Sweetheart

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Chanyeon dan Diana sepakat mengunjungi Nyonya Jung bersama di akhir pekan, saat mereka mempunyai waktu senggang bersama.

Diana berkunjung lebih awal dari Chanyeon tatkala mentari condong ke barat, saat bayangan seseorang sama dengan tingginya.

"Kunjungan kali ini, aku akan menunjukkan kemampuan memasakku, Ahjumma. Karena itu, aku kini membawa banyak bahan-bahan memasak," jelas Diana sembari membawa kantong belanjaan yang berisi sayuran, biji-bijian, dan rempah-rempah ke dapur.

"Oh, itu ide yang bagus sekali, Nana. Ahjumma bersemangat sekali untuk membantu. Kebetulan, Ahjumma juga belum memasak untuk makan siang," riang Nyonya Jung yang melangkah beriringan dengan Diana. "Omong-omong, mau memasak apa?"

Iris mata Diana terfokus ke arah Nyonya Jung yang kini berhadapan dengannya--di sisi top table--dengan kedua tangan melamban mengeluarkan belanjaan dari kantung.

"Aku mau memasak menu kesukaanku di rumah."

"Oh, apa? Pasti sesuatu yang lezat dan jelaslah masakan Indonesia, 'kan?" selidik Nyonya Jung.

"Iya. Ini adalah salah satu sup tradisional, Ahjumma."

Nyonya Jung mengangguk sembari netranya mengamat bahan-bahan yang sedang dikeluarkan Diana dari kantong belanjaan ke top table; ada jagung manis, kacang panjang, pepaya muda, kacang tanah, wortel, tomat, asem, dan rempah-rempahan.

"Ah, Ahjumma menjadi teringat Chan. Dia juga suka memasak. Andai kita bertiga bisa memasak bersama, pasti akan lebih seru," curhat Nyonya Jung, tiba-tiba teringat anak semata wayangnya.

Berhubung Nyonya Jung belum diberi tahu perihal Chanyeon juga hendak berkunjung di siang ini, Diana tersenyum tipis saja.

"Sebenarnya akhir-akhir ini Ahjumma tengah menimang-nimang mempertemukan kalian dalam waktu dekat, tapi apakah kau mau, Nana?"

Diana yang kini tengah mencuci sayuran di wastafel menyahut, "Hmm, jangan sungkan, Ahjumma. Asalkan dia bersedia bertemu denganku, aku mau-mau saja."

"Baiklah, Ahjumma akan menghubungi Chan nanti untuk mengobrolkan tentang ini. Mencari waktu yang tepat ketika kalian berdua mempunyai waktu senggang yang sama, membuat janji temu." Nyonya Jung bersemangat sembari mulai menguncir rambut hitamnya yang hanya sebahu.

Masih mencuci sayuran, Diana memilih menyahut singkat, "Baik, Ahjumma."

"Chan pasti akan sangat senang akhirnya bertemu denganmu. Kau tahu, dia sangat menyayangimu hanya lewat cerita-ceritaku. Jika akhirnya kalian bertemu, saling mengenal nanti, mungkin kapasitas sayangnya akan berlipat ganda." Nyonya Jung tertawa kecil. Mengkuncir rambutnya selesai.

Sejemang, Diana termenung, serebrumnya tetiba mencari sebuah jawaban perihal sebuah tanya yang mendadak hadir.

Mungkinkah dia menyukaiku karena ini? Seperti halnya aku menyukainya lewat dia yang menjadi perantara bertemu Papa?

Stagnan. Melamun dalam dengan sayuran yang sudah bersih dicucinya dibiarkan terus terbasuh air dari wastafel.

Tidak ada jawaban ditemukan yang bisa dipercayai Diana. Kecuali satu kata. Mungkin.

"Karena terlampau menyayangiku, setelah kami bertemu, Chan nyaris tidak pernah tertarik dengan perempuan. Kau pasti sulit percaya, jika seorang Chan, setelah kami bertemu dulu itu, bocah itu tidak pernah memiliki kekasih satu pun dan sepertinya pula memang tidak ada perempuan yang ditaksirnya, Nana," curhat Nyonya Jung sembari mendekati Diana, mengambil alih sayuran bersih yang dianggurkan.

Memilih mendengar khidmat tanpa menyahut apa pun. Wajah Diana menengok menatap Nyonya Jung.

"Dia terlampau ingin menjaga Umma-nya yang sebenarnya sangatlah kejam ini. Menyayanginya penuh, menjadikan prioritas, hingga kadang dia lupa memperhatikan dirinya sendiri. Ahjumma pikir, jika kalian bertemu dan saling mengenal, dia bisa jatuh cinta padamu karena kau adalah perempuan yang berharga bagiku, Nana," jelas Nyonya Jung. Bukan diiringi dengan tertawa kecil lagi, tetapi dengan tatapan mendalam yang seolah-olah mengatakan kalau Diana laik untuk anaknya.

Kukuh membisu, Diana memilih pandir akan tatapan pancarona Nyonya Jung.

Sekalipun asumsi tidak valid yang ia tangkap dalam bola mata cokelat wanita paruh baya di hadapannya itu--bisa jadi--pada akhirnya benar, itu tetap tidak ada arti baginya. Sungguh tanpa makna, menilik sikap Chanyeon yang membingungkan, setelah sebuah pengungkapan terungkap di suatu malam yang cukup menyebalkan itu.

Sejemang, serebrum Diana mendadak semrawutan.

***

Dalam perjalanan ke Bukchon, Chanyeon menyempatkan membeli 2 buket bunga; lili putih dan mawar merah.

Membawa 2 buket bunga saat berkunjung siang ini sangatlah mendadak karena tetiba ia terpikir merubah skenarionya untuk berkunjung bersama Diana. Rubahan skenario yang jelaslah akan menjadi sebuah kejutan, walau Diana mungkin akan marah.

Chanyeon sudah menimang-nimang dampak perubahan skenario ini yang akan membuah ketimpangan merugikan Diana. Namun, sayangnya ia memilih egois, menjadikan perubahan skenario sepihak ini adalah sebuah kesempatan emas untuknya. Tidak peduli sejenak dengan Diana yang akan berang, mengambek besar padanya, ia memilih bebal.

Chanyeon menyeringai dengan kedua tangan kekarnya fokus pada tuas kemudi mobil, netra cokelatnya mengaura senang akan sebuah jail, ia sungguh pandir kini.

Ini adalah predestinasi! Chanyeon sungguh kejam dengan batin mengatakan demikian. Mengimpresi senang di atas katastrofe bagi Diana--mungkin.

Tidak sampai setengah jam, Chanyeon tiba di Bukchon, jelaslah tertepat di kediaman rumah hanok Nyonya Jung. Melangkah masuk dengan tangan membawa 2 buket bunga tanpa perlu permisi, menelusup mencari Nyonya Jung dan Diana, tertemu di area dapur.

"Sayur asem ini mempunyai filosofi tersendiri, Ahjumma."

Suara ringan Diana yang tampak sedang merebus air dalam panci berhasil terdengar oleh Chanyeon. Langkahnya yang tak berderap terhenti. Memilih mengintip dari balik sekat kayu antara dapur dengan ruang makan. Menyimak khidmat.

"Filosofi?" Nyonya Jung menyahut dengan terus fokus memotong kacang panjang.

"Iya. Sayur asem ini mempunyai filosofi yang mendalam."

Chanyeon mengerutkan kening. Rupanya ikut tertarik memikirkan filosofi sayur asem.

"Aigo, apa itu, Nana?" Kini Nyonya Jung menyempatkan menoleh ke arah Diana di sampingnya.

Diana menimpali tatapan Nyonya Jung yang penasaran itu. Mengulas senyum untuk kemudian menjawab, "Filosofinya adalah menggambarkan keanekaragaman, Ahjumma. Dilihat dari isi sayur asem yang beraneka macam; biji-bijian sampai sayuran yang tetap bisa menyatu dan lezat saat dimakan."

Setelahnya, Diana terkikik. Menular ke Nyonya Jung. Merambat ke Chanyeon dengan lengkungan bibir yang mendampak sebelah pipinya memamerkan lesung pipit.

Sejemang, Chanyeon mengamat senang keakraban antara Umma-nya dengan Diana. Tawa ringan yang kini tengah menyusup gendang telinganya sungguh membuat perasaannya pancarona.

Melukis senyum sekali lagi untuk kemudian membenahi letak visor topi hitam yang dikenakan, lalu beringsut mendekat ke arah 2 wanita yang disayanginya itu.

"Umma!" seru Chanyeon dengan nada bass yang ia miliki.

Nyonya Jung yang tampak mulai meneruskan memotong kacang panjang mendongak, menatap ke arah suara familiar itu. Disusul Diana yang juga melakukan hal yang sama secara otomatis, mendongak setelah berhasil menutup panci.

Sesaat ke depan, Nyonya Jung dan Chanyeon tampak saling beringsut mendekat. Berpeluk untuk kemudian Chanyeon mengecup lembut kening Umma-nya.

"Kenapa kau datang tiba-tiba, Chan?" selidik Nyonya Jung dengan mendongak menatap anak bujangnya.

"Karena anak bujangmu ini ingin memberi kejutan, Umma," jelas Chanyeon. Tersenyum lebar.

Diana sudah beralih memerhatikan masakannya. Meneruskan memotong sayuran yang tersisa.

"Aish! Kau ini!" decak Nyonya Jung sembari mencubit sebelah bahu Chanyeon yang terlapis kemeja biru laut polos.

Chanyeon mendesis kecil akan cubitan Umma-nya yang sebenarnya tidaklah sakit. Lantas memberikan sebuket bunga lili putih kesukaan Umma-nya.

"Aigo. Sudah lama kau tidak memberikan buket lili putih untuk Umma-mu ini, Chan," ujar Nyonya Jung sembari haru menerima sebuket lili putih dari anak bujangnya.

"Mianhaeyo, Umma," maaf Chanyeon.

Nyonya Jung tidak menyahut, hanya mengulas senyum untuk kemudian menciumi bunga lili putih di tangannya, terseruak rongga hidungnya akan wangi khas bunga kesukaannya itu.

"Omong-omong, mawar merah untuk siapa, Chan?" selidik Nyonya Jung sesaat kemudian, baru sadar anak bujangnya ini tidak hanya membawa satu buket bunga.

Chanyeon terbisu sejenak. Entah kenapa ia mendadak gugup. "Untuk seseorang, Umma."

Sebelah alis Nyonya Jung naik. "Seseorang? Apa kau membawa orang lain ke sini?" selidiknya, "Aigo, kau membawa kekasihmu ya ke sini? Mana? Umma sudah tidak sabar untuk diperkenalkan." Kedua mata cokelatnya berbinar cerah berlipat-lipat.

"Hmm ...." Chanyeon masih bingung bagaimana cara menjelaskan dengan baik. Malah linglung dengan menggigit bibir bawahnya.

"Mana, Chan?" Nyonya Jung sudah tidak sabaran. Hingga netranya mengedar ke sisi arah sekat kayu yang ada, mencari seseorang.

"Dia tidak datang bersamaku, Umma. Dia justru datang lebih awal dariku," jelas Chanyeon dengan jantung yang mendadak rancu.

Nyonya Jung tertegun. Netranya kembali fokus ke arah Chanyeon. Menaikkan sebelah alisnya. "Mwo? Sudah datang lebih awal?"

Chanyeon tersenyum kaku.

"M-maksudmu ...?" Nyonya Jung terbata akan ucap perihal asumsi yang baru singgah dalam otaknya.

Chanyeon mengulang senyum dengan tatapannya beringsut ke arah Diana yang kini tengah memasukkan bumbu halus sayur asem ke air yang mulai mendidih.

"Dia seseorang itu, Umma," saksi Chanyeon. Disusul Umma-nya yang menoleh ke arah Diana.

"Anna!" seru Chanyeon.

Mendengar seruan itu, otomatis sekali Diana mengedar tatap ke arah muara suara setelah berhasil memasukkan semua bumbu halus ke panci berisi air mendidih.

"Dia adalah kekasihku, Umma," ungkap Chanyeon. Berhasil sudah merusak skenario yang ada. Mengubah predestinasi dengan egoisnya.

"Mwo?" Bibir kenyal Diana tergumam linglung dengan jantungnya yang tetiba bak tersengat jutaan kapasitas elektron.

________________










Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro