🔆Pergi🔆

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sendiri itu sepi, walaupun pernah terbesit untuk memiliki tetapi takut terjatuh untuk kedua kali karena terjebak dalam mimpi buruk kembali

***
Hidden Paradise  by Galuch Fema


Happy reading jangan lupa vote

Satria tertangkap basah, ia berusaha bangkit dari tempatnya terjatuh tetapi sangat sulit. Butuh bantuan sebuah benda untuk menjadi tumpuan pijakan tangan agar tubuhnya baru bisa terangkat. Sayangnya, tak ada benda di  dekatnya. Sebuah kursi kayu terletak dekat pintu, tempat  Astari berdiri dan tongkat penyangga pun ia letakkan bersandar di dinding paling ujung.

Ketakutan Satria saat ini bukanlah dirinya yang tak bisa bangkit tetapi wajahnya yang tak tertutup masker membuat ia tertunduk semakin dalam.

“Mas Satria,” lirih Astari yang sudah berjongkok di depan Satria dengan jarak beberapa meter. Ada rasa ragu untuk menyentuh dan membantu laki-laki itu bangkit.

Satria semakin terpojok, ia menutup wajah menggunakan lengan sambil memalingkan wajahnya. Ia tak peduli rasa sakit di kakinya yang tertekuk.

“Biar saya bantu berdiri,” pinta Astari sambil menarik pelan tangan Satria yang digunakan untuk menutup wajah.

Alhasil Satria semakin panik dan ketakutan mengingat cahaya matahari mengenai luka di wajahnya secara langsung. Satria mendorong Astari dengan kasar sehingga perempuan itu ikut terjatuh dengan posisi terduduk sama seperti dirinya.

Astari merasa terkejut karena Satria menolak bantuannya. Ia menatap laki-laki itu yang tengah memperhatikan dirinya. Mata yang merah, rambut acak-acakan dan deru napas yang tak beraturan. Astari sendiri enggan menatap luka di sana, bukan karena jijik tetapi sangat menyeramkan karena luka tersebut memenuhi pipi dan mendekati mata.

“Astari bantu berdi—“ sahut perempuan itu sambil meraih pergelangan tangan Satria tetapi lagi-lagi Satria menampik tangan Astari dengan kasar bahkan punggung tangan sampai memerah. Buru-buru Astari menarik tangan dan mendekatkan pada bibir kemudian meniupnya perlahan karena kulitnya merah dan terasa panas.

Jantung Astari seakan berhenti melihat pergelangan Satria yang juga terdapat luka belum kering. Pikiran Astari langsung tertuju pada sosok yang ia tabrak saat malam hari. Dalam hati terus berdoa agar Satria bukanlah orang yang ia pikirkan.

“Kena—“

“PERGI!” hardik Satria penuh amarah. Astari sendiri tak paham kenapa Satria tiba-tiba marah besar terhadapnya.  Niatnya baik yaitu untuk menolong.

“Aku mau membantu kamu,” ucap Astari  kembali mendekat karena Satria masih kewalahan untuk bisa berdiri.

Lagi-lagi Astari kembali di dorong hingga terjatuh. Tatapan bengis dari Satria membuat Astari ketakutan, sisi buruk dari laki-laki ini pelan-pelan terkuak.

“Aku tidak butuh bantuan kamu. Aku bisa sendiri!” pekik Satria dengan keras. Padahal raga sudah lelah karena untuk bangkit sangat menyiksanya terlihat dari bulir keringat yang bercucuran dan berlinang membasahi wajah dan kaos yang ia kenakan.

Astari sendiri hanya bisa terdiam dan tak berkutik melihat pemandangan di depannya.

“Sial,” lirih Satria sambil mencabut rumput dan membuang asal. Tenaganya sudah habis karena kelelahan.  Begini karena tak sering latihan berjalan sehingga sekalinya jatuh tak bisa bangkit.

Astari mendekat satu langkah dengan jantung yang sudah berdebar kencang tetapi tatapan Satria langsung mengarah padanya.

“Sekalinya aku bilang pergi ya pergi. Aku tahu kamu takut melihat keadaan aku seperti ini, kan?” sindir Satria dengan nada bicara yang sinis.

Astari terpojok dan ia tak mungkin mengatakan sebenarnya.

“Ak-aku—“

“Perempuan semua sama saja. Kamu seperti Dania yang pergi setelah melihat wajah aku yang buruk,” cecar Satria yang selalu memotong ucapan Astari.

“Dania? Siapa itu Dania?”

Astari tak paham siapa Dania, ia tak pernah mengenal sosok itu.

“Cih,” desis Satria kembali naik pitam. Emosi merasuki laki-laki itu, perempuan yang tak ada hubungan dengan dirinya bahkan tak mempunyai salah kena imbasnya juga.

“Aku akan membalas semuanya, siapa yang sudah pergi dari aku dan orang -orang yang selama ini menertawakan hidup aku,” ancam Satria membuat Astari tak habis pikir karena tak paham dengan apa yang dihadapinya.

“Bagaimana cara mau membalas, untuk berdiri saja tak bisa dan menolak bantuan aku, Mas,” sindir Astari dengan sangat berani. Ia lancang berkata seperti itu karena Satria sendiri sudah kasar dengan dirinya.

Mata merah penuh dendam kembali terpancar dari kedua mata Satria.

“Jaga ucapan kamu. Pergi!” hardik Satria sambil menahan sabar karena emosi sudah memuncak.

Astari menarik napas panjang, “Baiklah, kalau itu keinginan kamu.”

Astari berjalan meninggalkan Satria yang masih membisu, tangan meraih tas ransel yang ia taruh dekat pintu. Berjalan menuju pintu utama dan mengeluarkan kunci motor dari saku jaketnya. Ia tak peduli dengan langit yang sudah kembali berkabut. Suasana sama seperti dengan hatinya. Sakit, ia tak tahu apa-apa tetapi dianggap sama seperti Dania. Astari sendiri bisa menebak jika Dania adalah mantan istri Satria.

Lebih baik ia pergi, setidaknya ini adalah keinginan Satria yang tak lagi mengharapkannya, walaupun Astari sendiri tak paham harus pergi ke mana karena tak mungkin kembali ke rumah orang tuanya.

Tak lupa ia mengetik sesuatu di layar ponselnya tentang kejadian yang dialaminya kepada sahabatnya. Entah mengapa lebih dekat dengan Maya dibandingkan dengan adik kandungnya.

Motor Astari melaju menanjak menyusuri jalan yang berkelak-kelok bahkan menukik tajam bahkan membahayakan nyawa karena kanan kirinya terdapat jurang yang lumayan curam. Ia rindu dengan jalan depan rumah yang lurus walaupun terdapat banyak lubang tetapi tak selalu lurus. Langit kembali  berkabut padahal suasana belum gelap. Semakin menanjak, kabut semakin tebal membuatnya menggigil, padahal sudah memakai jaket tebal.

Astari melajukan motor menuju desa Kebumen karena di sana ada tempat favoritnya. Untung saja suasana tak seramai hari biasa, atau mungkin efek pandemi sehingga jumlah pengunjung dibatasi. Astari masuk memasuki ruangan indoor yang didominasi kaca. Segera memesan apa yang ia inginkan setelah melihat kertas menu di resto ini.

Sambil menunggu pesanan, Astari berjalan menuju ujung. Balkon kecil dengan lantai kaca menghias di sana. Sayangnya kabut sedang turun sehingga pemandangan kota Purwokerto tak tampak.  Semuanya serba putih dan dingin.

Ia lalu berjalan mengitari ruangan outdoor. Semua serba hijau dengan pemandangan langsung terbuka di depannya. Semua pengunjung bisa menikmati dengan duduk lesehan bersandar pada bantal warna-warni atau Bean Bag. Pernah bermimpi menikmati senja di atas Bean Bag bersama orang yang dicintainya menikmati senja sambil melihat kerlap-kerlip  kota Purwokerto.

Makanan sudah terhidang kali ini ia memesan tomyum seafood dan segelas cokelat panas untuk menghangatkan badannya. Baru juga sesendok mau masuk ke mulut tetapi ia letakkan kembali karena teringat di sana. Niatnya mau masak setelah berbelanja tetapi gara-gara salah paham tadi acara memasak gagal total. 

Astari hanya mengaduk saja karena selera makan sudah hilang. Langkah seseorang terhenti di depan meja Astari. Perempuan itu mendongak sambil tersenyum kemudian pandangan kembali ke mangkok tomyum yang sudah mulai dingin.

“Sendirian?” tanya laki-laki itu menggeser sebuah kursi dan duduk di sana.

Astari mengangguk kemudian menatap dinding kaca di depannya. Kabut sudah membuat kaca berembun.

“Katanya sudah nikah? Ke mana-mana kok masih orang jomlo saja,” sindir Raka sambil menahan senyum.

Astari mengerucutkan bibirnya kemudian menatap sekilas Raka. Laki-laki bertubuh tegak dengan kulit sawo matang. Hidung mancung membuat laki-laki itu terlihat tampan, beruntung sekali yang memilikinya. Tidak seperti Satria yang tubuhnya ditopang sebuah tongkat  Buru-buru hati kecil Astari beristigfar menyadari kekhilafan dengan menatap keresek putih yang tercium aroma kuah soto betawi.

“Pesanan  orang hamil?” tanya Astari sambil mengulum senyum karena menu favorit Mbak Maya yang tak pernah berubah.

“Biasa, Mbak kamu itu. Mentang-mentang aku enggak dinas ya begini jadi kurir makanan.”
Keduanya saling tertawa dan bercanda satu sama lain. Mereka memang akrab karena Raka lebih suka menyuruh Astari tinggal bersama Maya ketika dirinya sedang bertugas dinas.

“Lagi ada masalah?” tebak Raka penasaran.
Deheman lirih dari mulut Astari yang sekarang terpaksa menelan cumi di dalam mangkuk makanan. Amat sayang jika dibiarkan begitu saja.

“Maya sudah cerita banyak.”

“Tidak usah didengarkan,” perintah Astari sambil mengibaskan tangan. Seorang tentara yang sudah sibuk dengan tugasnya jangan sampai ikut mengurusi rumah tangganya yang baru seumur taoge.

“Sekarang mau kabur?”

Raka melirik tas yang biasa dipakai Astari yang tergeletak di bawah meja. Astari terdiam, jujur ia belum siap kembali ke rumah itu setelah Satria menyuruhnya pergi. Bukan punggung tangannya yang masih biru tetapi hatinya yang sakit.

“Emm....”

“Pulang ke rumah, siapa tahu dia sudah memaafkanmu.”

“Tapi nanti, aku butuh waktu.”

Raka tertawa sambil berdiri sembari berucap, “Jika kamu diusir lagi segera telepon. Nanti Mas jemput.”

Astari tersenyum sembari mengacungkan ibu jarinya sambil melepas sosok tersebut pergi. Ia membuka laptop untuk mengerjakan tugas kantor secara online. Saling asyiknya berkutat dengan layar, ia tak menyadari jika terang sudah berganti gelap dan tak menyadari berapa panggilan di ponselnya yang ia silent sehingga tak terdengar sampai telinga.



Satria merutuki perbuatannya tetapi tidak untuk hatinya yang masih belum menerima kehadiran Astari. Ia mengakui kesalahannya, tadi pagi ia menyuruh Astari pergi dari hadapannya bukan pergi dari rumah ini. Laki-laki itu hanya bisa mondar-mandir dengan tertatih sambil memegang ponselnya.

“Cepat segera cari dia!” perintahnya setengah memaksa kepada si penerima telepon kemudian menutup panggilan itu secara sepihak.

Langit sudah malam, binatang malam juga sudah bersuara tetapi Astari belum pulang juga. Satria semakin khawatir, jika perempuan itu pulang ke rumah orang tua dan menceritakan semuanya yang ada semua akan kacau. Mana surat-surat pengajuan pernikahan belum ia serahkan ke KUA. Satria bersandar pada sofa yang pernah ia duduki bersama Astari saat listrik padam. Pikirannya semakin kacau ketika jam dinding tua sudah berdentang sembilan kali, kedua tangan meremas rambut dengan kasar ketika layar di ponsel terpampang Astari dengan seorang laki-laki.

Pintu depan berderit terbuka, Satria merutuki kesialannya karena lelah menunggu sampai akhirnya ia menyerah pada kantuk yang menyerang. Sekarang dalam gelap, ia bisa melihat bayangan Asyari masuk ke ruangan ini. Perempuan ini terlihat berjalan mengendap dan tak menyadari keberadaannya.

“Dari mana saja?”

Suara Satria mengagetkan Astari yang sekarang terdiam mematung padahal ia berusaha agar tak membuat suara.

“Ak-aku—“

Belum selesai menjawab, Satria sudah menimpali dengan suara lebih keras. “Berdua bersama laki-laki?”

Astari semakin diam seribu bahasa, dalam otaknya terus berpikir bagaimana mungkin Satria bisa tahu jika ia telah berdua bersama Raka.

¤To be continue ¤











Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro