𝐆𝐔𝐀𝐑𝐀𝐍𝐓𝐄𝐄: BAB 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

BRAK!

Suara gebrakan meja terdengar begitu kencang hingga memenuhi keheningan di ruangan itu. Yeonjun, seseorang yang baru saja membuat suara ricuh di sore hari yang cerah ini, terlihat sangat marah begitu ia selesai membaca baris demi baris tulisan di lembaran kertas pada dokumen yang baru saja diserahkan kepadanya.

"Keparat mana yang sudah berani mencuri uangku sebanyak itu? Apa dia gila?" tanya Yeonjun yang emosi sambil memijat pelipisnya. Lelaki itu pun langsung bangkit dari kursi kebanggaannya, berjalan melewati salah satu anak buahnya yang masih setia berdiri di depan meja sembari menundukkan kepala saking takutnya melihat bos di perusahaan tersebut kini tengah mengamuk.

Bagaimana bisa Yeonjun tidak mengamuk jika uangnya baru saja dicuri dalam jumlah yang tidak sedikit, bahkan bisa dibilang sangat banyak. Baru saja ia mencoba untuk mempercayai perusahaan lain dan membuat kontrak kerja sama, siapa sangka jika dananya akan digelapkan oleh pihak satunya hingga perusahaan milik Yeonjun harus menerima kesialan. Dia sama sekali tidak bisa membiarkan hal ini lewat begitu saja, pria itu menginginkan uangnya kembali.

"Aku akan memberi pelajaran pada mereka semua, aku akan menuntut mereka sekarang juga," final Yeonjun yang terdengar tidak mau menerima bantahan apapun lagi. Belum sempat ia mendengar persetujuan, pria itu sudah lebih dulu pergi meninggalkan ruangan pribadinya untuk turun ke kafetaria di lantai dua. Dia butuh sesuatu yang manis untuk menyegarkan otaknya yang rasanya akan meledak sebentar lagi.

Sebenarnya bisa saja Yeonjun melepaskan uang yang sudah digelapkan tersebut, hanya saja dia sudah belajar untuk tidak membiarkan hal seperti ini dilewatkan begitu saja jika tidak ingin terulang kembali. Setidaknya ia ingin melihat pelaku penggelapan dana menerima hukuman atas perlakuannya meski uangnya pun kemungkinan tidak akan kembali seutuhnya.

Jika ditanya sebesar apa kekayaan lelaki itu, tidak perlu diragukan lagi. Sejak ia memegang perusahaan dan menjadi direktur utama, dirinya sudah bisa menjalankan semuanya dengan baik bahkan di minggu pertamanya. Banyak kenaikan pesat yang begitu melonjak hingga akhirnya bisa membawanya sampai ke sini. Siapa yang dulu meragukan kesuksesan dirinya di masa depan? Orang itu pasti akan sangat menyesal sudah mengatakan hal tersebut, karena pada kenyataannya Yeonjun sampai detik ini bisa hidup dengan sangat layak.

"Tolong carikan aku informasi mengenai perusahaan keluarga ini," ujar Yeonjun yang berbicara lewat telepon di tangan kiri, sedangkan di tangan kanannya sudah ada segelas iced vanilla latte.

"Jangan lewatkan sedikit pun informasi soal mereka, aku ingin ikut untuk mengurus semuanya bahkan hingga ke penerusnya sekali pun," katanya kembali memberikan perintah pada seseorang di sebrang telepon lalu mematikan sambungannya.

Tidak butuh waktu yang lama untuk dirinya segera mendapatkan notifikasi email dari sekretarisnya tersebut. Dengan sedikit terburu ia langsung membuka laptop dan membaca isi berkas yang diterimanya. Dahi pria itu mengernyit ketika membaca satu nama yang tertera dalam daftar, ia mencoba untuk memeriksa sekali lagi untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Beberapa menit setelah selesai membaca semua berkas berisi biodata mengenai pemilik perusahaan yang telah merugikannya tersebut, Yeonjun pun langsung mendial satu nomor paling atas yang memang sudah bekerja bersamanya selama dua tahun ini. Salah satu orang terdekat yang sudah menjadi seseorang yang paling ia percaya.

"Kau tidak mengirim berkas yang salah, bukan?" tanya Yeonjun tanpa menyapa atau basa-basi terlebih dahulu. "Benar ini data pemilik perusahaan itu?"

Sekretarisnya di sana mengangguk secara reflek meski Yeonjun tak mungkin dapat melihatnya. "Iya, itu data yang benar, Pak," jawabnya singkat namun tegas membuat Yeonjun langsung mendesah pelan.

"Ada apa?"

"Taehyun," panggil Yeonjun yang mengabaikan pertanyaan sang sekretaris yang bernama Taehyun tersebut.

"Ya?"

"Kau tau siapa mereka?"

"Tidak," jawab Taehyun. "Aku tidak tahu mengenai keluarganya, tapi jika kau tanya pemegang perusahaan itu. Ya, aku tahu. Direktur perusahaan itu bernama Mr. Choi," jelasnya secara jelas kepada atasannya. "Apa ada yang salah?"

Yeonjun menghela nafasnya, ia sejujurnya tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ada perasaan senang melihat nama itu muncul, namun ada juga sedikit rasa cemas.

"Kau tahu siapa nama anaknya?"

"Maafkan aku, tapi aku tidak tahu. Yang kutahu hanya sebatas beliau memiliki satu anak laki-laki saja---"

"Hei, berhenti bicara formal padaku seperti itu, Taehyun-ah," kata Yeonjun yang memotong ucapan Taehyun sebelumnya. "Kita hanya bicara berdua sekarang, tidak ada yang melihat juga jadi kau santai saja seperti biasanya," ujarnya kembali lalu tersenyum simpul.

Taehyun di tempatnya pun menghela nafasnya secara samar. "Aku terbiasa untuk bicara formal padamu sejak kau menjadi direktur utama, hyung. Apalagi ketika membahas soal pekerjaan seperti ini," kata pria itu yang akhirnya bisa mulai berbicara lebih santai. Yeonjun terkekeh mendengar panggilan 'hyung' pada ucapan Taehyun barusan meski tidak ada yang lucu sama sekali dari panggilan itu.

"Jadi kau sungguh tidak tahu? Kau belum melihat datanya?" tanya Yeonjun yang kembali membawa topik soal pekerjaan mereka lagi.

"Tidak."

"Kau kenal Choi Soobin, bukan?"

"Kenapa tiba-tiba kau menyebut namanya?" Taehyun mengernyitkan dahinya begitu mendengar nama yang tidak asing. Dia sedikit merasa was-was, Yeonjun tidak bisa dibilang 'waras' jika sudah menyangkut seseorang dengan nama itu. Taehyun sudah cukup lama berteman dengannya untuk tahu hal itu. "Kau bilang sudah menyerah untuk mencarinya?"

"Sepertinya takdir memang memihak kepadaku," kata Yeonjun tidak jelas membuat Taehyun semakin mengernyitkan dahinya.

"Apa maksudmu?"

"Kau akan tahu setelah membaca file yang baru saja kau kirim kepadaku beberapa menit yang lalu," ucap Yeonjun yang tidak bisa menahan senyumannya. Beruntung ia sedang berada di ruangannya sendiri, jika tidak dia bisa saja dianggap gila oleh orang-orang. "Kalau begitu aku tutup telponnya," katanya yang kemudian memutus panggilan secara sepihak dan membiarkan sekretarisnya itu untuk membaca kembali berkas yang ia kirimkan.

***

Siang hari di kantor penerbitan.

Tidak ada yang berubah, semua tampak normal, sama saja seperti hari-hari biasanya. Namun ada satu orang yang tampak tidak bersemangat dan lesu hari itu, ah tidak, bahkan sudah sejak beberapa hari yang lalu wajahnya tak menampakkan senyuman cerah seperti yang selalu ia tunjukkan setiap harinya. Sudah beberapa kali ia mendapatkan pertanyaan yang sama berulang kali, seperti saat ini.

"Soobin," panggil seorang pria berumur sekitar tiga puluhan yang kebetulan lewat sambil menepuk pundak lelaki berwajah muram itu. "Apa kau baik-baik saja?" tanyanya dengan raut wajah khawatir.

Namun jawaban lelaki akan selalu sama setiap mendapatkan pertanyaan tersebut.

"Tentu. Aku hanya kurang tidur akhir-akhir ini," jawab Soobin yang lalu mencoba menunjukkan senyumannya meski selalu saja gagal. Rasanya sangat sulit untuk mengangkat kedua sudut bibirnya ketika di pikirannya setiap detik terus berdenging menyuarakan masalah yang baru-baru ini menimpa perusahaan ayahnya. Dia tidak bisa tersenyum bahkan meski terpaksa, wajahnya sangat kaku.

"Astaga kau ini, Soobin kau masih muda! Jangan biarkan pekerjaan membuat waktu tidurmu terganggu, kau harus bisa setidaknya tidur enam jam perharinya."

Soobin hanya tertawa hambar membalas ucapan tersebut, sejujurnya ia sendiri pun tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Mungkinkah pria di hadapannya kini bisa membantunya dan meminjamkannya uang agar masalahnya selesai dan lelaki itu bisa kembali mendapatkan jam tidur normalnya lagi? Memikirkan hal itu saja sudah membuat Soobin meringis.

Seandainya saja.

Pria itu langsung meninggalkan Soobin di depan mesin minuman begitu mereka selesai berbincang singkat. Sembari memilih minuman yang akan ia beli di mesin minuman, pikirannya mulai kembali memikirkan hal lain. Ia teringat akan percakapannya dengan Beomgyu kemarin malam dan bibirnya secara otomatis langsung tersenyum tipis begitu memikirkannya kembali.

"Oi, kau kemana saja menghilang dua hari tanpa kabar? Sudah lupa padaku, huh?" sapa Beomgyu malam itu yang tiba-tiba berkunjung ke rumahnya tanpa pesan apapun. Bahkan ia bisa masuk ke kamar Soobin dengan mudah seperti ini sudah menjadi rumahnya sendiri.

"Beomgyu, apa kau ada uang?"

"Kenapa tiba-tiba menanyakan pertanyaan yang konyol?" Beomgyu mengernyitkan dahinya, kebingungan. Baru saja ia datang namun sudah ditodong dengan pertanyaan semacam itu. "Kau lebih kaya dariku, seharusnya aku yang tanya," kata lelaki berambut hitam tersebut yang langsung mendekat dan duduk di pinggir kasur, sedangkan Soobin tampak berbaring di atas kasur dengan wajah yang lemas.

"Tunggu, kau sakit?" tanya Beomgyu yang berubah panik ketika menyadari raut wajah pucat teman masa kecilnya itu. "Kau sudah makan?" tanya pria itu lagi dan dijawab dengan gelengan pelan oleh Soobin.

Beomgyu tanpa beban langsung memukul lengan Soobin, kesal. "Kenapa kau tidak makan bodoh?! Lihat wajahmu sekarang, sudah seperti zombie. Cepat bangun dan makan, jangan seperti anak kecil," omelnya seperti seorang ibu yang tengah memarahi anaknya yang demam. Namun tidak seperti biasanya, jika biasanya Soobin akan tertawa setelah ia pukul tetapi sekarang pria itu justru hanya terdiam membuat Beomgyu khawatir.

"Soobin, kau kenapa?"

Soobin bangun dan duduk berhadapan dengan Beomgyu, wajahnya seperti sudah tidak tidur semalaman dengan kantung mata hitam di bawah matanya.

"Kau sungguh tidak punya uang yang bisa kupinjam?"

"Memangnya kau butuh berapa?"

"Aku tidak tahu, tapi mungkin lebih dari seratus miliyar...."

"Kau gila ya? Mana mungkin aku punya uang sebanyak itu," balas Beomgyu yang menganga begitu mendengar nominal uang yang disebutkan oleh Soobin. "Oh astaga, Soobin. Jangan bercanda aku sedang lelah sekali setelah seharian menjaga toko."

"Apa aku terlihat sedang bercanda, Beomgyu?" tanya Soobin dengan wajah yang datar, namun Beomgyu bisa melihat dengan jelas kesedihan terpancar dari matanya. Mereka pun terdiam dan hanya saling menatap selama beberapa saat.

"Soobin, ada apa?" tanya Beomgyu yang akhirnya sadar jika memang ada masalah pada temannya, wajahnya berubah cemas suaranya pun juga ikut berubah lebih lembut dari sebelumnya.

"Aku butuh uang itu," kata Soobin dengan suara yang sedikit pelan. "Perusahaan appaku terkena masalah, kami terseret penggelapan dana yang pamanku perbuat hingga berhutang sangat banyak pada perusahaan lain, aku benar-benar tidak tahu harus mencari kemana lagi...."

"Kemana pamanmu itu pergi? Dia tidak mau bertanggung jawab??"

Soobin menekuk kedua kakinya dan menyembunyikan wajah pada lipatan tangan, mencoba sebisa mungkin untuk tidak menangis di hadapan Beomgyu. "Paman sudah pergi melarikan diri ke luar negeri, appaku bahkan sudah tidak bisa menghubunginya lagi."

"Brengsek."

Beomgyu sebagai satu-satunya teman yang kini berada di dekat Soobin pun secara naluri langsung mendekatkan diri dan menarik Soobin ke pelukannya, ia menepuk punggung pria itu mencoba untuk menyemangati.

"Aku akan membantumu," ujar Beomgyu. Soobin yang rupanya sudah menangis langsung melepaskan pelukan mereka dan menatap Beomgyu terkejut.

"Bagaimana caranya?"

"Aku bisa memberikan toko kueku sebagai tambahan jaminan."

Soobin menggeleng kencang. "Tidak!"

"Hanya itu yang kupunya untuk sekarang, atau kau bisa mengambil sertifikat rumahku. Aku bahkan bisa memberikan tubuhku jika perlu---"

"Beomgyu jangan gila!" potong Soobin setengah berteriak ketika Beomgyu terus saja menyebutkan hal-hal yang semakin tidak memungkinkan. "Aku tidak akan segila itu untuk menerima bantuan seperti ini darimu," katanya yang menggeleng-geleng dengan kuat membuat Beomgyu mendengus pelan.

"Makanya kau berhenti lah memasang wajah seperti dunia akan kiamat besok," balas Beomgyu yang kembali pada sifat aslinya lagi, lelaki itu terkikik pelan ketika melihat Soobin yang cemberut.

"Kita pasti bisa mencari jalan keluarnya, aku sungguh akan membantumu," kata lelaki yang lebih muda kembali bersuara. Soobin tersenyum, ia sudah merasa lebih baik sekarang setelah berbicara dengan Beomgyu meski belum bisa menemukan titik terang. Setidaknya ia punya seseorang untuk menumpahkan semua kecemasannya, dan dia percaya dengan ucapan tetangga masa kecilnya tersebut.

"---pasti bisa mencari jalan keluarnya."

Betapa beruntungnya Soobin bisa mendapatkan seorang teman yang sangat perduli kepadanya baik di masa senang maupun sulit.

Tanpa sadar dirinya sudah berdiri di depan mesin minuman dengan senyuman sambil melamun. Setelah selesai membeli sekaleng kopi, pria itu pun berniat untuk kembali masuk ke kantor dan melanjutkan pekerjaannya. Namun baru beberapa langkah berjalan suara dering pada ponselnya terdengar.

"Halo appa?"

"Soobin-ah..." Suara ayahnya terdengar melemah di ujung sana, membuat Soobin pun menautkan kedua alisnya kebingungan.

"Ya?" Baik Soobin mau pun sang ayah terdiam. Dia mencoba untuk menunggu ayahnya bicara, namun tidak terdengar suara apapun bahkan setelah beberapa detik berlalu, hal itu membuatnya semakin kalut memikirkan sesuatu yang tidak-tidak. Soobin menggeleng kencang, mencoba membuang segala pikiran negatif yang ada di kepalanya saat ini.

"Appa, ada apa?" tanyanya yang kembali bersuara dengan nada khawatir.

"Appa tidak tahu harus melakukan apa lagi, appa minta maaf," ujar ayahnya yang akhirnya mau bersuara. Namun ucapannya barusan sama sekali tak membuat perasaan sang anak tenang sedikit pun. "Soobin jangan membenci appa karena ini ya?" katanya lagi yang membuat Soobin langsung merasa sedih.

Pria itu mencoba untuk tersenyum sekali lagi, dia mengerti bagaimana perasaan ayahnya sekarang. "Appa, sudah Soobin bilang bukan? Soobin akan segera cari jalan keluarnya. Appa tenang saja!" ucapnya dengan yakin, mengabaikan hati kecilnya yang ragu dengan ucapannya sendiri.

"Soobin, appa benar-benar minta maaf..."

"Appa---" ucapannya terhenti begitu ia melihat seseorang yang berhenti di depannya. Kedua mata Soobin melebar beberapa detik, tanpa sadar ia bahkan membuka mulutnya.

"Soobin-ah," sapa orang itu dengan senyuman khas yang sudah lama sekali tidak Soobin lihat.

"Yeonjun hyung...?"

Pria itu, Yeonjun, melebarkan senyumannya ketika mendengar Soobin menyebutkan namanya. "Ya," jawabnya begitu bersemangat. Ia merasa senang karena rupanya Soobin tak sepenuhnya melupakan dirinya, pria itu masih mengingat namanya dengan jelas.

"Senang bertemu denganmu lagi, Soobin-ah." Lelaki itu kemudian mencoba untuk menggapai tangan Soobin, namun tidak berhasil karena ia segera menghindar begitu Yeonjun akan menyentuhnya.

"Kenapa kau bisa ada di sini?"

Bukannya marah karena baru saja mendapatkan penolakan secara mentah-mentah, Yeonjun justru kembali tersenyum dan dengan ringan ia kembali mendekat.

"Karena aku ingin bertemu dengan Soobin-ku setelah sekian lama."

"Hyung, kita sudah pernah membicarakan ini." Soobin mengernyitkan dahinya, tanda tidak paham. Dia sama sekali tidak mengerti jalan pikiran mantan seniornya yang satu ini. Sudah lewat beberapa tahun sejak terakhir mereka bertemu dan tiba-tiba dia datang dengan menyebut Soobin sebagai kepemilikannya, apakah itu wajar? Soobin tidak habis pikir.

"Aku sudah menolakmu waktu itu, bukan?" kata Soobin yang mencoba meluruskan kembali permasalahan di masa lampau. Melihat Yeonjun yang justru melangkah semakin mendekat ia pun mundur selangkah demi memberi batasan. "Tolong jangan mendekatiku lagi."

Tidak mau mengindahkan permintaan Soobin barusan, Yeonjun justru kembali meraih tangan lelaki itu dan kali ini berhasil. "Iya, aku ingat," katanya. Pria itu dengan sembarangan mengecup punggung tangan putih milik Soobin hingga membuatnya merinding. "Kau menolakku tanpa ragu waktu itu.

"Tapi tidak dengan sekarang," kata Yeonjun. Ia sudah kembali berbicara ketika Soobin baru saja akan membalasnya. "Soobin milikku sepenuhnya dan aku tidak perlu mendengar penolakan lagi."

"Apa maksudmu?"

Soobin sama sekali tidak mengerti maksud ucapan Yeonjun, bagaimana mungkin orang yang sudah ia tolak beberapa tahun lalu bisa seenaknya datang dan memaksa dirinya untuk menjadi miliknya begitu saja. Bukankah ini bisa disebut tindakan kriminal, ia baru akan berteriak meminta tolong namun suara Yeonjun sudah kembali terdengar.

"Kau bisa bertanya langsung pada ayahmu, telepon kalian masih tersambung kan?"

Yeonjun melirik ke bawah, tepatnya ke arah tangan kiri Soobin yang menggenggam sebuah ponsel berwarna hitam. Ia langsung tersadar jika selama ini panggilannya masih terhubung, apa itu artinya ayahnya sudah mendengar semua percakapan mereka? Soobin kembali menaruh ponsel pada telinganya, ia pun akhirnya mencoba bertanya sembari melirik ke arah Yeonjun yang rupanya masih saja tersenyum.

"Apa maksud ucapannya itu appa?"

"Ini cara satu-satunya agar kita tidak hidup sengsara di kemudian hari, Soobin." Betapa terkejutnya Soobin begitu mendengarkan jawaban dari sang ayah, secara spontan ia langsung menutup mulut. Soobin tidak sebodoh itu untuk tidak memahami situasi bahwa artinya dirinya baru saja dijual kepada Yeonjun oleh ayahnya sendiri.

"Appa menjualku pada pria ini?!" teriak Soobin yang menarik perhatian beberapa karyawan yang kebetulan melewati tempat tersebut, namun tampaknya ia masih terlalu syok sampai tidak mengacuhkan keberadaan mereka semua. "Appa tega padaku?" Soobin masih tidak bisa percaya jika memang benar dirinya telah dijual, bagaimana mungkin ayahnya bisa setega itu meski hutang yang mereka tanggung memang sangat besar.

"Soobin, appa minta maaf...."

Perasaan kecewa langsung memenuhi hatinya begitu mendengar permintaan maaf tersebut, semua ini masih terlalu mengejutkan untuk bisa dipercaya. Padahal ia sudah berjanji untuk mencari uangnya, masih ada sisa waktu untuk berusaha namun ayahnya justru memilih cara ini.

"Appa, aku sudah bilang akan mencari uangnya," kata Soobin setengah frustasi, suaranya bahkan terdengar seperti rengekan anak kecil tanpa memerdulikan bahwa masih ada satu orang yang setia memperhatikannya sedari awal. Ia rasanya ingin menangis.

"Kau tidak mungkin bisa mendapatkan uang sebanyak itu hanya dalam waktu satu bulan, Soobin."

"Aku bisa meminjam ke bank!"

"Tidak, Soobin.... Kau sama saja menggali lubang yang lain, di masa depan kita tetap akan dikejar oleh hutang jika kau melakukan cara itu. Uang yang kau pinjam tidak akan sedikit dengan bunga yang mungkin akan membengkak nantinya."

Soobin terdiam, ia tidak tahu harus menjawab apalagi. Semua yang dikatakan ayahnya barusan tidak ada yang salah, bagaimana pun mencari uang dengan jumlah sebesar itu adalah hal yang mustahil untuk dilakukan dalam waktu yang singkat. Tapi rasanya Soobin masih tidak bisa menerima jika dirinya sudah dijual.

"Soobin-ah," panggil Yeonjun ketika melihat Soobin yang terdiam sambil menggigit bibir bawahnya kuat, tapi panggilannya hanya diabaikan.

"Appa sungguh akan menjualku? Appa tega melakukan itu padaku?" suara Soobin lagi berbicara pada ayahnya. Tidak ada jawaban apapun, namun perlahan Soobin bisa mendengar suara tangisan pelan yang seketika langsung meruntuhkan segala emosinya. "Appa, maaf ... aku tidak berniat untuk menyakitimu...."

"Soobin-ah," panggil Yeonjun sekali lagi. Soobin akhirnya mau mengangkat kepala dan melirik ke arahnya, namun pria itu sama sekali tidak bersuara.

"Aku tidak membelimu sepenuhnya," kata Yeonjun yang membuat Soobin langsung menatapnya, seperti mendapatkan secercah harapan meski ia masih tidak mengerti semua ini.

Sebelum melanjutkan ucapannya dengan Yeonjun, dia memutuskan untuk mematikan teleponnya yang masih terhubung pada ayahnya. Hatinya cukup emosional untuk berbicara pada ayahnya saat ini, dia ingin meluruskan semuanya dengan Yeonjun terlebih dahulu.

...........o0o...........

A/N:

Sebelumnya mau kasih tau biar gak ada yang protes di tengah cerita nanti; I know Soobin is not the only child, dia punya kakak dan dia anak terakhir, tapi untuk di cerita ini aku buat dia jadi anak tunggal demi kepentingan dan kelangsungan cerita. Jadi mohon pengertiannya ya, tolong bedakan dunia fiksi dengan dunia nyata. Terima kasih sudah membaca

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro