Chapter 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

🍦 Selamat Membaca 🍦

~Semesta memang suka bercanda, ia memisahkan dan mempertemukan kita dengan cara yang luar biasa.~

~ Rafaelnath Adeleon.

***

Elnath sedang dalam perjalanan ke rumah Chaca, ia bebas pulang lebih awal karena hari ini dirinya mendapat surat dispensasi dari sekolah. Tak lupa, Elnath membelokkan mobilnya sejenak untuk mampir di sebuah Mini market, ia membeli beberapa camilan, buah, roti dan es krim untuk Chaca, kemudian ia melanjutkan perjalanannya lagi.

Elnath tiba di rumah Chaca sekitar 15 menit dari Mini market, ia turun dari mobil sambil menenteng kantung plastik belanjaannya itu, dilihatnya rumah Chaca sangat sepi. Elnath megetuk pintu beberapa kali, tak ada jawaban, ia bahkan sempat memanggil-manggil Chaca, namun tetap tak ada jawaban. Pemuda itu lalu mengambil kunci cadangan rumah di salah satu pot bunga yang ada di situ, yang mengetahui letak kunci itu hanya Chaca dan Elnath karena Chaca pelupa, dan sering terkunci sendiri di dalam rumah, hingga Elnath harus datang dan memakai kunci cadangan.

Elnath memutar knop pintu setelah kuncinya terbuka, lalu mendorongnya hingga sedikit menampakkan bagian dalamnya, diedarkannya pandangan ke seluruh penjuru ruangan.

Sepi banget, apa Chaca lagi tidur?

Elnath meletakkan kantung plastik berisi makanan itu di meja ruang tamu. Sambil memanggil-manggil Chaca, Elnath melangkah menuju kamar gadis itu, berniat membangunkannya jika benar dia sedang tidur.

Elnath tiba di ruangan bernuansa soft blue itu dan mendapati ruangan itu kosong, Chaca tidak ada di kamarnya, jendela-jendela pun masih tertutup rapat. Elnath melangkah ke dalam, ia membuka jendela dan menarik tirai agar sinar matahari dapat masuk, Elnath lalu mendudukkan bokongnya di kasur empuk milik Chaca, tanpa sengaja matanya menyorot ke arah meja belajar dan menemukan hal yang janggal.

Tas sekolah Chaca tidak ada. Elnath langsung terperanjat dan berlari ke depan, dilihatnya sepatu sekolah Chaca juga tidak ada di rak. Perasaannya mulai tidak enak, dengan panik Elnath menjelajahi seluruh ruangan yang ada di rumah Chaca sambil berteriak memanggil nama gadis itu. Namun, semuanya kosong, Chaca tidak ada di rumah.

Elnath berpikir. Berlin dan Sandrina tidak tahu keberadaan Chaca, jadi tak mungkin kalau Chaca ada di rumah mereka. Cara agar Chaca bisa pergi sendiri hanyalah melalui ojek atau taksi online, sedangkan ponsel Chaca saja ada di tangan Elnath. Tiba-tiba Elnath teringat pada pesan terakhir dari nomor tak dikenal yang menghubungi Chaca tetapi belum sempat dibuka.

Elnath mengepalkan tangannya, emosi di dadanya sedang mendidih. Tanpa berpikir lagi, Elnath menyambar kunci mobilnya dan mengendarainya dengan kecepatan di atas rata-rata.

🍦🍦🍦

Rasa sakit dan pegal mulai menjalar di kaki juga tubuh gadis itu. Kepala yang tadinya hanya tertunduk, kini mulai memberikan gerakan.

Chaca mengangkat kepalanya yang terasa berat dan pusing, matanya masih berusaha menyesuaikan cahaya dan mengenali keadaan sekitar. Setelah beberapa menit otaknya mencerna apa yang terjadi, Chaca terbelalak kaget ketika mendapati dirinya dalam posisi duduk dan terikat di kursi dengan seragam sekolah masih melekat di tubuhnya, mulutnya pun di plester rapat. Chaca melihat sekeliling, terdapat bangku-bangku di tumpuk dan beberapa barang yang tampaknya sudah tidak terpakai, bahkan sudah dihiasi sarang laba-laba yang tebal. Debu-debu yang memenuhi ruangan membuat Chaca merasakan pengap dan sesak di dadanya. Decitan binatang yang menggelikan itu menyita perhatian Chaca, mahkluk kecil itu berlarian kesana-kemari, membuatnya bergidik dan mual, Chaca takut sekali dengah tikus, apa lagi ukurannya sangat besar dan gemuk.

Chaca kembali fokus pada tali yang mengikatnya dengan kursi, ia ingin keluar dari tempat ini, gadis itu menggerak-gerakkan tangannya agar talinya dapat terlepas, namun sayang, ikatannya terlalu kuat. Sempat terlintas di kepalanya tentang mengapa ia diculik seperti ini, apa salah dirinya?

Mata Chaca menangkap beberapa botol kaca bekas minuman keras di salah satu meja yang ada di dekatnya, sebuah ide terlintas di kepalanya, ia berpikir untuk menggunakan botol itu untuk melepaskan ikatannya. Chaca menggerakkan kursinya sedikit demi sedikit hingga tergeser mendekati meja itu. Chaca mencoba meraih botol itu dengan susah payah, namun usahanya gagal dan tubuh beserta kursinya terjatuh, diikuti botol kaca yang ikut pecah dan menggores tangan Chaca yang masih terikat. Chaca meringis, menangis karena perih di tangannya, juga sakit di tubuhnya karena jatuh dengan posisi seperti itu.

Tubuh Chaca menegang ketika mendengar derap langkah yang mendekati dirinya. Ketika langkah itu semakin dekat, Chaca tetap tidak dapat melihat siapa yang datang karena posisinya yang terjungkal ke depan serta.rambutnya yang jatuh menutupi wajahnya..

Orang itu membantu kursi Chaca berdiri lagi, hingga Chaca dapat memandang jelas siapa orang yang membantunya itu. Orang itu tersenyum memandang Chaca sambil melipat tangannya di depan dada, senyumannya tak dapat diartikan. Sedangkan Chaca sudah mematung dengan mata yang membola tak percaya.

"Hai, manis," sapanya sambil tersenyum smirk.

🍦🍦🍦

Elnath terus membunyikan klakson mobil, tak peduli dengan umpatan pengguna jalan lain yang dilontarkan padanya. Kemacetan jalanan di ibu kota membuat Elnath semakin frustasi dan mengacak rambutnya kesal, lalu memukul stir mobilnya geram. Lelah dengan semua itu yang tidak ada hasilnya, Elnath pasrah dan menyandarkan kepalanya, ia menyesal memilih jalur ini, tadinya ia berpikir jalur ini lebih cepat, tetapi ia lupa jika ini termasuk kawasan rawan macet.

Kepadatan jalanan di depannya mulai melonggar, dan ketika melihat celah, Elnath langsung menancap gas mobilnya.

Elnath memarkir mobil di depan gerbang sekolahnya asal dan langsung berlari masuk ke sekolah. Sandrina dan Berlin sempat memanggil Elnath, namun Elnath berlari melewati mereka seolah mereka berdua tak terlihat. Sandrina dan Berlin merasakan sesuatu yang tak beres pada Elnath dan memilih berlari mengikutinya.

Brak!

Suara gebrakan meja yang cukup keras menggema di kelas tersebut. Membuat Elnath menjadi pusat perhatian seisi kelas serta murid yang lewat dan berada di sekitar situ.

Dengan napas ngos-ngosan, Elnath menatap gadis pemilik meja itu tajam, yang ditatap sempat terjingkat kaget.

"Dimana lo sembunyiin Chaca?" bentak Elnath dengan suara berat. Dapat dipastikan kalau saat ini Elnath benar-benar marah. Alasan Elnath mengincar Aura adalah karena dia yang meneror dan mengirimkan pesan ancaman itu kepada Chaca.

"Maksud Kakak apa?" Aura membalas dengan nada tak kalah tinggi.

"Gak usah basa-basi, lo 'kan yang udah nyulik Chaca!" tuduh Elnath tanpa menghiraukan situasi sekitarnya, para murid yang menonton mereka pun sudah berbisik-bisik membicarakan apa yang terjadi.

"Chaca? Kak, gue nggak tau apa-apa, dan gue dari tadi di sekolah."

"Gue bisa aja bongkar semua kelakuan lo selama ini di sekolah ke BK, selama ini gue emang nggak pernah peduli, tapi karena menyangkut Chaca, gue bakalan bertindak!"

"Tapi masalahnya gue emang nggak tau apa-apa, Kak!"

"Ck, halah gak usah ngeles, emang hari ini lo di sekolah, tapi kemarin?" Elnath berdecak.

"Ini ada apa, sih? Lo ada masalah sama Aura? Aura sama anak-anak kelas semalem ada di bar buat rayain party gue," sela Rebeca.

"Gak usah ikut campur deh lo, dibayar berapa lo sama Aura sampe belain dia?" bentak Elnath kesal menatap jijik Rebeca yang selalu berpakaian mini itu.

"Hello … satu kelas ini saksinya, bahkan temen lo aja dapar undangannya," ucap Rebeca sambil menatap ke arah Sandrina.

Rebeca merogoh ponsel di saku seragamnya dan menunjukan foto sisa party semalam bersama Aura dan yang lain.

"Dan Aura sama yang lain nginep di rumah gue," sambungnya.

"HP gue juga udah hancur di tangan Kakak, gue udah nggak nyentuh si Cupu lagi!" Aura berusaha membela diri.

Elnath terdiam, Aura ada di foto itu, dan pesan yang ada di ponsel Chaca masuk dengan jeda yang lumayan lama setelah ia merusak ponsel Aura. Lalu siapa yang nyulik Chaca?

Sandrina yang melihat Elnath terdiam dan dipermalukan langsung menyela kerumunan dan menyeret Elnath keluar dari sana.

"Gue nggak ngerti, ini ada apa sih, Bang? Dan ngapain lo kayak gitu ke Aura? Semalem dia emang ada di party sampai pagi, lo salah kalau nuduh dia kayak gitu," tanya Sandrina pada Elnath yang menatap kosong.

"Bang!" sentak Sandrina sambil menggoncang bahu Elnath.

"Chaca hilang, San!" seru Elnath tak tahan. Mendengar itu, Berlin dan Sandrina terkejut bukan main.

"Chaca hilang? Hubungannya sama Aura apa?" tanya Berlin.

"Kalian inget pas Chaca pingsan di UKS dan bajunya basah? Itu semua kelakuan Aura, dia siram dan kunciin Chaca di dalam toilet, dan Aura juga sering neror Chaca!" jelas Elnath dengan raut wajah yang kini kacau.

"Lo jangan ngaco deh." Sandrina menggeleng tidak percaya. Tanpa berniat membalas ucapan Sandrina, ia langsung menyerahkan ponsel Chaca yang ada padanya.

Sandrina sempat bingung kenapa ponsel Chaca bisa ada di Elnath, namun ia lebih memilih untuk membaca pesan itu terlebih dahulu. "Brengsek!" umpat Sandrina setelah selesai melihat itu, sedangkan Berlin sudah menangis.

"Hiks, kenapa Chaca nggak cerita ke kita, pasti dia kesusahan belakangan ini." Berlin menangis memikirkan sahabatnya.

"Pasti ancaman dari Aura, Chaca jadi takut buat cerita," sahut Sandrina.

Elnath menyandarkan tubuhnya ke tembok lalu merosot kebawah, pikirannya sangat kacau, kebahagiaan ketika mendapat kesempatan di program pertukaran pelajar seakan tak ada artinya ketika Chaca tak ada di sisinya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#nubargwp