Chapter 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

🍦 Selamat Membaca 🍦

~ Hatiku sempurna karena terukir namamu di dalamnya.~

~ Morisscha Auzee.

***

Chaca merasakan tubuhnya lemas dan menggigil. Chaca tak henti-hentinya menangis, sedari tadi ia terus menendang-nendang pintu toilet, berharap ada seseorang yang mendengar dan menolongnya. Pergelangan tangan dan kakinya pun mulai terasa perih akibat tali yang diikat kuat oleh Aiko.

Beberapa siswa-siswi yang lewat pun tidak menghiraukan suara itu, karena tulisan di depan toilet yang menjelaskan kalau toilet itu sedang rusak. Para guru juga tidak akan ada yang lewat situ, sudah disediakan toilet khusus untuk mereka.

Sungguh, ini kali pertama Chaca diperlakukan seperti ini. Ia tak tau harus bagaimana, harapannya hanya satu, Elnath.

Chaca terus terisak, tubuhnya semakin lemah. Kedinginan dan ketakutan, itulah yang sedang dirasakan oleh Chaca.

El, tolongin Chaca, batin Chaca menangis.

🍦🍦🍦

Bel istirahat berbunyi sekitar lima menit yang lalu, kini di kelas 11 IPS 2 hanya tersisa tiga orang, Bu Lina, Sandrina dan Berlin.

"Nanti tolong sampaikan kepada teman kalian, temui saya di ruang guru. Teman kalian itu mau belajar membolos rupanya, sudah tertidur di jam saya, sekarang malah tidak kembali ke kelas. Saya harap kalian tidak mengikuti tingkah anak itu," tutur Bu. Lina pada Sandrina dan Berlin.

Sandrina dan Berlin pun hanya manggut-manggut mengiyakan perintah dari Bu. Lina. Mereka sendiri bingung, kenapa Chaca tidak kembali, Chaca tidak mungkin membolos, walaupun ia memang ceroboh dan pelupa, tetapi tidak mungkin sampai berani seperti ini.

"Huf, kemana lagi sih tuh anak, doyan banget dihukum sama guru," dengus Sandrina kesal sekaligus cemas dengan Chaca.

"Paling juga sama Bang Elnath, dia 'kan hari ini jadwalnya olahraga, kelas 12 'kan selalu free class," sahut Berlin.

"Eh, bener juga ya. Ya udah deh, kantin aja yuk."

"Boleh tuh, laper gue." Berlin mengusap-usap perutnya sambil nyengir.

Setelah berada di kantin. Sandrina dan Berlin duduk di meja tempat mereka berempat biasa makan, mereka berdua memesan makanan langganan mereka masing-masing, Sandrina memesan soto dan Berlin memesan bakso. Tiba-tiba Elnath datang dan duduk di samping mereka dengan santai dengan bakso yang masih panas di tangannya, ia menatap baksonya nikmat lalu mulai menambahkan saus dan kecap ke dalam baksonya.

"Sip, mantap!" seru Elnath sambil memegang sendok dan garpu di kedua tangannya.

Kegiatan Elnath sejak tadi tak luput dari mata Sandrina yang menatapnya aneh. Sedangkan Berlin, sedari tadi ia hanya celingak-celinguk mencari Chaca.

Elnath masih tampak santai dengan kegiatannya mengiris bakso menjadi potongan kecil-kecil, lalu melahapnya penuh selera.

"Chaca mana?" tanya Elnath, Sandrina dan Berlin kompak.

Elnath yang posisinya sedang mengunyah bakso pun langsung tersedak, dan menyerobot es teh sandrina dan meminumnya hingga tandas.

"Uhuk! Uhuk! Aneh lo berdua, Chaca yang satu kelas sama kalian kok malah nanya gue," ucap Elnath dengan tenggorokannya yang masih sedikit sakit. Berlin yang melihat Elnath sedang menatap gelas berisi lemon tea miliknya pun langsung menarik gelas itu mundur, tak mau jika gelasnya akan bernasib sama dengan milik Sandrina.

"Lah, bukanya sama lo?" pekik Sandrina.

"Chaca gak sama gue, uhuk!" balas Elnath masih terbatuk sambil mengumpat di dalam hati, Awas lo, Ber. Sandrina dan Berlin saling bertatapan bingung.

"Ini ada apa, sih?" tanya Elnath bingung pada Sandrina dan Berlin.

"Dari jam sejarah tadi, Chaca itu nggak balik ke kelas, gue pikir dia sama lo. Hari ini jadwal kelas lo olahraga, biasanya 'kan lo free class," jelas Berlin.

"Ya gue emang free class, tapi gue tadi bantuin Pak Rey bersih-bersih laboratorium sama anak-anak," jawab Elnath.

"Chaca beneran nggak balik ke kelas loh, Bang," ucap Sandrina dengan wajah cemas.

"Kalau gitu kita harus cari Chaca!" Ucapan Elnath barusan langsung diangguki oleh Berlin dan Sandrina.

Mereka bertiga bergegas meninggalkan kantin dan mulai mencari di setiap sudut sekolah.

Elnath mulai cemas, ia sangat khawatir pada gadisnya itu. Mereka bertiga mencari mulai dari perpustakaan, rooftop, ruang musik, dan taman. Namun, hasilnya nihil. Mereka tidak menemukan Chaca.

"Emang dia ke mana sih tadi?" tanya Elnath sambil mengacak rambutnya frustasi.

"Tadi Bu Lina nyuruh Chaca buat cuci muka di toilet," jawab Berlin sambil mengatur napasnya.

"Apa mungkin Chaca masih di toilet?" tanya Elnath.

"Ya kali Chaca masih di toilet, Bang! Nggak mungkin ah!" Sandrina mengelak pemikiran Elnath.

"Kita nggak tau kalau nggak cek dulu, San!"

"Yaudah mending kita ke sana dulu," saran Berlin yang langsung diangguki oleh Elnath dan Sandrina. Mereka bertiga terus berlari di sepajang lorong, tak peduli dengan siswa-siswi lain yang memandang mereka aneh. Tujuan mereka saat ini adalah toilet.

Elnath membuka pintu toilet dengan kasar, Sandrina dan Berlin pun dengan cepat membuka setiap bilik toilet. Bahkan ada yang mengumpat mereka karena mengganggu.

"Gimana?" Elnath mengatur napasnya. Keringat bercucuran di dahinya, ia tak boleh menyerah untuk menemukan Chaca.

"Enggak ada, Bang!" jawab Berlin.

"Beneran kalian udah cek semua?"

"Udah, Bang!"

Elnath terus memandangi salah satu bilik toilet yang berada di ujung, kenapa ada tulisan 'toilet rusak'? Kemarin toilet itu baik-baik saja, pikirnya.

"Udah cek toilet itu?" Tunjuk Elnath pada bilik paling ujung.

"Itu kan rusak, Bang."

Tanpa menghiraukan ucapan Sandrina dan Berlin. Elnath berjalan menuju bilik itu, entah mengapa perasaannya sangat yakin. Sandrina dan Berlin pun mengikuti langkah Elnath. Tak sabar, Elnath membuka bilik itu kasar. Jantungnya berdetak kencang, perasaannya ternyata salah, bilik itu kosong.

Kamu di mana, Cha? Batin Elnath.

🍦🍦🍦

Aurel berjalan dengan sedikit tergesa-gesa menuju toilet. Perutnya sangat sakit sebab ia terlalu banyak memberi sambal pada kuah baksonya, sudah tau kalau perutnya tidak tahan pedas, tetap saja ia melakukannya.

Aurel memasuki toilet dengan santai, toilet sangat sepi. Tentu saja, ini 'kan masih jam belajar, ia sendiri masih memakai seragam olahraganya.

Kegiatan olahraga di kelas 12 memang dibebaskan. Yang cowok asik bermain basket atau bola di lapangan, sedangkan yang cewek lebih memilih berada di kantin untuk mengisi perut atau sekedar bergosip dari pada berpanas-panasan di lapangan.

Bulu kuduk Aurel mendadak berdiri ketika mendengar suara seperti orang yang sedang menangis, namun di sana sedang tidak ada siapapun selain dirinya. Ia bahkan sempat terkejut ketika mendengar suara ketokan di bilik paling ujung.

"Masa sekolah ini ada setannya, sih?" ucapnya sambil memegangi tengkuknya. Matanya berkelana menyusuri langit-langit, memastikan apakah ada sosok menyeramkan di atas sana.

Bilik itu terus mengeluarkan suara, membuat Aurel menjadi penasaran. Ia melangkah mendekati bilik itu, dengan perasaan takut-takut ia mencoba membuka bilik itu perlahan.

Aurel terbelalak kaget ketika melihat apa yang ada di dalam bilik tersebut.

"Chaca!" pekik Aurel.

Betapa terkejutnya ia ketika mengetahui keadaan Chaca. Ujung rambut hingga ujung kaki Chaca basah kuyup, kaki dan tangannya di ikat serta mulutnya di plester. Ia tau kalau ini pasti ulah adiknya, siapa lagi yang bisa melakukan hal seperti ini kalau bukan Aura.

Chaca berusaha meminta tolong pada Aurel. Tanpa pikir panjang, Aurel langsung melepas plester yang membungkam Chaca sejak tadi, dan menampilkan bibir yang sudah pucat. Lalu ia beralih melepas ikatan di tangan dan kaki Chaca.

Setelah plester dan ikatannya terlepas, Chaca semakin menangis dan memeluk Aurel, Aurel pun membalas pelukan Chaca. Ia tau perasaan Chaca saat ini, Chaca pasti ketakutan.

"Udah ya, Cha. Jangan nangis." Aurel menenangkan Chaca.

"Hiks, hiks. C-cha-ca t-takut, Kak. Hiks," isak Chaca dalam pelukan Aurel.

"Jangan takut lagi, Cha. 'kan aku udah ada di sini. Kita ke UKS aja yuk," ajak Aurel yang dibalas anggukan pelan oleh Chaca.

Aurel membantu Chaca berdiri, Chaca nampak kesulitan karena tubuhnya lemas. Aurel membopong Chaca dan menuntunnya perlahan ke UKS.

🍦🍦🍦

Elnath, Sandrina dan Berlin sangat cemas, mereka terus mencari Chaca bahkan jam istirahat hampir habis, namun Chaca masih belum ditemukan.

"Elnath!" panggil Aurel dari belakang.

Aurel menghampiri Elnath dengan langkah terburu-buru. Sandrina dan Berlin menatap Aurel bingung.

"Kenapa?" tanya Elnath tanpa basa-basi.

"Itu … Chaca …." Aurel berusaha menjelaskan. Ia mengatur napas sambil memegangi lututnya.

Mendengar nama Chaca disebut, Elnath langsung menatap Aurel serius.

"Atur dulu napasnya, Kak," ucap Berlin.

"Chaca kenapa, Rel? Lo tau dia di mana?" Elnath tampak semakin panik.

"Chaca … pingsan."

*

Hallo semua👋
Kasih tanggapan soal cerita ini dong.
Jangan lupa VOTE dan Komen ya.
See u on next chapter🤗

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#nubargwp