Chapter 9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

🍦 Selamat Membaca 🍦

~ Jika kamu ditakdirkan untukku, sejauh apapun kamu, kita akan dipersatukan oleh waktu yang tepat.~

~ Rafaelnath Adeleon.

***

+62963741xxx
You not lucky, baby.

Seketika wajah Chaca menjadi pucat dengan bola mata yang hampir keluar ketika membaca pesan itu, lagi-lagi nomor tak dikenal. Chaca mulai celingak-celinguk untuk memastikan apakah ada yang sedang mengawasinya, namun sudah tidak ada siapapun di koridor itu kecuali dirinya, karena seluruh siswa siswi sudah kembali ke kelas masing-masing, setelah bel masuk berbunyi tadi.

Koridor saat ini benar-benar sepi, sungguh tertib murid di sini, pantas saja jika SMA Garuda menjadi sekolah unggul, karena tidak hanya prestasi yang tinggi dari sekolah ini, tetapi juga sikap dan ketertiban.

Chaca memutuskan untuk kembali ke kelasnya, ia berlari sekuat tenaga agar dapat sampai dengan cepat. Keringat mulai bercucuran di pelipisnya, entah keringat karena berlari, atau karena pesan tadi.

Ting.

Ting.

Ting.

Notifikasi terus berbunyi, membuat Chaca menghentikan langkahnya dan membuka pesan-pesan itu dengan dada naik turun mengatur napas.

+62963741xxx
Aku tidak akan main-main lagi dengan kamu.

+62963741xxx
Kekasihmu saat ini sedang dalam masalah bukan?

+62963741xxx
Tenang saja, ini masih hal kecil. Semakin kamu macam-macam, kekasihmu tidak akan selamat.

Jantung Chaca mendadak berpacu sangat cepat, Chaca tak habis pikir, orang ini bagaikan bayangan yang tak terlihat, ia mengetahui seluruh gerak-gerik Chaca dan apa yang sedang terjadi padanya, bahkan saat Chaca berada di sekolah. Pikirannya langsung melayang kepada Elnath.

"Elnath, ini adalah ujian penting Elnath, dan sekarang laptop kelompoknya bermasalah, Elnath dalam masalah, orang ini benar. Apa orang ini yang lakuin semua itu?" tanya Chaca pada dirinya sendiri, ia sungguh panik saat ini. Chaca menggigit bibir bawahnya, tangannya gemetar memegang benda pipih itu, Chaca memilih untuk melanjutkan larinya ke kelas untuk memberitahu Sandrina dan Berlin, mungkin mereka bisa membantunya.

Sesampainya di depan kelas, Chaca melihat sudah ada Bu Ratna di dalam yang sedang mengajar, lagi-lagi dirinya terlambat masuk kelas. Chaca memberanikan diri untuk masuk.

"Permisi, Bu," ucap Chaca sambil menatap Bu Ratna guru matematika itu takut-takut.

"Dari mana saja kamu?" ketus Bu Ratna dengan kacamata bulatnya serta bibir yang senantiasa merah merona itu, Bu Ratna termasuk guru killer di sekolah ini, bukan Bu Ratna saja sebenarnya, kebanyakan guru di sini killer. Kini Chaca menjadi pusat perhatian seisi kelas, termasuk Sandrina dan Berlin yang sudah komat-kamit sejak tadi, berdoa agar temannya yang lumayan lola ini tidak tertimpa hukuman lagi.

"Da-dari t-toilet, Bu," jawab Chaca mencari-cari alasan.

Bu Ratna memandang Chaca intens dari ujung rambut hingga ujung kaki, memastikan apakah bocah itu berbohong atau tidak, yang ditatap sudah tertunduk takut sambil mengigit bibir bawahnya dan memainkan jarinya.

"Ya sudah, silahkan masuk," ucap Bu Ratna setelah selesai mengamati Chaca, ia percaya dengan alasan yang Chaca buat, setelah melihat beberapa bulir air yang berada di wajah Chaca, ia berpikir kalau Chaca habis cuci muka.

"Terimakasih, Bu." Chaca langsung nyelonong masuk dengan sedikit membungkukkan badan ketika melewati Bu Ratna.

"Baiklah anak-anak, kita lanjutkan materinya," ucap Bu Ratna lalu berbalik menghadap papan tulis.

"Lo dari mana aja, sih?" bisik Berlin dengan raut wajah gemas menatap Chaca.

"Lo sekarang doyan keluyuran ya dodol," timpal Sandrina sambil mendorong ringan pundak Chaca.

"Ih, Chaca itu nggak keluyuran, kalian juga tau kalau Chaca lagi samperin Elnath tadi," jawab Chaca dengan wajah panik sambil sesekali melirik ke arah Bu Ratna yang sedang menulis di papan, ia bahkan tak bisa duduk tenang di kursinya, pikirannya masih pada pesan itu.

"Lo kenapa sih dateng-dateng panik banget?" Berlin mengernyitkan dahinya, heran melihat Chaca yang tampak gelisah.

"Au tuh, napa sih?" Sandrina menimpali.

"I-itu San, Ber. Yang neror Chaca, chat Chaca lagi."

"Gue 'kan udah blok nomornya, Cha," sahut Sandrina.

Chaca tak membalas, ia langsung merogoh saku roknya dan mengambil ponselnya untuk ditunjukkan pada Sandrina dan Berlin.

"Gila ni orang, maunya apa, sih?" umpat Sandrina walau dengan nada berbisik, setelah membaca pesan itu sekilas.

"Segitunya ngincar bang El, tuh bocah laknat buat salah apa sih sama orang?" sambung Sandrina.

"Chaca juga nggak tau, San. Kemarin pas Elnath ke rumah Chaca, dia kayak lagi ada masalah gitu, habis Elnath pulang malah Chaca diteror. Oh iya, Chaca juga diikutin orang pake baju item-item pas dari Mini market, terus tadi juga laptop kelompok Elnath tiba-tiba bermasalah, pokonya Chaca kena masalah terus deh akhir-akhir ini." Chaca membeberkan apa yang dialaminya.

"Lo sekarang harus hati-hati deh, Cha. Kemana-mana harus ada yang nemenin," saran Berlin, sedangkan Sandrina tampak berpikir.

"Oh iya, waktu lo nangis di UKS terus baju lo basah waktu itu kenapa? Apa ada hubungannya sama ini?" tanya Sandrina tiba-tiba, membuat Chaca bungkam.

Tentu tidak ada hubungannya pikir Chaca, karena waktu itu yang melakukannya adalah Aura, dan dia tidak akan mengatakan hal itu pada Sandrina dan Berlin.

"Ah, eng … gak ada kok, waktu itu Chaca cuma kepeleset hehe." Chaca memasang cengiran polosnya.

Ting.

Ting.

Ting.

Ponsel yang ada di genggaman Chaca mendadak berbunyi di saat yang tidak tepat. Chaca, Sandrina dan Berlin kompak terkejut dan menoleh pada Bu Ratna yang sudah memandang mereka dengan tatapan tajam seperti hendak menguliti mereka hidup-hidup. Chaca hanya bisa menepuk jidat, bodohnya Chaca lupa mematikan nada dering ponselnya, karena peraturannya ponsel tidak boleh menyala ketika KBM berlangsung.

"Kalian ini! Saya sedang menerangkan bukannya memperhatikan malah ngobrol sendiri!" sentak Bu Ratna sambil melotot.

"Hehe, maap, Bu." Sandrina malah cengengesan membuat Bu Ratna geleng-geleng kepala.

Bu Ratna melangkah mendekat, sambil memainkan penggaris di tangannya. "Kamu juga, sudah datang terlambat, main ponsel lagi. Bawa sini ponsel kamu, dan silahkan ambil di ruang BK sepulang sekolah nanti," tutur Bu Ratna seraya menengadahkan sebelah tangannya pada Chaca, hendak menyita ponselnya.

Mau tak mau Chaca memberikan ponselnya dengan terpaksa, bentuk kerucut itu sudah menghiasi bibirnya saat ini.

"Huuu …. " ejek seisi kelas.

"Perhatikan pelajaran saya baik-baik, kalau tidak mau saya jemur di lapangan," tegas Bu Ratna dengan ponsel Chaca yang sudah ada di genggamannya.

"Baik, Bu," jawab mereka bertiga kompak, lalu membenarkan posisi duduk masing-masing kemudian memfokuskan pandangan pada papan tulis yang berisikan angka-angka membosankan itu.

🍦🍦🍦

Bel pulang sekolah sudah berbunyi lima menit yang lalu, tetapi Elnath dan kelompoknya masih berada di dalam kelas dengan raut wajah yang tampak kesal dan gusar.

Elnath menekan-nekan tombol spasi dan on/off di laptop berwarna putih itu dengan kesal.

"Argh! Kenapa nggak bisa, sih!" kesal Elnath seraya menutup laptop itu kasar. Ia mengacak rambutnya frustasi, kemeja batiknya pun sudah tak tertata rapi di tubuh tegapnya itu. Teman kelompok Elnath yang ada di sana hanya bisa duduk dan diam menerima amukan dari ketua kelompoknya.

"Sorry El, gue beneran gak sengaja," ucap Faisal dengan nada bersalah.

"Kenapa nhgak ada yang nurut sama perintah gue, sih! Gue udah bilang buat salin datanya di flashdisk dulu, tinggal salin doang apa susahnya sih? Lagian kalian itu juga udah termasuk enak, kalian tinggal nulis data yang gue kasih di laptop, nggak mikir dan nggak perlu meras otak sama sekali! Terus kalau udah kayak gini, kita gak punya cadangan sama sekali!" omel Elnath dengan pedas, meluapkan rasa kesalnya pada anggota kelompoknya, mereka hanya diam menunduk karena menyadari, bahwa memang mereka lah yang salah. Mereka tak berani menatap mata Elnath yang sedang berapi-api.

Davon hanya pasrah memandangi laptopnya yang menjadi korban amukan Elnath saat ini. Ia merutuki dirinya sendiri, karena malah mengajak Faisal bermain PS di laptopnya sebab bosan menunggu giliran mereka untuk presentasi. Mengajak Faisal bermain game sepertinya suatu kesalahan, Faisal adalah tipe-tipe penuh ambisi, siapa yang menyangka kalau Faisal akan spontan menonjok laptop itu karena kalah darinya.

"El!" panggil Aurel dari ambang pintu dengan wajah sumringah. Elnath, Faisal, Davon dan Lucy kompak memandang kearahnya.

Aurel melangkahkan kakinya mendekat untuk bergabung di antara mereka berempat.

"Gue bawa kabar bagus," ucapnya seraya menatap temannya satu per satu.

Elnath menautkan alisnya, masih tak mengerti.

"Jadi gini, Profesor Robert ngasih kita kesempatan sampai besok buat presentasi, profesor tunggu di kantornya besok jam 10," jelas Aurel sambil tersenyum bangga, tak sia-sia ia berada di ruang juri cukup lama, usahanya memohon agar kelompoknya masih diberi kesempatan, berhasil.

Raut wajah Elnath yang semula serius kini perlahan tersenyum senang.

"Lo yang bener, Rel?" tanyanya masih tak percaya, ia pikir usahanya agar mendapat kesempatan pertukaran pelajar akan hilang hanya karena game bodoh itu. Aurel mengangguk mantap, teman-temannya pun tersenyum dan saling melempar pandangan lega.

"Nanti malam kita lembur, kita nggak boleh main-main kali ini. Yaudah, sekarang kita balik dulu ntar ngumpul di rumah, emm …," Elnath tampak bepikir.

"Gimana kalau di rumah Aurel?" saran Lucy. Elnath menoleh ke arah Aurel, kode meminta izin.

"Eh, di-di rumah g-gue? Kayaknya nggak bisa deh, di rumah lagi ada acara nyokap soalnya, sorry banget, ya," jawab Aurel seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, entah mengapa, Aurel terlihat sangat gugup.

"Di rumah gue aja, El, Itung-itung nebus kesalahan gue tadi." Faisal memberi usul.

"Yaudah deh, berarti ntar jam empat, kita ngumpul di rumah Faisal," putus Elnath dan semuanya mengangguk menuruti instruksi dari Elnath.

Elnath mulai megemasi barang-barangnya, sekarang sudah lewat 30 menit dari jam pulang sekolah, kekasihnya pasti sudah menunggu lama.

"El, lo ke rumah gue sekarang aja ya, gue nggak tau apa yang di siapin, dan di rumah gue itu jauh dari toko alat tulis. Lucy juga ikut buat bantuin kita," pinta Faisal. Elnath tampak berpikir, yang dikatakan Faisal ada benarnya, kali ini dirinya harus memastikan semuanya benar-benar siap.

"Yaudah, tapi gue bilang ke doi gue dulu, ntar gue nyusul," jawab Elnath, seraya memasukan alat tulis ke dalam tasnya.

***

Yuk Vote dan Koment biar aku semangat next😃

See u on next chapter😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#nubargwp