Chapter 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

🍦 Selamat Membaca 🍦

~ Aku mulai menikmati hidup sejak dirimu hadir dan berbagi cerita denganku. ~

~ Rafaelnath Adeleon.

***

"Chaca … pingsan!"

"Se-sekarang Chaca …  di UKS," jelas Aurel dengan napas masih tersenggal.

Mendengar itu Elnath langsung bergegas menuju UKS tanpa berniat membalas perkataan Aurel, ia bahkan berlari tanpa memedulikan murid lain yang ditabraknya.

"Bang Elnath, tungguin!" pekik Berlin karena Elnath langsung berlari begitu saja meninggalkan dirinya dan Sandrina.

"Yah … main nyelonong aja tuh bocah."

"Ya udah deh, mending kita susul aja," saran Aurel.

"Tapi jalan aja, ya. Jangan lari, capek gue hehe," pinta Berlin di susul cengiran.

"Iye dah iye. Lagian bang Elnath udah duluan, 'kan? Gak ada capeknya kali tuh anak." Sandrina heran dengan Elnath, padahal dirinya dan Berlin sudah sangat kelelahan, tetapi kenapa Elnath tidak? Mungkin ini efek orang bucin, tak kenal lelah demi cintanya.

Mereka bertiga berjalan menuju UKS dengan santai, mereka cukup lelah untuk berlari lagi. Perut Sandrina tiba-tiba berbunyi, ia lupa kalau tadi belum sempat memakan pesanannya, padahal ia berangkat sekolah dengan perut keroncongan. Tetapi, laparnya seolah hilang ketika mencari Chaca, mungkin karena ia lebih mengkhawatirkan temannya dari pada perutnya.

Elnath sampai di UKS, ia membuka pintu UKS dengan terburu-buru. Beberapa petugas PMR yang berada di situ bahkan menegurnya karena berisik, tetapi Elnath abaikan, ia hanya ingin melihat keadaan gadisnya saat ini.

Elnath melangkah menuju brankar yang ditempati oleh Chaca, sesekali ia menyeka keringat yang mengalir di pelipisnya, menetralkan kembali napas yang tadinya tak beraturan. Ia melihat gadisnya terkulai lemah di atas brankar UKS tersebut, benaknya mulai  bertanya-tanya.

"Pucat banget," ucap Elnath sambil mengelus bibir Chaca yang terasa dingin. Ia meletakkan punggung tangannya di dahi Chaca, panas. Sepertinya Chaca mulai demam.

Elnath menempatkan dirinya di kursi yang berada di dekat brankar Chaca, ia berniat menjaga gadisnya hingga siuman, tak peduli walau bel masuk sudah berbunyi.

Elnath terus memandangi wajah ayu milik Chaca yang sedang terpejam. Pipi tembam, bulu mata lentik, serta bibir mungilnya, membuat siapapun yang melihat Chaca akan merasa gemas. Elnath menyisihkan rambut nakal yang jatuh di dahi Chaca, merapihkannya agar gadisnya tak terganggu, digenggamnya tangan Chaca, ia merasakan dingin di tangan itu. Elnath mengeratkan genggamannya.

"Engh …." Chaca menggeliat, pertanda ia mulai siuman.

"Cha …," Panggil Elnath.

Chaca membuka matanya perlahan, ia mencoba menetralkan cahaya yang menerobos masuk, kepalanya masih terasa pening. Ketika ia melihat sosok Elnath, ingatan tentang kejadian tadi terputar kembali di otaknya.

Chaca langsung memeluk Elnath, memeluknya sangat erat. Ia menumpahkan semua air matanya di dalam dekapan Elnath, dadanya sungguh terasa sesak.

"Ada apa, Cha?"

Elnath agak terkejut dengan perlakuan Chaca. Ia lalu membalas pelukan Chaca, membuat gadis itu merasa aman dan mengecup puncak kepalanya sembari mengusap punggung gadis itu.

"Sst … Cha, tenang yah, aku ada di sini." Elnath berusaha menenangkan. Namun, tangis Chaca tak kunjung berhenti, malah semakin menjadi. Beberapa siswi  yang berada di ruangan itu memandang Chaca aneh, namun ia tak peduli.

Sandrina dan Berlin yang baru saja datang langsung dibuat panik ketika melihat Chaca yang menangis sesenggukan di dekapan Elnath.

"Bang, Chaca kenapa?" tanya Sandrina panik dan langsung memeluk Chaca. Elnath hanya menggeleng, ia memberikan kode pada Sandrina dan Berlin untuk tidak menghujani Chaca dengan pertanyaan dulu, Chaca masih tampak tertekan, Elnath sendiri bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.

"Tenang ya, Cha. Tenang…." Berlin menenangkan Chaca.

"Kalian balik ke kelas aja, dari pada di hukum, lo juga, Rel. Bilangin ke guru gue ijin," titanya pada Sandrina, Berlin dan Aurel.

"Yaudah, deh. Kita balik dulu, jangan nangis terus ya, Cha," ucap Berlin dengan raut wajah khawatir.

Setelah mereka bertiga pergi, kini tinggal tersisa Elnath dan Chaca di dalam UKS. Petugas PMR dan siswa lainya juga sudah kembali ke kelas masing-masing. Ini adalah kesempatan Elnath untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Tangan Elnath tergerak untuk mengangkat dagu Chaca, agar Chaca dapat menatapnya. Dilihatnya wajah ayu putih bersih itu, kini telah dibanjiri air mata. Elnath mengusap air mata yang mengalir di pipi tembam Chaca.

"Udah, Sayang. Jangan nangis lagi, Elnath gak bisa liat Chaca terus-terusan nangis, Elnath sedih kalau liat Chaca nangis, cerita sama Elnath, ada apa?" tanya Elnath lembut.

Chaca menggeleng, ia tak sanggup menceritakan apa yang dialaminya, mengingat ancaman dari Aura, jika dia melapor pada Elnath, dirinya akan mendapatkan yang lebih parah dari ini, jadi ia memilih untuk diam.

"Cha-ca hiks, Chaca gak ma-u hiks, Cha-ca ta-kut, hiks," jawab Chaca sesenggukan, ia masih sulit untuk berbicara.

"Chaca gak mau cerita sama Elnath?"

"Elnath janji nggak akan kasih tau siapa-siapa, kok." Elnath mengacungkan jari kelingkingnya, ia berusaha membujuk Chaca sebisa mungkin.

Chaca tetap menggeleng, Elnath bingung harus bagaimana lagi untuk membujuk Chaca. Ia memutar otak, matanya berkelana menyorot seluruh penjuru ruangan, berusaha mencari sesuatu untuk menghibur gadisnya.

Matanya berbinar ketika melihat sebuah benda tua yang tersandar di dinding, tetapi masih sangat layak untuk digunakan, sebuah ide terlintas di kepalanya. Ia melepaskan pelukan Chaca dan melangkah untuk mengambil benda itu.

Chaca sedikit terkejut ketika Elnath melepaskan pelukannya, ia berpindah posisi menjadi duduk meringkuk, sambil membenamkan wajahnya sendiri di tangan yang ia lipat di atas lutut. Chaca masih ingin menangis.

Tiba-tiba, terdengar suara alat musik yang dipetik itu mengalun merdu, merasuk ke alat indera pendengaran Chaca dengan sopan.

"Di antara beribu bintang ... hanya Chaca yang paling terang ..., di antara beribu cinta ... pilihanku hanya kau, sayang…." Elnath bernyanyi untuk Chaca.

Chaca yang semula menunduk, kini mendongak menatap Elnath, tangisnya mulai berangsur surut walau masih terisak. Elnath meneruskan permainan gitarnya sambil sesekali menatap Chaca.

"Takkan ada selain kamu .... dalam segala keadaanku … cuma kamu, ya, hanya kamu yang selalu ada untukku...," lanjut Elnath.

Chaca mengusap air mata yang jatuh di pipinya, hatinya mulai menghangat karena Elnath, cowok itu selalu berhasil membuat dirinya merasa nyaman. Chaca tersentuh dengan lagu yang dinyanyikan oleh Elnath, bibirnya kini melengkung membentuk senyuman manis.

Apa benar hanya Chaca yang ada di hati Elnath? Apa benar Elnath akan tetep memilih Chaca walaupun banyak cinta yang menghampirinya? Apa beneran cuma Chaca?, tanya Chaca dalam hati. Ia benar-benar takut jika harus kehilangan Elnath.

Elnath ikut tersenyum ketika Chaca tersenyum. "Nah, gitu dong, senyum." Elnath menoel ujung hidung Chaca gemas.

"Sini peluk dulu." Elnath membentangkan tangannya. Tanpa pikir panjang, Chaca langsung menghambur ke pelukan Elnath.

"Chaca kalau nggak mau cerita gapapa, kok. Elnath nggak akan maksa, tapi … Chaca harus ingat, Elnath selalu siap kapanpun buat dengerin cerita Chaca, oke?" Chaca menangguk.

"Mau es krim?" tawar Elnath.

Lagi-lagi Chaca  mengangguk semangat.

"Mau berapa?"

"Satu aja, Chaca kedingingan. Nanti, kalo makan eskim, jadi tambah dingin Chacanya." Chaca menggembungkan pipinya, matanya yang sembab dan masih berkaca-kaca membuatnya terlihat sangat lucu

"Utu-utu bayinya Elnath gemecin banget, cih. 'Kan ada Elnath yang siap buat hangatin Chaca." Elnath mencubit kedua pipi Chaca gemas.

Aku akan selalu ada buat kamu, Cha. Aku gak akan biarin kamu sendirian, aku janji, batin Elnath.

***

Halo semuanya, ada yang suka diperlakukan romantis? Kalo ada berarti kita sama, aku juga suka🤭
Kasih yang romantis dong buat aku, dengan cara KLIK BINTANG di pojok kiri bawah.😍
Terimakasih dan semoga suka🤗

See u on next chap😉👌

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#nubargwp