🔆First Time🔆

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Kadang orang memilih menyendiri bukan karena untuk mengasingkan diri. Namun, adakalanya sudah lelah dengan kejamnya dunia fana~

***
Hidden Paradise  by Galuch Fema


Happy reading jangan lupa vote

Satria yang sedang mengambil makan yang sudah disiapkan Astari seketika terlonjak kaget, bahkan tongkat yang selalu menemaninya menggelinding jatuh entah ke mana. Teriakan perempuan itu mengisyaratkan jika ada sesuatu dengan Astari.

Satria berjalan cepat sambil menyeret kakinya yang masih belum sempurna untuk melangkah menuju kamar di samping tangga. Ada rasa ragu untuk masuk ke dalam karena ia meninggalkan sesuatu di kamarnya. Namun, untuk situasi mendesak seperti ini ia urungkan untuk kembali ke kamar.

Baru juga hendak membuka pintu, tiba-tiba Astari sudah membuka pintu terlebih dahulu dengan wajah ketakutan. Apalagi sekarang  tambah panik melihat dirinya sehingga tak sadarkan diri.

“Tari....”

Perempuan itu sudah jatuh di atas lantai, Satria sangat panik karena tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya mengulurkan satu tangan ke depan hendak menangkap sebelum terjatuh tetapi sia-sia.

Satria melangkah pergi begitu saja meninggalkan Astari terbaring bersama dinginnya lantai. Satria berjalan dengan kaki diseret menuju depan perapian. Tangan kanan menyingkap kain hitam yang selama ini tak pernah lepas dari kursi sudut di sana. Laki-laki itu masih punya hati walaupun hatinya pernah disakiti oleh seseorang di masa lalunya.

Satria membawa Astari menuju kursi tersebut, cukup kewalahan juga karena kedua kaki belum bisa menumpu dengan membawa beban yang berat. Dalam kegelapan yang sudah menjadi temannya, ia bisa berjalan tanpa menyentuh atau membuat benda di sampingnya bergeser satu senti. Ia sudah paham letak-letak benda penghuni rumahnya. Ia terus merutuki keteledoran yang tak memakai penutup wajah sehingga Astari pingsan karenanya.

Peluh sudah membanjiri wajah Satria padahal di luar sana udara Baturaden sedang mencapai lima belas derajat Celsius. Ia lalu menyalakan tungku perapian agar udara di sini sedikit hangat. Tak lupa menyelimuti tubuh Astari dan membubuhkan sedikit minyak angin agar segera tersadar.

Pelan-pelan mata itu terbuka karena aroma menyengat di sekitar hidungnya. Entah sudah berapa lama ia terpejam tak sadarkan diri dan ketika netra terbuka dirinya sudah berada di sebuah kursi. Astari menoleh ke samping karena ada kehangatan di sana tetapi itu cuma sekejap ketika mata sekarang menoleh ke arah seseorang di ujung sana yang tengah duduk menyamping.

“Ka-kamu siapa?” tanya Astari sedikit ketakutan karena sebelum ia tak sadar sempat melihat wajah yang menyeramkan. Sekarang di ujung sana terdapat seorang laki-laki dengan kepala tertutup penutup sweater dan sebagian wajah juga sudah memakai masker.

“Istirahatlah, lampu masih padam.”

Astari kaget, ia mengenali suara itu. Suara yang sama saat dirinya tadi berbincang dengan seseorang di balik kamar sebelah tangga.

“Mas Sa-tria,” ucap Astari terbata-bata sambil menutup sebagian kepalanya. Ia bukan takut tetapi kepala yang tak tertutup kerudung membuat dirinya malu. Namun, Satria salah paham. Ia mengira Astari takut melihat kondisi wajahnya. Ia bergegas bangkit tetapi dicegah oleh Astari.

“Mau ke mana?” tanya Astari mengubah posisinya menjadi duduk tetapi selimut masih menempel di tubuhnya yang masih saja kedinginan.

“Kamar,” jawab Satria tanpa menoleh pada Astari.

Astari menelan salivanya. Satria orang yang ia kenal ternyata irit bicara. Beruntung laki-laki itu hendak ke kamar. Lagian suasana sekarang agak mendingan  karena hangatnya perapian. Mata Astari melihat dengan sempurna fisik laki-laki itu. Postur tubuh tinggi, badan lumayan berisi tetapi kaki yang sedikit di seret dan juga wajah menyeramkan tertutup masker.

Tiba-tiba terdengar suara berisik dari arah luar jendela membuat Astari dan Satria langsung saling menatap. Telinga Satria mempertajam suara yang masih terdengar, ia langsung meraih senter di meja dan tongkat untuk mempercepat langkahnya. Ia berjalan menuju jendela sambil menyibakkan tirai. Cahaya senter menembus gelapnya di luar tetapi tak menemukan sesuatu yang mencurigakan.

Astari sendiri menutup selimut sampai bawah mata, ia kembali teringat sosok di balik jendela kamarnya.

“Siapa yang berani masuk tempatku?” geram Satria geregetan karena baru kali ini ada yang mengusiknya malam hari. Ia mengarahkan senter dari ujung ke ujung halaman tetapi nihil hasilnya. Ia kembali menutup tirai serapat mungkin sehingga tak ada celah. Niat hati mau kembali ke kamar tetapi melihat Astari yang tengah ketakutan setengah mati membuat ia mengurungkan niatnya.

“Si-siapa di luar sana?” tanya Astari dengan gugup. Tubuhnya lagi-lagi menggigil karena ketakutan apalagi semakin malam udara di sini seperti menusuk tulang rusuknya.

“Entahlah.”

Satria bersuara dengan jawaban yang sangat singkat sambil memikirkan siapa sosok tadi. Hendak mengecek di layar tetapi karena listrik padam, ia tak bisa berbuat apa-apa.

Badan Astari semakin menggigil ditambah bersin yang tiada henti membuat hidungnya berwarna merah. Sudah beberapa helai tisu berserakan di bawah tetapi bersin itu belum kunjung reda.

“Tunggu sebentar!” perintah Satria sambil menuju ke dapur. Astari sendiri tak tahu apa yang akan dilakukan oleh laki-laki itu. Ia mendengar kompor yang dinyalakan kemudian suara sendok yang beradu dengan gelas. Sepuluh menit kemudian laki-laki itu datang membawa gelas untuk diserahkan kepada Astari.

“Minumlah!” perintahnya setengah memaksa.

Antara ragu dan takut, tangan Astari terulur menggapai gelas. Tak sengaja tangan mereka bersentuhan. Perempuan itu sangat kaget, ternyata tangan Satria lebih dingin darinya. Ia tak habis pikir kenapa Satria bisa sedingin itu seperti mayat. Gelas masih dalam genggaman Astari, ragu untuk meminumnya. Ada aroma jahe menyeruak hangat masuk ke dalam hidung tetapi Astari tak yakin jika di gelas tersebut tidak berisi hanya jahe saja, bisa jadi racun atau obat penenang di sana.

“Minumlah keburu dingin!”

Jantung Astari berpacu sangat cepat karena  tatapan Satria yang harus menyuruhnya minum saat ini juga.

“Aku tidak akan meracunimu.”

Sepertinya Satria paham apa yang dipikirkan Astari, ia langsung duduk bersebelahan dengan Astari tetapi posisi mereka sedikit berjauhan.  Perempuan itu langsung menghabiskan air jahe itu yang membuat tubuhnya menjadi hangat. Minuman buatan Satria terasa enak, perpaduan gula aren dan jahe sangat pas sehingga tidak terlalu pedas ketika menyentuh lidahnya.

Astari mengubah posisi menjadi duduk dan menghadap perapian seperti yang dilakukan Satria. Ia sendiri bingung ketika harus berduaan dengan laki-laki yang masih menutup sebagian wajahnya dengan masker.

“Kenapa kamu tidak menolak perjodohan ini?” tanya Satria secara tiba-tiba membuat Astari diam seribu bahasa.

Ingatan kembali pada Bapak yang selalu berharap dirinya segera menikah seperti adiknya walaupun impian pernikahan tak seindah yang ia bayangkan.

“Tidak ada alasan untuk mengelak,” jawab Astari dalam hati. Ia menatap tangan yang masih menggenggam gelas yang berisi separuh minuman yang sudah dingin. Apalagi pertanyaan barusan membuat suasana menjadi semakin dingin terlihat dari asap yang keluar saat berbicara.

“Aku tidak mencintai kamu.”

Astari tersenyum mendengar penuturan Satria. Entah mengapa hatinya sangat lega.

“Aku juga tidak,” balas Astari sambil menatap Satria yang terkejut mendengar balasan darinya.

Di luar dugaan mereka kedua tertawa terbahak-bahak padahal ini bukan lelucon atau sandiwara tetapi kenyataan yang harus mereka jalani untuk ke depannya. Astari memeluk perutnya yang sakit karena menahan ketawa. Ia meraih bantal yang digunakan menyangga kepala saat tak sadar kemudian memeluk bantal itu dengan erat. Mata melirik ke samping melihat laki-laki misterius yang masih dengan gelak tawanya walaupun tertutup masker.

“Bisa juga ketawa,” batin Astari.

Satria menyudahi tawanya karena baru sadar jika Astari tengah memperhatikannya.

“Lantas apa yang akan kita lakukan ke depannya?” Satria bertanya pada Astari untuk mencari solusi masalah yang sedang mereka hadapi.

“Entahlah. Mungkin jalani saja dulu.”

Satria dapat menerima masukan dari Astari. Perempuan itu menegakkan posisi duduknya kemudian menyilangkan kaki karena sedari tadi kaki terasa sangat dingin menyentuh lantai yang sudah seperti gua. Keduanya kembali lagi terdiam.

“Boleh aku bertanya sesuatu?” tanya Astari yang mimik wajahnya berubah menjadi serius karena selama ini ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.

Satria terdiam, selama ini ia enggan menanggapi pertanyaan yang ada sangkut pautnya dengan kehidupan dirinya. Karena selama ini pasti orang-orang bertanya kenapa dirinya memilih hidup sendiri dan mengasingkan diri.

“Apa?”

Astari menghela napas panjang karena Satria sudah kembali dengan suara khasnya, dingin dan tertutup.

“Kenapa kita menikah secara agama bukan negara?”

Satria menatap sosok di sampingnya sambil berucap, “Kamu ingin tahu jawabannya?”

Astari mengangguk dengan semangat.

“Aku sengaja memilih secara agama karena jika kamu sudah mengetahui fisik aku sebenarnya, maka kamu boleh memilih mundur sebelum kita terikat dan sah di mata negara. Aku tidak ingin kamu kecewa.”

Astari tak menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu. Ia mengira Satria memilih nikah secara agama karena pernikahan mereka tak mau diungkap ke publik ternyata ada alasan lain di balik ini semua.

“Bagaimana? Apa kamu mau mundur? Jika iya, besok aku antarkan  ke rumah orang tua kamu secara baik-baik.”

Astari wajahnya langsung berubah cerah, ia seperti menang undian. Ini adalah kesempatan emas yang tak akan ia dapatkan kembali. Pergi dari rumah ini dan menemukan kembali impiannya yaitu menikah bersama orang yang ia cintai walaupun entah itu siapa dan di mana.

“Bagaimana? Aku menghargai apa pun keputusan kamu,” paksa Satria menyadarkan lamunan Astari.

Astari tersenyum kemudian menatap Satria yang masih memperhatikan dirinya.

“Sepertinya aku....”

¤To be continue¤
















Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro