🔆Laki-laki Misterius🔆

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Malam itu indah dan panjang. Di saat semua orang merajut mimpi tetapi ada pula sebagian yang mewujudkan mimpi lewat lantunan doa~

***

Hidden Paradise by Galuch Fema


Happy reading jangan lupa vote

“Sepertinya apa?” desak Satria penasaran. Ia menginginkan perempuan itu memilih pergi bersama masa depannya bukan bertahan di tempat gelap seperti ini. Astari berhak hidup bebas dan bahagia, bukan menjadi korban perasaan atau pelarian atas kekecewaan masa lalunya.

“Sepertinya aku tidak bisa.”

Satria terperanjat kaget, lagi-lagi jawaban Astari di luar dugaannya. “Maksud kamu?”

Astari mencoba tersenyum. Seburuk apa pun sifat atau fisik laki-laki di sampingnya tak akan ada yang bisa mengubah jika Satria tetap menjadi imamnya.

“Aku akan bertahan di sini dan tidak akan pergi kecuali kamu benar-benar menyuruhku pergi atau maut yang membuat aku pergi.”

Tubuh Satria menegang. Entah mengapa Astari selalu pintar mengeluarkan kata-kata yang membuat dirinya syok dan mati kutu.

“Aku tidak ingin kamu kecewa,” bisik Satria pasrah.

“Tidak akan ada yang membuatku kecewa sekalipun takdir berkata lain,” balas Astari tersenyum menatap Satria. Astari sendiri bisa merasakan jika Satria sangat terkejut dengan ucapannya tetapi Astari sendiri tak peduli. Ia meraih bantal tadi untuk dijadikan tumpuan kepala setelah dirinya berbaring di kursi itu. Tak lupa menutup rapat tubuhnya dengan selimut karena Satria masih berada di tempat ini.

Satria sendiri merasa bimbang untuk kembali ke kamar. Rencananya untuk ke depannya bisa hidup sendiri lagi seperti kemarin ternyata dia salah. Ia menatap Astari yang sudah terpejam, sepertinya malam ini ia juga akan istirahat di sini bersama istrinya.

Astari sendiri bisa merasakan jika Satria perlahan dari kursi ini dengan sangat hati-hati karena takut membuat dirinya ikut terjaga. Ada rasa lega ketika mendengar tongkat itu sudah beradu dengan lantai menandakan laki-laki itu akan pergi. Namun, dugaan Astari salah karena usapan lembut berada di atas kepalanya. Mata Astari terpejam dengan kuat apalagi helaan napas hangat berada tepat di depan wajahnya tetapi ia memilih terpejam sangat erat karena takut kembali pingsan.

“Apa aku akan digigit dan diambil darahnya hseperti yang ada di film-film?” batin Astari terus menduga dan otak juga berpikir hal-hal negatif.

Tak disangka Satria pergi ke kamar membuat Astari lega setalah detak jantung yang sudah seperti lari maraton.

Udara pagi masih berselimut kabut tebal, risiko tinggal di kaki gunung Slamet membuat Astari selalu mandi pakai air hangat.  Setelah menyiapkan sarapan untuk Satria, perempuan itu memandang dinding ke belakang dekat dapur. Ia sangat penasaran dengan apa dibaliknya karena bangunan itu menyatu dengan rumah tua ini tetapi ia tak paham jalan masuknya dari mana.

“Apa sih di balik tembok ini,” gumam Astari sambil mengusap dinding yang berlumut tebal berhiaskan tanaman merambat di sana-sini.

Ponsel bergetar dan satu pesan mengagetkan Astari.

“Sudah sana berangkat tidak usah penasaran.”

Begitulah pesan di sana membuat Astari kaget setengah mati. Sepertinya gerak-geriknya selalu di awasi oleh Satria. Apalagi saat menginjak pertama kali di rumah ini, pemilik rumah sudah tahu kedatangannya tanpa harus mereka bertemu.

“Ada yang ganjil,” tukas Astari semakin penasaran. Ia memandang ke sekeliling dan memandang sebuah benda di pojok luar tepat di atasnya. Astari langsung berlari ke dalam dan mendapatkan benda yang sama di setiap ruangan. Dengan kesal, Astari langsung mengetuk pintu kamar Satria dengan kencang sambil memanggil nama Satria.

“Ada apa?” tanya Satria dengan suara yang panik masih di dalam kamarnya. Untung saja pintu sudah terkunci tetapi ketukan di sana masih saja terdengar bahkan teriakan di luar sana membuat Satria terpaksa membuka pintu.

“Ada apa?” tanya Satria sekali lagi. Ia melihat Astari yang berkacak pinggang. Pagi ini perempuan itu sudah lengkap dengan pakaian dinasnya. Wajah yang dipoles sedikit bedak membuat tampilannya berbeda tak seperti kemarin tetapi bagaimanapun penampilan Astari masih kalah cantik dengan masa lalunya.

“Pakai CCTV untuk mengawasi aku?” labrak Astari dengan tidak suka.  Tiga hari berada di sini tetapi baru sadar sekarang.

“Sudah lama.”

Wajah Astari semakin jengkel dan tidak ada rasa takut dengan siapa ia berhadapan.

“Pasang di kamar aku juga?” tanya Astari sambil menunjuk ke arah kamar di sebelahnya.

Satria hanya bisa tersenyum di balik masker yang ia kenakan tetapi Astari tetap saja tidak suka.

“Kabel yang ke kamar sudah aku putus.’

“Serius?”

“Cek saja jika tak percaya.”

Astari berbalik tetapi ia membeku ketika pergelangan tangan dicekal oleh Satria. Ia menghadap kembali ke belakang. Entah mengapa kulit laki-laki itu selalu terasa sangat dingin dan tidak ada kehangatan di sana.

“Di rumah ini kamu bebas ke mana saja asal bukan kamar aku dan ruangan lantai atas. Jangan sekali-kali kamu memasukinya karena nanti akan ada akibatnya,” ucap Satria setengah mengancam.

“Kenapa?” tanya Astari penasaran karena ia seperti dibukakan teka-teki yang harus ia ungkap. Sedari tadi masih penasaran dengan ruang dibalik tembok dapur dan sekarang Satria malah terang-terangan mengungkap tentang misteri kamar dan lantai atas.

“Pokoknya aku tak suka saja jika kamu berani sampai memasukinya.”

Suara Satria setengah terdengar mengancam, apalagi sekarang kedua alis saling bertautan karena sebentar lagi emosi akan meledak. Namun, perempuan itu tak takut karena semakin diancam pasti rasa penasaran itu semakin timbul.

Satria sendiri seperti bisa menangkap sesuatu jika perempuan itu sedang berpikir keras. “Jika kamu melanggarnya akan ada akibatnya termasuk....”

Astari menatap Satria yang tengah memperhatikan segala gerak geriknya.

“Hubungan pernikahan kita.”

Astari bisa mengondisikan perubahan wajah untuk tidak terkejut. Sepertinya ia harus melakukan permainan dan penyelidikan secara hati-hati karena sepertinya Satria bukanlah orang gampangan.

Sekali pun ia cacat tetapi pola pikir dengan memasang CCTV setiap sudut ruangan menunjukkan dia tak ingin kehidupan pribadinya terusik. Lagian siapa juga yang mau masuk ke dalam rumah mirip tempat untuk uji nyali seperti ini kecuali orang yang semalam mengintai mereka.

“Ada lagi yang belum jelas tentang peraturan di rumah ini?” tanya Satria karena Astari malah terlihat seperti melamun.

Astari pura-pura menggeleng dan menyetujui semua perintah Satria tetapi tidak dengan hatinya yang diliputi rasa penasaran yang hebat. Ia undur diri untuk berangkat kerja, untung sejak pindah di sini jarak tempuh dengan tempat kerjanya lumayan dekat.

Hari ini Astari sedikit kecewa karena kepergian ke tempat kerja tak lain untuk mengambil berkas-berkas administrasi selama satu Minggu ke depan. Setelah diberlakukan aturan baru terpaksa harus kerja dari rumah karena situasi pandemi. Nantinya ia akan tinggal seharian bersama laki-laki misterius itu. Ia pasti akan sangat kangen dengan Raden, padahal tujuan utama kerja adalah ketemu dengan Raden. Seperti saat ini yang dituju Astari tidak ada di tempatnya, mungkin karena efek matahari sudah menampakkan sinarnya sehingga Raden sudah boleh keluar.

Di tanah lapang yang serba hijau, Astari bisa melihat Raden bersama teman-temannya tetapi Astari hanya berhenti di sekitar pagar saja sambil menikmati suasana pagi yang begitu hangat. Asyik menikmati keindahan semesta tak menyadari jika rekannya sudah berada di sampingnya.

Happy wedding.”

Astari hanya bisa tersenyum ke arah Mbak Maya, ucapan itu entah sindiran atau pujian. Baginya ini sangat menyakitkan ketika kembali teringat ancaman Satria saat tadi pagi.

“Buat kenang-kenangan.”

Sebuah kartu penitipan dijulurkan dari tangan Maya untuk rekannya. Terpaksa Astari menerima sambil mengucapkan terima kasih.

“Kamu bahagia dengan pernikahan ini?”

Astari menghirup napas panjang kemudian mengembuskannya. Lagi-lagi asap mengepul dari mulutnya karena efek cuaca yang masih dingin.

“Aku tidak tahu definisi bahagia dalam pernikahan itu seperti apa.”

Bagi Astari sendiri menikah itu adalah hidup bersama dengan orang yang dicintainya. Tak ada teka-teki yang disimpan dan selalu berterus terang satu sama lain. Sedangkan yang ia alami tidak seperti itu.

“Semoga saja kamu menemukan kebahagiaan yang belum didapatkan hari ini,” tukas Maya sambil menepuk ringan bahu Astari. Ia undur diri untuk segera pulang karena sudah ditunggu oleh suaminya. Ini adalah kesempatan besar Maya untuk rehat di saat kandungan sudah besar tetapi masih bisa mengerjakan tugas-tugas kantor di rumah.

Astari pun mengikuti Maya tetapi terlebih dahulu mendekati Pak Ridwan yang sibuk menggiring Raden menuju rumput yang lebih subur.

“Tolong jaga Raden ya, Pak!” pekik Astari pada Pak Ridwan.

Laki-laki paruh baya yang sudah mengabdi di peternakan itu hanya mengangguk sambil memberikan senyum terbaiknya.

Sebelum pulang ke rumah, Astari terpaksa berbelanja makanan dan kebutuhan pokok selama Work From House. Ia membeli apa yang dibutuhkan bukan apa yang diinginkan. Namun, ia merasa ada yang aneh karena setiap gerak-geriknya seperti ada yang mengikutinya. Setelah membayar cepat di kasir, Astari langsung menjalankan motor secepat mungkin agar orang yang menguntitnya tak bisa menemukan jejaknya.

Sepuluh menit akhirnya sampai di gerbang rumah Satria, ketika hendak mengunci tiba-tiba ia melihat sosok berjaket hitam berhenti dengan jarak beberapa meter darinya. Astari tak dapat mengenal siapa sosok tersebut tetapi ia bisa menebak jika sosok tersebut adalah seorang laki-laki. Astari buru-buru mengunci pintu gerbang dan segera masuk.

Suasana rumah masih sama, sepi dan gelap sudah menjadi ciri khas rumah ini. Mata Astari tertuju pada pintu kamar Satria yang sedikit terbuka. Ada rasa penasaran untuk memasukinya karena ingin mengetahui siapa sosok laki-laki yang menjadi suaminya tetapi ia urungkan karena ini bukanlah waktu yang tepat.

Tiba-tiba Astari mendengar sesuatu di taman belakang dekat dapur, ia segera melangkah dengan hati-hati. Dari balik sosok pintu, Astari melihat Satria dari belakang. Sepertinya ia sedang berjalan tanpa menggunakan tongkat. Astari hanya bisa tersenyum tetapi hanya beberapa detik saja.

Ketika Satri berbalik tiba-tiba ia dihadapkan wajah Satria yang tak memakai masker. Benar-benar menyeramkan membuat kedua lutut Astari sangat lemas. Pipi sebelah kanan tampak tidak rata dengan munculnya keloid di sekitar bekas luka di pipi. Apalagi sinar matahari siang ini berada di atas membuat wajah Satria terlihat sangat jelas.

“Mas Sat...”

Entah kenapa Astari malah lolos mengucapkan nama itu membuat pemilik nama itu langsung terkejut dan sangat panik membuat tubuh Satria limbung dan jatuh di atas rerumputan.


°To be continue°

















Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro