11. Sakit tak berdarah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malik berjalan menyusuri kantor milik Reno. Cowok itu membawa makan siang untuk Papanya tersayang itu dengan terpaksa. Tentu saja, jika Gina tidak menyuruhnya, Malik mana mau melakukan ini semua.

Saat ia membuka pintu, ia dikagetkan dengan sosok sekretaris Papanya yang tengah saling tatap dengan Reno. Malik diam di tempatnya. "Kamu tau kejadian dua bulan yang lalu itu atas dasar ketidak sengajaan, Mel."

"Pak, Bapak tega telantarin anak bapak sendiri?"

"Sudah saya bilang, saya akan bertanggung jawab atas itu. Masalah biaya, kamu nggak usah khawatir. Saya akan penuhi semuanya, dengan syarat, jangan pernah kamu usik rumah tangga saya."

Tangan Reno dibawa ke perut wanita itu. Yang Malik lihat, wanita itu menangis di tempatnya. "Pak, ini anak Bapak. Darah daging bapak."

BOOM

Tangan Malik terkepal di sisi jaitan celananya. Cowok itu langsung bergegas pergi meninggalkan ruangan itu.

Hatinya hancur, sakit, kecewa secara bersamaan. Papanya yang selalu ia jadikan panutan, malah lebih brengsek daripada apa yang ia kira.

Malik tidak bisa membayangkan jika Gina--Mamanya tau soal ini. Malik juga bersyukur karna Gina menyuruhnya hari ini, ia tidak tau bagaimana akhirnya jika tadi ...Gina yang datang kemari.

"Mbak, ini tolong kasih ke Papa. Bilang aja yang anter ojek online," ujar Malik. Setelahnya, ia benar-benar pergi meninggalkan kantor itu dengan langkah besarnya.

Diperjalanan, Malik membawa motornya dengan kecepatan diatas rata-rata. Ia tak peduli jika ia mati saat ini juga. Ia yakin, keluarganya tidak akan baik-baik saja setelah ini.

Ia yakin, beberapa hari kedapan, akan ada pertengkaran hebat antara Gina dan juga Reno. Yang menjadi fikirannya adalah Leo, pria kecil itu masih terlalu dini untuk mengerti persoalan ini.

Ia takut Leo akan menjadi anak broken home nantinya. Seketus apapun Malik pada Leo, Leo tetap adiknya. Leo tetaplah orang yang mesti Malik jaga.

Brak

Sreett

"Akh--"

Malik memukul stang motornya dengan kesal. "Kenapa jatoh segala sih?!" kesalnya.

Lutut dan sikutnya terasa perih karna bergesekan dengan aspal. Malik berusaha mendirikan motornya kembali. Menaikinya dan kembali membawanya dengan cepat.

Tujuannya saat ini adalah Devano. Ia membutuhkan Abangnya yang satu itu.

Sesampainya di markas, Malik langsung membuka jaketnya dan ia lempar dengan asal. Malik langsung bersandar pada punggung sofa semua yang melihat itu, sontak mengalihkan pandangannya pada Malik. "Kenapa lo, Tong?" tanya Johan.

"Kenapa kek, Bang, suka-suka gue," jawab Malik ketus.

"Ye ... Bocah. Ditanya baik-baik jawabnya ngegas kaya motor baru di servis," sahutnya.

Malik berdecak kesal, "Bang Devano mana?" tanya Malik.

"Biasa, ngapel ke rumah Yayang Indira tersayang," balas Justin.

Malik berdecak kesal. Cowok itu memejamkan matanya kuat. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Menyembunyikan semuanya, atau memberitahu pada Mamanya?

Plak

Malik melotot. Cowok itu langsung beranjak, "Maksud lo apa?!" pekik orang itu.

"Lo yang apa?!" tanya Malik tak kalah ngegas.

Gadis itu memicing tak suka menatap Malik. "Gue nyuruh lo jaga Ashila, bukan buat bikin dia nangis, ya! Lo itu maunya apa sih?!" pekiknya kesal.

"Lo yang maunya apa? Nggak ada yang bikin dia nangis, fitnah mulu hidup lo, sinting," ujar Malik kesal.

"Eh, gue tau, ya? Dia nangis waktu lo bilang mau bawa dia ke studio. Terus, kalo bukan gara-gara lo, gara-gara siapa? Setan?" tanya Helen tak terima.

Malik mengacak rambutnya frustasi. Tidak cukupkah ia memikirkan masalahnya dulu?

"Gue udah berusaha nolak permintaan lo, dan lo tetep maksa gue. Masih mau nyalahin gue? Satu-satunya orang yang harus di salahin itu lo! Lo, Helen!" teriak Malik.

Helen membuang arah pandangnya. Gadis itu menangis, "Gue kira, lo beda sama cowok lain. Ternyata lo sama aja."

"Nggak usah terlalu berharap sama gue!" jawab Malik.

Setelahnya, cowok itu kembali meraih jaketnya dan bergegas pergi meninggalkan markas. Ditto yang melihat itu memicing tak suka, belum sampai Malik ke pintu menuju ke parkiran, Ditto sudah terlebih dahulu menyerang Malik dari arah belakang.

Bugh

Malik tersungkur. Cowok itu langsung beranjak, menatap Ditto dengan emosi yang tiba-tiba saja meledak di dadanya. "MAKSUD LO APA, ANJING?"

BUGH

Pukulan Malik pada rahang Ditto, sukses membuat cowok itu tertabrak pada tembok. Malik mencengkram kerah kemeja milik Ditto dengan emosi yang sudah tak dapat ia tahan lagi.

Bugh

Bugh

Bugh

"Lik! Udah, Lik! Mati nanti anak orang," pekik Johan.

"Lo, banci! Berani lo bentak cewek yang gue suka!" kata Ditto susah payah.

Malik menatap Ditto tajam. "Gue nggak suka sama Helen asal lo tau! Dia yang maksa gue, dia yang semaunya, lo fikir gue nggak terbebani sama permintaan dia?" tanya Malik dengan nafas yang tak lagi beraturan.

"Lo yang banci! Kenapa nggak dari dulu lo bilang sama Helen?" tanya Malik lagi.

Malik menghempaskan tubuh Ditto hingga membentur dinding. Cowok itu melepas jaket bertulisan Saghost di dada bagian kirinya.

Ia menyerahkannya pada Johan. "Gue keluar!" putusnya.

"Lik!"

Setelahnya, Malik benar-benar pergi meninggalkan markas itu. Mungkin, ini hari terakhirnya ia berkunjung kemari.

***

Esoknya, Malik tidak terlihat seperti biasanya. Wajahnya datar, rambutnya acak-acakan, seragam keluar dengan dua kancing terbuka dan menampakan baju hitam di sana. "Kak Malik! Ya Allah, ganteng banget sih!"

Jika biasanya Malik akan mengedipkan satu matanya, sekarang tidak, ia merasa risih dengan itu. Cowok itu berdecak kesal dan memilih membelokan tubuhnya memasuki kelas.

"Nah, kemana aja lo, Lik?" tanya Rizki saat mendapati Malik yang baru saja sampai.

"Ada," jawabnya singkat.

"Ebuset singkat bener," sahut Ucup.

Hanin beranjak. Gadis itu menyingkirkan tubuh Fatur agar tidak menghalangi jalannya.

Di tangannya, ia membawa tepak berisikan makanan buatannya sendiri. "Aku bikin brownies. Mau nggak?" tanya Hanin setelah mendudukan dirinya di samping Hanin.

"Boleh, suapin," jawab Malik dengan kekehannya.

Hanin membukanya. Meraih sendok, kemudian memotong kecil dan menyodorkannya pada mulut Malik.

Malik menerimanya, cowok itu terdiam sesaat. "Makanan apaan, nih?!" tanya Malik sewot.

Hanin diam. Gadis itu merubah ekspresinya menjadi sedih. "Nggak enak, ya? Yaud--"

"Enak banget, mau lagi dong," pinta Malik dengan senyum konyolnya.

Hanin mendengkus kesal. Gadis itu memukul pundak Malik kesal. Namun, matanya terpaku pada sudut bibir Malik yang terlihat lebam.

Hanin meletakan makanan dan sendoknya. "Ini kenapa?" tanya Hanin.

Malik diam saat Hanin menyentuh sudut bibirnya. Cowok itu menepisnya pelan. "Nggak papa," jawabnya.

Mata Hanin kembali terpaku pada lengan Malik. Gadis itu meraihnya, terdapat beberapa goresan luka di sana. "Ini juga, kamu jatoh?" tanya Hanin panik.

"Kemarin, Nin. Aku nggak papa," jawab Malik lembut.

'Ada yang lebih sakit daripada ini, Nin. Hati aku.'

***

"Sayang! Sayang liat sini dong, sayang!"

Ivi bergidik ngeri melihat wajah Rizki yang terlihat begitu menyeramkan baginya. "Rizki! Jauh-jauh lo!" pekik Ivi dengan sebelah tangan yang mendorong wajah lelaki itu.

"Aduh, Sayang. Kamu kok gitu sih, Sayang?" tanya Rizki lagi.

"DENAA! DENA JAUHIN GUE DARI MAHLUK TUHAN SATU INI, YA ALLAH, ASSTAGFIRULLAHALAZIM," pekik Ivi dengan tubuh yang langsung ia larikan ke belakang tubuh Dena.

Rizki tidak menyerah. Cowok itu masih kekeuh menghampiri Ivi. Dena menahan kepala Rizki bak kerbau yang akan menyeruduk mangsanya. "KALUAR SIA!" teriak Dena.

[Keluar lo!]

Mulut Dena komat-kamit bak dukun yang tengah menyembuhkan pasiennya. "SAHA IEU?!" teriak Dena lagi dengan tangan yang masih berada di kepala Rizki

[Ini siapa?]

"AING MAUNG, GRAAURR!" jawab Rizki dengan tangan yang seolah akan mencakar Dena.

Ivi masih bersembunyi di belakang tubuh Dena. "Kemasukan setan dia, Vi. Kuncinya lo harus balikan sama dia," ujar Dena.

Ivi melotot. Gadis itu langsung keluar dari persembunyiannya, menjambak kepala Rizki dengan gemas. "SADAR, KI! SADAR! BUMI UDAH TUA!"

"AH, SAKIT-SAKIT!" pekik Rizki tak kalah kencang.

Ivi melepaskan jambakannya dengan kesal. "Den, ayo ah! Balik ke kelas. Enek gue lama-lama liat mantan sinting kaya dia!" kesal Ivi.

Setelahnya, Ivi langsung menarik Dena agar pergi dari kantin. Rizki langsung tertawa memegangi perutnya sendiri, tanganya menunjuk ke arah punggung Ivi yang mulai menjauh. "Gue di sebut sinting!" pekiknya girang.

Ucup, Fatur, Daffa, Hanin, dan Malik menganga tak percaya. "Lo seneng di sebut sinting?" tanya Hanin.

"Panggilan sayang Ivi ke gue itu," jawabnya.

"Kekey gimana?" tanya Ucup.

Rizki diam. "Udah di cium pangeran lain dia, sedih gue," jawab Rizki lesu.

"Tapi nggak papa! Gue masih ada Ivi," lanjutnya senang.

"Orang kalau susah move on, jatohnya jadi kaya orang sinting gitu emangnya?" tanya Fatur.

Hanin mendelik. "Kaya lo waktu putus sama Dena, sampe nggak mau makan seminggu," sindir Hanin.

"Hooh, yang diem-diem nyuruh gue anterin pentol. Tapi ngasihnya harus lewat kaca," sahut Rizki.

"Mampus," jawab Ucup senang.

"Kenapa jadi gue yang kena?" kesal Fatur.

"Muka lo cocok buat bahan hujatan sih," sahut Daffa.

Malik hanya tersenyum. Rizki dan Ucup, dua remaja itu sama-sama hidup tanpa Ayah. Tapi, mereka begitu beruntung karna memiliki teman-teman yang selalu ada.

Malik juga beruntung bisa bertemu mereka. Jika suatu saat Mama dan Papanya benar-benar berpisah saat kebenaran terbongkar, setidaknya, Malik masih memiliki teman yang mau menemaninya. "Nin," panggil Malik pelan.

"Iya?"

"Aku sayang kamu."

"Jangan berubah, ya?" sambungnya.

TBC

Kesan pertama saat baca part ini?

Ada yang ingin di sampaikan untuk

Hanin

Malik

Reno

Ditto

Helen

Rizki

Fatur

Daffa

Rizki

Ivi

Dena

See u next part<3

Guys, follow RP Instagram kita yuk!

@hanind_mheswra. (Hanin)
@malikrezayn_. (Malik)
@daff.aprasetyo. (Daffa)
@fatur_mhndra. (Fatur)
@gisela_ivi. (Ivi)
@alfariza_ucup. (Ucup)
@hana_frhsy. (Hana)
@dena.andrianaaaa. (Dena)
@ana_andhina. (Ana)
@rizki.anshari_ (Rizki)
@Nayya_graceva.a. (Nayya)

Follow juga ; @Wattpadindah_. & @Octaviany_Indah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro