Chapter 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

🍦 Selamat Membaca 🍦

~ Maaf bila aku mengabaikanmu, aku hanya kurang percaya diri dan tak tau harus berbuat apa, sebab kamu terlalu cantik.~

-Rafaelnath Adeleon.

***

Gadis bersuarai kecoklatan dengan panjang sebahu itu kini sedang menyusuri trotoar dengan muka masam, sendirian. Pipi gembulnya yang putih bersih berubah warna menjadi sedikit kemerahan akibat paparan sinar matahari siang ini, sesekali ia menendang kerikil yang ada dihadapannya sambil mendumel tak jelas.

Chaca merasa jalanan itu sangat sepi, hanya beberapa motor saja yang lewat lalu selebihnya hanya angin yang membawa daun dan debu-debu bertebaran.

Chaca menyesal telah menolak tumpangan Sandrina dan Berlin tadi, rencananya ia akan pulang bersama Elnath seperti biasanya, tetapi tak berjalan sesuai dengan keinginan, Elnath malah meninggalkannya, mau pesan ojek online pun tidak bisa karena ponsel Chaca sedang ditahan di BK. Chaca berniat untuk mengambil ponsel bersama Elnath, sebab ia tak punya cukup nyali untuk ke ruangan itu sendirian. Bagi Chaca, ruang BK adalah ruang keramat, di mana ketika kita menginjakkan kaki di sana akan merasakan hawa dingin yang membuat bulu kuduk merinding, bukan karena penjaga tak kasat matanya, tetapi karena guru-guru BK yang terkenal dingin dan killer, ditambah lagi AC yang terus menyala serta lantai marmer yang sukses mengubah ruang BK mirip lemari es.

Pipi tembam itu kini mengembung menyerupai bakpau, bibirnya yang manyun di sepanjang jalan sesekali meniup-niup poninya sebal, ia lelah sekali, rasa pegal menjalar di sekujur kakinya, tangannya tergerak untuk mengusap bulir keringat yang jatuh di pelipisnya. Chaca mengambil tumbler di saku tas sebelah kanan, dilihatnya botol itu hanya menyisakan setetes air, tenggorokannya terasa sangat kering saat ini, dengan terik matahari sepanas ini, Chaca merasa dirinya seperti berada di padang pasir yang tandus. Chaca memutar bola matanya kesal dan mengembalikan tumbler itu ke tempatnya dengan kasar. Otaknya kini sedang memikirkan skenario ngambek bila bertemu Elnath nanti.

"Awas aja, El. Chaca bakalan ngambek lima tahun sama Elnath, huh," dumel Chaca sambil menendang kerikil di kakinya kasar.

Sebuah mobil sedan klasik berwarna hitam berhenti tak jauh di belakang Chaca, dua orang pria berbadan kekar yang mengenakan baju serba hitam itu keluar dari mobilnya. Wajah mereka menyeramkan, kalung rantai dan cicin dari batu akik menjadi aksesoris yang dikenakan kedua lelaki itu, juga jangan lupakan tato di lengan kanan dan kirinya serta luka codet di pipi kiri salah satu dari mereka, membuat siapapun yang melihatnya akan beranggapan bahwa mereka itu adalah preman.

Chaca yang terfokus pada jalannya, tiba-tiba merasakan ranselnya ditarik ke belakang membuat dirinya ikut terhenyak dan hampir terjungkal. Postur tubuhnya yang lebih pendek dari dua orang yang menarik tasnya itu membuatnya sedikit terangkat.

"Ikut kami!" Salah satu preman itu berucap dengan nada tinggi.

Chaca mengernyit bingung. Siapa orang-orang ini?

"Kalian siapa? Mau apa!" seru Chaca sambil berusaha melepaskan cengkraman preman itu dari lengannya.

"Sudah, bawa saja," titah preman yang berkepala botak itu kepada temannya.

Mata Chaca terbelalak ketika mendengarnya, Chaca mengerti maksud mereka, ia segera menggigit lengan dan menginjak kaki preman-preman itu untuk meloloskan diri. Chaca berhasil, kedua preman itu mengumpat sambil mengaduh kesakitan, ia memanfaatkannya untuk berlari menghindari mereka.

Chaca mengerahkan seluruh tenaganya dan berlari secepat mungkin, jantungnya berpacu hebat dan kakinya gemetar karena takut, jalanan yang tidak mulus membuatnya sesekali ia tersandung, namun ia segera bangkit lagi dengan menahan perih akibat luka gores di lututnya. Napasnya terengah-engah dan dadanya terasa sesak sebab berlari terus-menerus.

Chaca tetaplah wanita, walau sekuat apapun ia berlari, tenaganya akan kalah dengan dua orang pria sekaligus. Kini preman-preman itu mencekal kedua pergelangannya dengan kasar. Chaca terus berusaha memberontak, mulai dari menginjak, menendang, menggigit sampai jerit-jerit pun sudah ia lakukan, tapi apalah daya, dirinya terlalu lemah dan kalah jumlah.

"Lepasin Chaca! Lepasin Chaca!" teriak Chaca pada kedua preman itu.

"Diam! Atau kami akan bertindak kasar!" bentak preman botak itu.

"Lepasin Chaca! Toloo--" Chaca berteriak meminta tolong, namun kalimatnya terpotong sebab preman yang memiliki luka codet itu membungkam mulutnya dengan sapu tangan.

Chaca tetap berusaha menjerit walau suaranya tertahan, ia pun kesulitan bernapas karena kain itu menutupi hidung dan mulutnya, aroma menyengat mulai masuk ke indera penciumannya, dan memberikan efek pusing dan melemahkan tubuhnya. Sepertinya, sapu tangan itu sudah diberi obat bius. Sedetik kemudian, Chaca merasa semuanya gelap.

🍦🍦🍦

Elnath meremas dan memukul stir mobilnya kesal, dadanya terasa sesak sejak mendengar pengakuan Aura secara tidak langsung. Rasa tak terima, emosi, dan marah tercampur aduk dalam benaknya saat ini, ingin rasanya Elnath memberi pelajaran pada Aura saat itu juga jika saja Aura itu bukan perempuan.

Pikirannya melayang pada gadisnya, gadis tak bersalah yang menjadi sasaran Aura. Bagaimana bisa Chaca nyembunyiin semua ini seolah gak terjadi apa-apa? Maafin aku, Cha. Pasti kamu tertekan belakangan ini, batinnya.

Sungguh, Elnath masih merasa cemas dan gelisah sebelum melihat Chaca langsung, ia melirik ponselnya yang ia letakkan di kursi sebelahnya, pesan yang ia tulis untuk Chaca sudah terkirim, tetapi balasan dari Chaca belum ada, bahkan dibaca pun tidak, seharusnya saat ini Chaca sudah berada di rumah.

Elnath memasang Ipod di telinganya lalu menggerakkan jarinya untuk mencari salah satu nomor seseorang di daftar kontaknya, setelah menekan tombol hijau, ia meletakkan ponselnya lalu kembali fokus ke jalanan.

"Ha-alo, Bang?" jawab Sandrina setelah panggilan tersambung.

"Halo, San. Suara lo putus-putus." Elnath tak mampu mendengar suara Sandrina dengan jelas dari Ipodnya.

"Ha? Apa?" Sandrina mengulangi.

"Chaca ada di rumah lo?"

"Lo ngomong apa sih? Gak denger tau, banyak sepupu gue di rumah ini," teriak Sandrina dari seberang.

"CHACA ADA DI RUMAH LO, SAN?" teriak Elnath geram karena Sandrina yang mendadak seperti orang budeg.

"Bantuin Mama bikin kue, San!" teriak Mama Sandrina dari arah dapur, namun tak dapat didengar oleh Elnath karena ramai suara sepupu-sepupu Sandrina yang ribut.

"Iya!" balas Sandrina pada Mamanya.

"Oh yaudah kalau dia di sana, jagain tu anak ye, bye," sahut Elnath lalu mematikan sambungan teleponnya setelah mendapat jawaban 'iya' dari Sandrina.

Setelah menjawab Mamanya, Sandrina mengernyit bingung ketika sambungannya sudah terputus, padahal ia belum bisa mendengar apapun dari Elnath, ia mengendikkan bahunya acuh kemudian berlari ke dapur untuk membantu Mamanya.

Elnath sedikit merasa lega, setidaknya ia tahu kalau Chaca sedang bersama Sandrina, Elnath berpikir akan meminta maaf pada Chaca dan juga membujuk Chaca untuk bercerita padanya. Elnath tahu, Chaca pasti enggan bercerita padanya karena merasa kalau dirinya sedang sangat sibuk dan butuh fokus, makanya Chaca tidak mau mengganggu sebab takut membebani dirinya.

Satu panggilan masuk di ponsel yang tergeletak di jok sebelahnya, setelah melihat caller id di ponselnya, Elnath segera menyambungkannya.

"Kenapa, Sal? Gue lagi di jalan," tanya Elnath pada Faisal di seberang.

"Gue udah ada di toko buku sama Lucy, Davon balik dulu, tuker motor. Lo buruan sini!"

"Yoi, OTW." Elnath menutup teleponnya dan sedikit menambah kecepatan agar lekas sampai di lokasi Faisal.

***

Jangan lupa Vote dan Komennya🤭
See u on next Chapter👋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#nubargwp