Bab 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

William sibuk membersihkan luka Federica, walau sesungguhnya hal itu sia-sia untuk manusia rubah. Namun, dia bersikukuh melakukan itu, seolah tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa anak angkatnya itu. Kematian Alice dan Jessica yang mengenaskan, masih membekas dan tidak bisa dilupakan begitu saja, hingga Federica muncul di rumah dengan darah yang telah mengering di tubuh kurusnya.

Beberapa kali pria tua menggerutu layaknya orang yang khawatir terhadap anak karena Federica tidak mau menunggunya di sekolah dan memilih pulang sendiri. Jika gadis berhidung lancip itu manusia biasa, mungkin William akan membiarkannya, tapi nyatanya tidak. Tewasnya dua vampir di Hobart tidak membuat Federica serta-merta aman begitu saja. Apalagi dia bukan gadis biasa, walau ramuan dari buku kuno telah membuatnya hidup seperti layaknya anak-anak remaja.

Gadis keras kepala itu mengembuskan napas sambil mendesis akibat cairan alkohol yang mengenai luka di lengan kirinya. Padahal Federica sudah menjelaskan hingga ratusan kali, bahwa luka di tubuhnya akan meregenerasi sendiri tanpa harus dibantu obat, akan tetapi William sama keras kepalanya. Mata hazelnya beralih melirik lelaki berkacamata yang memandangnya balik tanpa dosa, di samping kedua telinganya masih mendengar omelan William.

"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Federica dengan tatapan selidik. Suaranya sedikit meninggi dan mengintimidasi, William melirik agar Federica merendahkan suaranya sedikit. "Aku hanya bertanya padanya, William."

"Aku mendengar suara keributan saat melintasi daerah itu," jawab Ethan melipat kedua tangannya di dada.

"Alasan yang tak logis," dengkus Federica dengan mata menyipit tak percaya. "Kau mengikutiku?"

Ethan menggeleng cepat seraya tertawa. "Tidak. Untuk apa? Sungguh aku mendengar keributan dan ternyata kau di sana dengan vampir sialan itu."

"Sudahlah, Fed," lerai William sadar ketika omelannya diabaikan Federica. "Yang penting kau selamat." Tangan kanan lelaki itu menempelkan plester cokelat untuk menutupi luka di siku Federica.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Federica dengan nada tak suka, mengabaikan nasihat William. Bahkan dia tidak bisa melihat angka dan huruf yang mengitari tubuh lelaki itu, Federica mengumpat menyalahkan dirinya sendiri jika Ethan tahu siapa dirinya.

Ethan memutar bola matanya kesal, bosan dengan pertanyaan yang diajukan selalu sama. "Aku Ethan Harrison. Usia enam belas tahun, tidak suka belajar tapi berharap dapat nilai A. Apa kau puas?"

Refleks tangan kanan Federica melempar gunting ke arah Ethan karena kesal membuat William melotot ke arah gadis itu. Untung saja gunting keperakan yang dilemparnya mampu ditangkap dengan tangan kiri Ethan begitu sigap. Federica mengedikkan kedua bahu lalu berkata, "Dia membuatku jengkel. Aku bertanya dengan benar 'kan?"

"Dan aku menjawab dengan benar pula 'kan?" balas Ethan mengembalikan gunting itu kepada William. "Baiklah, Nona Yang Sangat Penasaran."

Kedua tangan yang menampakkan vena-vena yang begitu kentara itu melepas kacamata hitam bulat yang membingkai mata hitam dengan bulu mata lentik. Detik berikutnya, iris mata gelap Ethan berubah menjadi kuning keemasan yang begitu menyala, apalagi sinar senja membuat mata Ethan terlihat berkilauan.

Mulut Federica menganga lebar, bersamaan dengan aroma tubuh Ethan yang begitu khas di hidungnya. Aroma tubuh serigala dengan kabut abu-abu yang mengelilingi tubuh anak laki-laki itu kini terlihat sangat jelas. Tidak sampai di situ, Ethan pun menunjukkan tangan kirinya yang mendadak tumbuh bulu-bulu yang serupa dengan warna kabut di tubuhnya. Federica pun tersenyum kagum.

"Sekarang tanpa kuberitahu, kau sudah tahu siapa aku 'kan?" tanya Ethan, memasang kembali kacamatanya. Iris mata laki-laki itu kembali berubah menjadi kehitaman dengan aroma tubuh yang kembali tersamar. "Dan sekarang aku bertanya, siapa kau?"

"Bagaimana bisa?" gumam Federica yang kini merasa takjub mengabaikan pertanyaan Ethan. "William, apa aku bisa seperti Ethan?"

William dan Ethan saling berpandangan. Sejujurnya, William begitu ingin pingsan melihat peristiwa aneh di depannya ini. Lagi-lagi dia harus berhadapan dengan manusia yang benar-benar bukan manusia. Ethan si anak serigala, tentu saja William berpikir dia adalah santapan yang bagus untuk seekor serigala muda. William menelan ludah sambil membereskan alat-alat P3K miliknya.

"Tentu saja kau bisa," sahut Ethan. "William, jangan takut padaku. Kami tidak memakan manusia apalagi yang sudah tua seperti dirimu," jujur laki-laki itu membuat William semakin kikuk.

"Ba-baiklah. Akan kutinggalkan kalian berdua. Ehm ... apa kau mau minum teh?" tawar William.

Ethan menggeleng. "Tidak. Bolehkah aku meminta segelas jus?"

William mengangguk lalu dia pergi meninggalkan dua remaja itu di ruang tamu. Kini Ethan menopang dagunya memandangi Federica dengan lekat. Tahu apa yang dipikirkan si manusia serigala, Federica beranjak lalu duduk di samping kanan Ethan dan berkata,

"Ini rahasia besar antara kau dan aku, Ethan," kata Federica mengunci manik mata Ethan.

Laki-laki itu mengangguk.

"Apa ada manusia lain seperti dirimu?" tanya Federica. "Dan apakah benar ada vampir di sekolah kita? Berapa jumlah mereka di—"

"Wow,wow, hold on, girl. Pertanyaanmu terlalu banyak. Otakku bisa meledak!" seru Ethan.

William datang seraya membawakan dua gelas jus strawberry dengan camilan biskuit yang dia beli di supermarket kemarin. Dia pun meletakkan gelas itu di atas meja ruang tamu lalu duduk di kursi di depan Ethan.

"Kota ini cukup banyak menyimpan misteri, Federica," ujar Ethan, "dan seperti yang kau tahu, kami semua memiliki wilayah teritorial untuk menjaga kedamaian para manusia murni. Jika kau ingin tahu klan apa saja, aku tidak bisa menyebutkan semuanya. Namun, yang dominan adalah para vampir."

"Kenapa?" sahut William dengan menaikkan sebelah alisnya.

"Vampir telah berkembang pesat dari waktu ke waktu Mr. Dawson, terutama sejak perang blood moon terakhir tahun..."

"1866," sahut Federica diikuti anggukan Ethan. "Apa kau tahu apa yang terjadi setelah itu?"

"Tidak tahu persis, hanya desas-desus bahwa klan rubah telah musnah begitu saja karena klan ular. Bukankah itu berbahaya? Kau tahu kan mitos sang half blood? Vampir berlomba-lomba mencari cara untuk membangkitkan Grim Ripper dari percampuran darah antar klan."

"Siapa itu Grim Ripper? Memangnya apa yang terjadi padanya?" tanya Federica pura-pura tak tahu.

"Tentu saja itu pimpinan vampir terkuat, Fed, mereka rela memberikan darah mereka asal si sialan itu hidup kembali. Jika Grim Ripper bangkit, maka klan lain siap-siap menjadi budak terutama kami. Sungguh vampir adalah klan paling menyebalkan yang ingin aku musnahkan."

"Kenapa kau tidak melakukannya? Bukankah sekarang mereka adalah klan terlemah?"

Ethan menaikkan sebelah alisnya. "Ya, memang, tapi bisa saja kan saat ini mereka sedang membuat aliansi. Apalagi kudengar banyak orang hilang. Dan ... hei, mengapa kau tahu banyak?" Jari telunjuk Ethan menunjuk Federica dengan tatapan selidik, sadar bahwa siswa baru itu lebih paham mengenai kejadian nahas yang pernah terjadi. "Kau ... bukan salah satu dari mereka, atau yang lainnya kan?"

William dan Federica saling berpandangan cukup lama. Kedua manik mata William menyiratkan gadis cantik itu untuk mempercayai Ethan saja.

"Sebenarnya ...," Federica menggantungkan kalimatnya lalu mencari sebuah kertas. Sejenak gadis itu bangkit meraih tas sekolahnya, mengambil buku dan menuliskan sebuah kalimat bahwa dia adalah anggota terakhir klan rubah yang dimusnahkan tahun1866.

Lelaki berambut hitam legam itu berpikir cukup lama hingga tiba-tiba dia mengumpat keras, bangkit dari posisi duduknya dengan mata membelalak. Tentu saja Ethan tidak percaya begitu saja dengan apa yang ada di hadapannya sekarang. Mustahil jika sosok anak perempuan yang baru masuk sekolah pagi ini adalah anggota terakhir klan rubah yang selamat. Ethan berpikir dirinya pasti bermimpi atau terlalu banyak membaca sehingga otaknya mulai tak waras.

"Dia benar," sahut William. "Aku yang melihatnya secara langsung, Ethan."

Ethan masih terdiam berusaha mencerna kalimat William. Dia tertawa lalu berkata, "Ti-tidak mungkin. Aku pasti bermimpi, ah ... terlalu banyak makan junk food membuat otakku lemah."

Ethan menepuk kedua pipinya lalu mengucek kedua mata yang terbingkai kacamata itu. Tapi, tetap saja tulisan Federica yang tidak seberapa bagus untuk dibaca masih tertera di sana. "Jangan mengaku-ngaku Fed, ini bukan lelucon anak kecil. Jika mereka tahu kau adalah anggota terakhir yang selamat, maka dipastikan kau terancam bahaya. Apalagi ...."

"Liam Turner," potong Federica diikuti anggukan kepala Ethan. "Aku sudah tahu itu."

"Ya, si Turner bodoh itu. Dia vampir, Fed." Ethan mengernyitkan keningnya dalam. "Tunggu! Bagaimana kau tahu dia ... vampir? Apa dengan penglihatan supermu itu?"

Federica mengangguk sambil menyunggingkan senyum lebar. "Ya .. begitulah. Aku bisa melihat semuanya."

Ethan meraba tubuhnya kemudian menyilangkannya. "Kau tidak melihat warna celana dalamku, 'kan?"

William tertawa terbahak-bahak hingga air matanya keluar, sedangkan Federica justru mendengkus kesal sambil memutar bola matanya. "Untuk apa aku melihat itu? Sama sekali tidak menarik. Jadi--"

"Tetaplah kau sembunyikan identitasmu. Kumohon jangan bertingkah di depannya, sekali pun kulihat kau sangat ingin menelannya bulat-bulat. Aku takut jika kau ketahuan olehnya, vampir tidak pernah bisa dipercaya, oke."

Federica mengangguk. "Kau bisa jaga rahasiaku? Demi keamanan klanmu, Ethan."

"Aku berjanji demi nyawaku, Fed."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro