Chapter 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

🍦 Selamat Membaca 🍦

~ Aku sempat putus asa ketika hatiku hancur, tetapi kau datang dengan membawa serpihan hatimu, dan menyatukannya agar kembali sempurna.~

~Morisschaa Auzee.

***

Hari ini Chaca harus berangkat ke sekolah sendiri menggunakan ojek online. Elnath tidak bisa menjemputnya, karena hari ini adalah hari penilaian ujian praktek kelas 12, ia harus berangkat sekolah pagi-pagi sekali untuk mempersiapkan ruangan dan segala sesuatu yang nantinya akan dipresentasikan untuk dinilai. SMA Garuda merupakan salah satu sekolah unggulan di kota mereka, untuk penilaian ujian praktek saja mereka langsung mendatangkan orang-orang penting yang sekaligus ahli dalam bidangnya untuk menilai hasil kerja murid-murid SMA Garuda. Jadi, jangan heran, jika Elnath dan anak-anak yang lain harus datang ke sekolah walau masih pagi buta begini.

Setelah kejadian teror semalam, Chaca tidak dapat tidur tenang, ia bahkan harus tidur penuh sesak di bawah selimut yang menutupi tubuhnya dari kepala sampai kaki, loudspeaker mini kamarnya pun dibiarkan menyala, agar tak mendengar suara-suara aneh pikirnya.

Chaca tiba di sekolah bertepatan dengan bel masuk berbunyi, ia segera mengambil langkah seribu agar cepat sampai di kelasnya sebelum guru mendahuluinya.

Sandrina dan Berlin yang sudah berada di kelas dengan duduk manis itu dihebohkan dengan Chaca yang tiba-tiba masuk kelas sambil berlari.

Sandrina menaikan sebelah alisnya, menatap Chaca yang masih berdiri sambil memegangi lututnya dengan napas ngos-ngosan.

"Cha, lo kalo mau olahraga tuh di lapangan jangan di kelas," seloroh Sandrina.

"Hosh … hosh, Chaca tuh … gak lagi olahraga tau," ucap Chaca sambil mengatur napasnya.

"Yee … ya abis, lari-lari gitu kayak dikejar maling aja."

"Kalo maling, harusnya Chaca yang ngejar, bukan malingnya yang ngejar Chaca, gimana sih, San."

"Iya juga sih, ah seterah lo aja deh, Cha. Gue mau tidur," ucap Sandrina lalu memperbaiki posisi duduknya kemudian meletakkan kepalanya di atas meja.

Chaca melangkah meletakkan tas dan bokongnya di bangku yang berada di depan meja Sandrina. Chaca dan Berlin duduk bersama, sedangkan Sandrina memilih duduk sendiri karena bisa lebih luas dan leluasa pikirnya, urusan soal contek-mencontek ia tak pernah khawatir, karena dirinyalah yang biasa menjadi sumber contekkan karena otaknya yang encer, Sandrina adalah gadis cantik dan jenius, lengkap dengan sikap bar-barnya.

"Kok tumben siang, Cha. Bang El gak jemput?" Kini gantian Berlin yang menanyai Chaca.

"Iya, Elnath berangkat duluan, 'kan ada ujian praktek tuh, kalo Chaca ikut bareng Elnath malah kepagian, jadi Chaca naik ojol aja," terang Chaca sambil mengeluarkan kotak pensil dan buku tulis dari dalam tasnya.

"Ouh gitu, tapi kok siang banget sih?"

"Gimana gak siang, Chaca kemarin aja nggak tidur."

"Ya ampun, Cha. Pasti kemarin lo begadang buat nonton drakor ya? Kalo nonton tuh liat-liat jam juga kali, Cha. Kecuali malam minggu gitu,  lo bisa begadang sepuas lo," oceh Berlin menceramahi.

"Iya Berlian Valerin yang cantik, tapi masalahnya Chaca kemarin nggak lagi nonton drakor, tapi Chaca kemarin malem tuh lagi diter--"

"Selamat pagi anak-anak, silahkan berdoa terlebih dahulu, kelas akan saya mulai," ucap Bu Lina di depan kelas..

Ucapan Chaca terpotong karena Bu Lina yang memulai kelas tiba-tiba, padahal baru saja ia akan menceritakan kejadian semalam pada Berlin, eh malah Bu Lina udah nongol di kelas aja tanpa ia tahu kapan Bu Lina masuk.

"Sstt … nanti aja ceritanya, ada bu Lina tuh, nanti dihukum lo," ucap Berlin yang hanya diangguki oleh Chaca, ia menurut saja dengan ucapan Berlin dari pada dihukum oleh Bu Lina seperti waktu lalu.

Chaca membenahi posisi duduknya dan mulai berdoa bersama teman yang lain, lalu menyimak materi sejarah dari Bu Lina dengan seksama.

🍦🍦🍦

"What? Jadi semalem lo diteror?" pekik Sandrina tak habis pikir setelah mendengar cerita dari Chaca.

Chaca mengangguk sambil meneguk jus alpukatnya.

"Kok bisa, sih? Lo pernah buat salah ke orang?" tanya Berlin. Chaca hanya membalas dengan gelengan kepala.

"Hmm … blok aja nomornya, Cha," saran Sandrina.

Chaca menyodorkan ponselnya kepada Sandrina, membuat Sandrina mengernyit bingung.

"Apaan?" sebelah alis Sandrina terangkat.

"Benerin, Chaca nggak bisa," ucapnya enteng dengan sedotan yang masih ada di mulutnya.

"Yaelah … Hp doang mahal tapi yang make lemot." Sandrina langsung menyambar ponsel Chaca dan mengotak-atik benda pipih itu.

"Nih, udah." Sandrina mengembalikan ponsel Chaca padahal belum ada lima menit ia pegang.

"Hehe, makasih." Chaca menerima ponsel itu sambil nyengir.

"Lo udah ngomong ke Bang El?" tanya Berlin.

"Belum, tadi pagi 'kan Chaca gak bareng Elnath, nih Chaca mau samperin Elnath," jawabnya lalu menyedot jus alpukatnya hingga tandas tak tersisa.

"Yaudah Chaca ke tempat Elnath dulu ya." Chaca beranjak dari duduknya.

"Mau kita temenin?" tawar Sandrina.

"Nggak usah, Chaca sendiri bisa kok."

"Oh yaudah deh."

Chaca langsung bergegas meninggalkan kantin dan menuju ke lantai tiga. Ia menyusuri lorong dengan langkah santai, sesampainya di lantai tiga Chaca sedikit terkejut dengan suasana di sana, bisa-bisanya di sini ramai sekali tapi di lantai satu dan dua seolah sedang tidak ada apa-apa. Lorong lantai tiga kini dipenuhi siswa-siswi yang mondar-mandir, sibuk dengan tugas masing-masing, sebenarnya ini adalah acara penilaian, tapi malah terlihat seperti acara pameran. Chaca berjalan pelan di antara siswa-siswi kelas dua belas yang mengenakan baju batik, ia berusaha berjinjit agar dapat melihat lebih jelas, matanya menyorot ke sekeliling untuk menemukan sosok kekasihnya.

Chaca berjalan tanpa memperhatikan langkahnya, tiba-tiba ia tersandung kaki seseorang yang tampaknya memang disengaja hingga membuatnya jatuh tersungkur.

"Hahahah, rasain." Airin menertawakan Chaca yang terjatuh.

Chaca menoleh ke arah suara itu dan menemukan Three Angle yang sedang menatapnya sambil bersedekap tangan.

"Wah ketemu Cupu nih, kebetulan gue kangen banget nih sama lo, sini gue bantu." Aura tersenyum miring sambil mengulurkan tangannya.

Chaca tak yakin dengan uluran tangan itu, ia kini berada di posisi serba salah, jika menolak ia pasti akan membuat Aura marah, dan jika diterima, Chaca tak yakin kalau nasibnya akan bagus. Dengan ragu-ragu, Chaca menerima uluran tangan itu, dan benar saja, Aura langsung melepaskannya dan membuat Chaca terjatuh kembali.

"Ops, sorry hahahah." Aura tertawa disusul oleh dua temannya.

Chaca menghela napasnya dan mulai bangkit sendiri, ia menepuk-nepuk pelan roknya yang kotor bekas mencium lantai.

"Mau apa?" tanya Chaca to the point.

"Wih, Peka banget Cupu kita ini gengs, baguslah kalau lo udah tau. Jadi gimana? Udah ngadu belum sama kak Elnath?" tanya Aura dengan nada meremehkan, dan dibalas gelengan oleh Chaca.

"Bagus deh, sebenernya enak lho kalau nurut sama gue, hidup lo bakalan tetep tentram di sekolah ini," ucap Aura sambil melangkah mendekat ke Chaca lalu mengambil beberapa helai rambut Chaca dan memainkannya.

"Chaca!" panggil Elnath dari kejauhan sambil melambai-lambaikan tangannya di udara dengan senyum mengembang.

Chaca, Aura dan kedua temannya spontan menoleh ke arah Elnath. Aura segera memalingkan wajahnya dan lebih mendekat ke wajah Chaca lalu berkata sesuatu.

"Gue tunggu kabar baiknya lo putus dari Elnath, oke?" tutur Aura lalu menghempaskan rambut Chaca yang sempat ia mainkan, tepat di wajah Chaca. Kemudian Aura dan kedua temannya melangkah pergi meninggalkan Chaca.

"Hai, Cha." sapa Elnath yang baru sampai di hadapannya.

"Eng … hai, El. Gimana? Lancar?"

"Giliranku masih nanti, jadi belum tau deh, doain ya," ucap Elnath dengan senyum mengembang.

"Tadi ngobrol sama siapa?"

"Hah? Oh, itu, tadi, apa namanya … eng, ngobrol sama temen," jawab Chaca bingung.

"Oh." Elnath manggut-manggut mengerti.

"Oh iya, El. Ada yang mau Chaca omongin ke Elnath," tutur Chaca mengingat niat awalnya untuk menghampiri Elnath kemari.

"Apa? Ngomong aja."

"Jadi kemarin itu pas habis kamu pulang, aku itu di--"

"El!" panggil seorang teman Elnath dari kejauhan, membuat Chaca mendengus kesal dan meniup poninya ke atas karena lagi-lagi ucapanya dipotong ketika ingin bercerita.

"Bentar ya, Cha."

Doni melangkah ke arah Elnath dengan sedikit terburu-buru, wajahnya tampak panik.

"El, itu …."

"Napa, Don?" tanya Elnath bingung ketika melihat rekan satu kelompoknya panik seperti itu.

"Itu … anu."

"Iya anu apa?"

"Laptop tim kita tiba-tiba blank," jelasnya.

"Hah? Kok bisa? Semua data kita buat presentasi ada di situ, Don. Gimana ceritanya kok bisa gitu?" Kini Elnath menjadi lebih panik.

"Gue juga kagak tau, tiba-tiba aja gitu, mending lo ke sana aja deh buat cek sendiri."

Elnath memalingkan pandangannya untuk menatap Chaca dan berusaha tenang.

"Lo balik duluan aja, bentar lagi gue nyusul," titahnya pada Doni.

"Jadi, gimana tadi ceritanya?" tanya Elnath lembut, namun Chaca dapat melihat  jelas di wajah Elnath kalau pemuda itu sedang panik saat ini.

"Eh, emm … lain waktu aja, Elnath buruan balik ke kelas, gih! Temen-temen butuh Elnath tuh. Semangat ya," ucap Chaca pada Elnath, ia memilih untuk mengurungkan niatnya, saat ini tugas Elnath sedang bermasalah, ia tak mau menambah beban pikiran Elnath.

"Uh, makasih ya, Sayang. Aku pergi dulu, daa," ucap Elnath kemudian langsung melenggang pergi setelah mengecup singkat kening Chaca.

Chaca mengerti keadaan Elnath, ia akan menceritakannya lain waktu saja. Bel masuk pun berbunyi, Chaca memutuskan untuk kembali ke kelasnya. Baru beberapa langkah ia berjalan, ponselnya bergetar dan menampilkan notifikasi dari nomor tak dikenal.

+62963741xxx
You not lucky, Baby.

***

Jangan lupa tinggalkan jejak, Vote dan Komen ya gais.
Para readers maupun silent readers, aku tetap menghargai kalian karena sudah menyempatkan waktu buat membaca cerita ini :')
Love you all :)

See u on next Chapter👋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#nubargwp