Chapter 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

🍦Selamat Membaca 🍦

~Walau berada di keramaian, aku tetap merasa sepi tanpa hadirnya dirimu.~

~ Morisscha Auzee.

***

Jarum jam kini menunjuk ke angka sembilan, hari sudah gelap, sejak sore tadi Elnath dan kedua temannya masih terus berkutat di hadapan laptop dan kertas-kertas itu.

Suasana ruang tengah hening dan tenang, suara jarum jam dan AC yang menyala bahkan terdengar jelas. Mereka sedang fokus pada bagian masing-masing karena besok sudah harus siap dan presentasi di hadapan profesor.

Maya melangkah dari arah dapur ke ruang tengah dengan membawa nampan berisikan biskuit coklat dan susu hangat.

"Aduh rajinnya kalian ini, serius banget sih belajarnya," ucap Maya sambil tersenyum kepada Elnath, Davon dan Faisal yang sedang bersimpuh di lantai ruang tengah, seraya meletakkan nampan di atas meja. Davon dan Elnath membalas dengan senyum sembari menepikan buku-buku yang sedikit berserakan di meja. Lucy sudah pulang sejak jam tujuh karena sudah dijemput kakaknya, sedangkan Aurel memang tidak hadir, gadis itu bilang sedang ada acara penting di rumahnya.

"Kalau gitu, Nak Elnath sering-sering main ke sini ya, biar Faisal kerjaannya nggak main game sama ngerusuh mulu," ucap Maya sambil melirik ke Faisal.

"Hehe, iya Tante." Elnath tersenyum ramah.

"Mama belum tidur? Udah malam lho ini." Faisal mencoba mengalihkan topik, kalau tidak, bisa-bisa acara membanding-bandingkan anak akan terjadi setelah ini.

"Mama nggak bisa tidur, Sal. Oh iya, kalian pasti belum makan 'kan? Mau makan dulu? Tante buatin mie instan ya?"

"Eh, ya ampun tante, nggak perlu, Tan. Ngerepotin." Elnath menolak halus sambil tersenyum sungkan.

"Udah, nggak perlu sungkan, perut kamu aja nggak sungkan kok." Maya tertawa kecil ketika mendengar suara yang datangnya dari perut Elnath. Elnath tersenyum malu sembari menggaruk tengkuknya yang mendadak gatal, perutnya memang tidak bisa diajak kompromi.

"Em ... Nak Davon?" panggil Maya.

"Iya, Tante?" sahut Davon sopan.

"Maaf ya soal laptop kamu, Tante boleh minta nomor rekening kamu? Besok Tante transfer buat ganti laptopnya." Davon langsung terbelalak dan menatap Faisal juga Elnath secara bergantian.

"Astaga Tante, nggak perlu kok, laptop Davon memang sudah rusak."

"Tante nggak enak lo sama kamu, boleh 'kan Tante ganti?" bujuk Maya pada Davon.

Davon memandang Faisal yang sedang memasang muka santai, seolah menyuruhnya untuk mengiyakan tawaran Mamanya.

"I-iya udah deh, Tan," jawab Davon pasrah, orang sultan mah bebas.

"Nah gitu dong. Ya udah, Tante ke dapur dulu ya." Maya bangkit dari duduknya kemudian melangkah kembali ke dapur.

Setelah Maya menghilang dari pandangan, Davon dan Faisal langsung menyerbu biskuit dan menenggak susu hangat itu hingga tandas, Faisal dan Davon membawa biskuit itu sampai di depan televisi kemudian memakannya sambil nonton. Elnath hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan mereka, ia tak berselera untuk makan, matanya melirik benda pipih berwarna hitam yang ada di atas sofa, benda itu sedari tadi sangat tenang seolah tak ada notifikasi yang masuk, membuat Elnath penasaran dan menggerakkan tangannya untuk menggapai ponselnya. Wajah Elnath menjadi murung, Chaca belum juga membaca dan membalas pesannya, ia berpikir Chaca masih marah padanya.

Elnath kembali mematikan ponselnya dan meletakkannya kembali di atas sofa, ia memilih untuk kembali fokus pada laptopnya.

🍦🍦🍦

Bel masuk sekolah kurang lima menit lagi, tetapi Chaca belum juga menampakkan diri di kelas membuat Berlin dan Sandrina bertanya-tanya.

"San, tuh bocah kemana sih?" tanya Berlin pada Sandrina.

"Ya mana gue tau, Ber. Emang gue emaknya? 'kan dari tadi gue sama elo, gue nggak tau lah," sahut Sandrina tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.

Berlin berdecak sambil melirik sahabatnya yang satu itu, pandangannya masih tak lepas dari arah pintu, menanti sahabatnya yang satu lagi. Bahkan ketika guru sudah masuk kelas, Chaca tetap tak kelihatan batang hidungnya.

"Bangku yang depan ini kok kosong, siapa yang tidak masuk?" tanya Pak Budi pada Berlin.

"Morisscha tidak masuk, Pak," jawab Berlin seadanya.

"Kenapa tidak masuk? Ada suratnya?"

"Ti-tidak a-ada, Pak." Berlin menunduk, tak berani memandang guru Bahasa Indonesianya yang paling anti dengan murid yang tidak masuk tanpa keterangan.

"Hmm ... kalian ini sudah besar! Sudah SMA! Tidak masuk tanpa keterangan itu sama saja dengan membolos! Kalian bukan anak kecil lagi! Bukan anak SD!" Pak Budi mengeluarkan ceramahnya.

"Membolos itu tidak baik, mau jadi apa kalian di masa depan? Sedangkan sejak sekolah saja sudah tidak disiplin, orang tua kalian membayar mahal untuk menyekolahkan kalian, jadi Bapak harap kalian semua belajar dengan sungguh-sungguh dan banggakan orang tua kalian."

"Iyaa, Pak," jawab satu kelas kompak.

Tapi, Pak. Masalahnya Chaca itu emang masih kayak anak kecil, batin Berlin.

"Ya sudah mari kita mulai pelajarannya," ucap Pak Budi kemudian menuliskan materi di papan tulis.

Mereka semua memperhatikan materi dari Pak Budi dengan seksama.

Setelah berjam-jam berada di kelas yang cukup memeras otak, akhirnya Sandrina dan Berlin bisa bebas dan mengisi perutnya yang keroncongan sejak pagi, di kantin. Mereka berdua tidak pernah sarapan di rumah, selalu di sekolah, mereka bilang kalau mereka sarapan di rumah, Ibu kantin akan kangen dengan mereka berdua.

Berlin melambai pada Elnath yang berlari menghampiri tempat mereka biasa duduk dengan wajah sumringah.

Elnath baru saja kembali dari gedung profesor, sengaja ia kembali ke sekolah dengan terburu-buru karena ia ingin memberikan kabar gembira pada Chaca, bahwa dirinya lolos dalam ujian praktek dan mendapat kesempatan untuk mengikuti program pertukaran pelajar, dan juga ia merindukan gadis itu.

"Chaca mana?" tanya Elnath masih tersenyum sambil mengatur napasnya.

"Chaca nggak masuk, gue kira dia udah kabarin lo," jawab Berlin.

"Chaca masih ngambek sama gue, dari kemarin chat gue aja nggak dibales, jangankan dibales, dibaca aja kagak." Elnath mendudukkan bokongnya di kursi yang biasa ia duduki lalu menyerobot minuman Sandrina, kemudian meneguknya hingga tandas, membuat sang pemilik melotot kesal.

"Emang kenapa Chaca gak masuk, San? Chaca sakit?" tanya Elnath lagi, kali ini dengan wajah sedikit khawatir.

"Boro-boro gue tau dia sakit, kirim surat bahkan chat gue juga enggak." Sandrina ganti menyerobot minuman milik Berlin namun dibiarkan.

"Bukannya semalem sama lo ya?"

"Gue terakhir sama Chaca yah pas pulang sekolah, ngapain Chaca ke rumah gue."

"Lah kemarin? Di telepon lo bilang?"

"Oh, kemarin ... gue nggak denger lo ngomong apa, sama sekali nggak denger, sepupu gue ribut banget, sorry ye, hehe," cengir Sandrina.

"Mungkin Chaca sakit," timpal Berlin.

Elnath menyandarkan punggungnya di kursi sambil menggigiti kuku ibu jarinya, tiba-tiba ia cemas terhadap Chaca. Kekasihnya itu memang mudah sekali sakit, telat makan sedikit saja ia sudah bisa tumbang, terkadang Elnath perlu membujuk Chaca dengan banyak es krim agar gadis itu mau makan ketika mogok makan saat ngambek darinya.

Tiba-tiba ia teringat tentang apa yang telah dilakukan Aura kepada Chaca, mengingatnya saja sudah membuat darah Elnath mendidih.

Elnath bangkit dari duduknya hendak melangkah pergi.

"Kemana lo?" tanya Sandrina.

"Kelas," jawab Elnath singkat lalu melenggang pergi.

Elnath berjalan tanpa menghiarukan tatapan dan sapaan dari siswi-siswi yang menatapnya kagum. Ketampanan Elnath tidak berubah walaupun sedang serius, malah memunculkan aura cool pada dirinya.

Elnath merogoh ponselnya dan mencoba menelpon Chaca, kali ini ia akan menspamnya sampai Chaca mengangkatnya dan ia akan meminta maaf.

Elnath terus menelepon Chaca sambil berjalan, sesekali ia melirik layar ponselnya apakah Chaca sudah mengangkatnya atau belum. Elnath mendadak menghentikan langkahnya ketika mendengar suara mirip nada dering ponsel Chaca di koridor sebelah. Ketika panggilan dari Elnath berakhir, suara itu ikut berakhir, Elnath mencoba memastikan dengan menelponnya lagi, dan benar, nada dering itu berbunyi lagi.

Chaca ada di sini?

Elnath segera mempercepat langkahnya ke sumber suara. Sesampainya di sana, bukan Chaca yang ia temui, melainkan wanita dengan seragam dinas berwarna coklat yang sedang marah-marah sambil memegangi ponsel Chaca. Elnath mengernyit bingung. Bagaimana bisa ponsel Chaca ada di tangan guru BK?

Elnath menghampiri guru itu perlahan. "Permisi,Bu."

"Iya, ada apa?" jawabnya ketus.

"Em ... itu ponsel teman saya." Tunjuk Elnath pada ponsel dengan case soft blue yang ada di tangan guru itu.

"Oh ini milik teman kamu? Suruh dia ke sini, ponselnya bunyi terus, berisik."

"Maaf, Bu. Teman saya sedang tidak masuk sekolah karena sakit, dan saya yang menelepon dari tadi," jelas Elnath.

"Ya sudah, kamu bawa saja, kembalikan pada teman kamu, jika tidak kembali maka kamu yang bertanggung jawab."

"Baik, Bu." Guru itu melenggang pergi dari hadapan Elnath. Kini Elnath tau apa penyebabnya Chaca tidak membalas pesan dan teleponnya.

Satu pesan belum dibaca menyita perhatian Elnath, nomor tak dikenal, Elnath yakin ini adalah nomor yang digunakan Aura untuk meneror Chaca.

Pandangan Elnath masih tak bisa lepas dari sederet pesan itu.

+623123654987
Bersiaplah, aku akan menjemputmu dengan tidak menyenangkan.

***

Jangan lupa tinggalkan jejak, Vote dan Komen ya gais.

See u on next Chapter👋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#nubargwp