluarga. Tawanya hilang sempurna. Lempengan sebelah tangannya yang menaboki meja berubah kepal. Aura wajah semringahnya membrengut. Dadanya sesak oleh cemburu yang berlebihan perihal akan suara tenor itu yang tak asing di telinganya; suara tenor yang dulu ia curi dengar saat si pemilik suara itu menelepon Diana.

Tak lain sunbae yang sedang ditaksir oleh Anna-ku.

Anna-ku? Uh, sejak kapan dirinya tetiba menghak milik Diana dengan sebutan Anna itu ditambah imbuhan kepemilikan "ku" ini, padahal baru saja ia mengungkapkan perasaannya yang berakhir patah.

Ya! Bukankah ini sah-sah saja ketika dirinya hanya menghak milik lewat batas khayal, layaknya para penggemarnya yang mayoritas perempuan dan kerap mengilusi dirinya sebagai pacar atau malah suami mereka, eh ... atau justru selingkuhan.

Bukankah ini sah-sah saja, eoh?

Chanyeon menengok dan mendapati punggung Diana semakin jauh dari arahnya. Suara dari seberang telepon Diana pun sudah tidak lagi bisa dicuri dengar oleh telinganya yang bercuping caplang. Cemburu masih saja menyesaki dadanya.

Pikiran dan perasaannya terus terkurung kalut dengan Bae Hyun dan Kyung Seo yang sudah tidak lagi peduli akan apa pun selain memakan corn dog mozarella lagi.

Beginilah nasibnya. Pada akhirnya, Chanyeon hanya bisa diam, menerima keadaan untuk patah, lagi dan lagi. Begitu terus, entah sampai kapan.

Patah. Sepertinya akan menjadi teman akrab Chanyeon mulai saat ini. Dan demikian berhasil membuat lelaki bercuping telinga caplang satu ini membayangkan betapa perih perasaan yang harus selalu ditahannya setiap waktu.

Bisakah aku mencintaimu tanpa ada rasa patah yang mencederaiku, Anna? keluhnya pada senyap.

Tapi tak apa, sekalipun Chanyeon terkutuk untuk menyenandungkan sajak-sajak patah tentang Anna-nya di setiap waktu, itu bukanlah masalah besar. Toh, hakikat cinta adalah hanya untuk dicintai, sesederhana ini tanpa menuntut apa pun lagi--seharusnya.

Biarlah patah di dunia nyata ini. Setidaknya, ia masih diberi kesempatan untuk menghak milik Anna-nya dalam bentala khayal, sebatas ilusi yang ada.

Tidak apa. Kali ini Chanyeon mengikuti trik para penggemarnya dalam hal mencintai sesuatu yang nyata tapi terasa semu;  tak lain dengan mengilusi, yang mana bisa menghak milik tanpa perlu susah payah meminta restu, ini menyenangkan dan sederhana sekali.

Lupakan perihal ketakutan akan patah, biarkan Chanyeon bahagia menghalusinasikan Diana sebagai kekasih hatinya dengan perasaan yang sama-sama suka dan menyayangi satu sama lain mulai detik ini.

Poor Chanyeon.

_________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro