🔆Luluh🔆

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tak semua yang hilang dapat ditemukan. Tak semua yang retak dapat bersatu.  Apalagi yang sudah pergi tak semuanya akan kembali.

***
Hidden Paradise by Galuch Fema


Happy ready dan jangan lupa vote.

Astari masih berpikir keras karena Satria tak mungkin menaruh CCTV di kafe tadi atau jangan-jangan menyuruh orang untuk memata-matainya. Astari melirik sekilas sosok itu tetapi tidak untuk wajahnya karena ia sendiri masih takut apalagi sekarang laki-laki itu terang-terangan tak memakai masker.

“Bukan siapa-siapa,” seloroh Astari berlalu pergi menuju kamar.

Sayangnya, Satria dengan sigap memegang tangan Astari tepatnya punggung tangan sehingga menyebabkan Astari mengaduh sakit karena tanpa sengaja Satria menyentuh luka lengannya.

“Ups, maaf,” jawab Satria dengan kaget. Ia sangat paham jika tadi siang telah menyakiti Astari.

Satria menarik lengan Astari dengan pelan sambil menyuruh duduk di sofa dekat perapian.

“Duduklah, nanti aku ambilkan sesuatu!” perintah Satria.

Astari baru sadar jika laki-laki itu berjalan tanpa menggunakan tongkat tetapi masih dengan kaki yang diseret menuju ke dapur. Tak berlangsung lama, di tangan Satria sudah terdapat kotak obat dan segelas wedang jahe tercium dari aromanya.

Astari terkejut karena sekarang Satria duduk di hadapannya tetapi duduk di lantai dengan posisi kaki yang sakit lurus tak tertekuk.

“Kenapa duduk di bawah?” protes Astari hendak bangkit tetapi ditahan oleh Satria yang menyuruhnya untuk duduk kembali di sofa membuat Astari semakin kikuk.

Namun, Satria diam dan tak menjawab pertanyaan barusan. Ia asyik membuka kotak obat dan mencari sesuatu di dalamnya. Setelah menemukan apa yang ia cari lalu mengangkat sedikit ke atas agar terkena sinar lampu dari kamar Astari untuk memastikan apa yang ia ambil adalah benar.

Astari hanya bisa menahan napas dengan apa yang dilihatnya, sepertinya kegelapan sudah menjadi teman hidup Satria selama ini.

“Maaf,” bisik lirih laki-laki itu memegang pergelangan tangan Astari membuat perempuan itu tak bisa berkutik karena tak percaya jika orang sedingin Satria bisa meminta maaf.

Sebelum mengoleskan salep tak lupa punggung tangan di dekatkan bibir membuat Astari langsung menutup mata sambil menata laju jantung yang berdetak dua kali lipat. Embusan hangat di atas punggung tangan membuat Astari membuka mata dan melihat Satria tengah meniup lukanya  kemudian segera mengoleskan gel yang terasa dingin mengenai luka lebamnya. Astari sendiri bisa merasakan jika tangan Satria masih terasa dingin bagai mayat.

“Maaf atas kelakuan aku tadi siang,” ucap Satria sambil berusaha bangkit berpegangan sofa menuju depan perapian. Menyalakan batang korek kemudian melempar membuat api di sana menyala dan suasana langsung hangat.

Astari bisa merasakan jika sekarang Satria duduk di sofa ini juga.

“Siapa laki-laki tadi?” tanyanya kembali dengan suara tak bersahabat tak seperti tadi saat meminta maaf karena terdengar dari lubuk hati paling dalam dan seakan penuh penyesalan.

“Kenapa? Cemburu?”

Astari malah balik bertanya membuat Satria semakin jengkel tetapi ia masih bisa mengondisikan agar emosi tak lagi meletup.

“Dia suaminya sahabat aku.”

Astari mengalah untuk bersuara karena tak ingin kembali perang dengan laki-laki misterius ini. Ia melirik sekilas tetapi tak berani secara langsung menatap wajahnya.

“Kenapa kalian bisa sedekat itu? Sengaja janjian ketemu?”

Astari hanya bisa mengulum senyum, dari nada Satria terdengar ada semacam tak rela jika dirinya dekat dengan laki-laki lain.

“Karena kita sudah saling kenal dan aku sering menginap tempat Mbak Maya jika Mas Raka lagi dinas luar kota,” sanggah Astari.

Satria mendesis kemudian meletakkan kepala di sandaran kursi dan melihat langit-langit sambil  berucap, “Kenapa kamu bisa dekat dengan laki-laki lain sedangkan sama aku tidak?”

Astari hampir saja kelepasan tertawa tetapi tangan buru-buru menahan mulutnya kemudian tanpa sengaja mengubah duduknya menjadi menyamping dan menghadap ke arah Satria yang masih meletakkan kepala pada sandaran sofa. Laki-laki itu melirik sekilas kemudian kembali pada posisinya yang sudah nyaman.

“Habis kamu aneh,” tukas Astari dengan sangat berani. Ia masih memperhatikan sosok tersebut dan rasa takut pelan-pelan memudar.

“Aneh kenapa?” tanya Satria mengubah posisinya dengan duduk tegak. Ia juga sudah tak ragu lagi jika Astari bisa melihat luka di wajahnya secara jelas.

“Kamu itu aneh. Suka sendiri, suka kegelapan dan tidak mau berbaur sama yang lain.”

Sekarang bergantian Satria menggeser duduknya menjadi berhadapan dengan Astari. Keduanya saling menatap satu sama lain.

“Kamu menginginkan laki-laki seperti yang kamu temui barusan?” tubuhnya dengan wajah yang kembali ke aslinya.

Astari melotot sambil menggeleng. Menyadari jika ucapan menyinggung Satria ia langsung cepat-cepat klarifikasi.

“Bukan seperti itu, setidaknya jangan terlalu menyukai kegelapan dan kesendirian. Semua ada  batasnya. Kita tidak mungkin bisa sendirian terus, adakalanya butuh orang lain untuk membantu, melengkapi agar hidup kita lebih berwarna.”

Suasana kembali hening tetapi Satria kembali mengubah posisi duduk dan bersandar pada sofa.

“Tak semudah itu. Dunia di luar sana sangat kejam. Mereka mendekat jika ada maunya sedangkan saat berada di posisi terendah baru ketahuan siapa mereka sebenarnya. Pergi dan menghujat serta merasa tak mengenal.”

“Berarti selama ini salah memilih orang?”

Satria mengembuskan napas panjangnya seakan melepas bebannya yang paling berat dalam hidupnya.

“Ya, aku sudah salah memilih siapa kawan dan siapa lawan. Aku juga sudah salah memilih dia. Aku pikir dia tidak akan meninggalkan aku tapi nyatanya dia tetap pergi.”

“Dania itu istri kamu sebelumnya?’

Astari agak sedikit takut mengucapkan nama itu. Takut sesuatu yang buruk terjadi lagi seperti tadi siang. Namun, melihat Satria mengangguk lemah sepertinya Astari paham kesedihan selama ini.

“Aku akan membalas semuanya setelah aku bisa berjalan dengan baik.”

Suara yang terdengar seakan penuh dendam yang berkobar setelah ia pendam rapat-rapat.

“Tak semua masalah bisa diselesaikan dengan pembalasan. Mintalah sama yang di atas biar Allah yang bekerja.”

“Tak semudah itu.”

Astari hanya bisa menelan ludah, mungkin saja Dania sudah melakukan kesalahan besar sehingga Satria tak mampu memaafkannya. Malam semakin kelam, semua serba hening tetapi keduanya masih bertahan di atas sofa menikmati  keheningan.

“Tari?” panggil Satria sangat lirih tetapi masih terdengar ke telinga Astari.

“Ya.”

Astari langsung berdebar, pasalnya Satria memanggilnya dengan sangat aneh. Risi juga mendapat panggilan seperti itu karena nama lengkap lebih enak di dengar.

“Setengah hatiku sudah hilang bersama masa laluku. Aku sendiri tak tahu apakah setengah hati lagi ini bisa aku serahkan untuk kamu karena aku sendiri tak yakin bisa mencintai kamu. Untuk kedua kalinya aku kembali bertanya. Setelah melihat fisik aku, kekurangan aku, apakah kamu masih mau bertahan dan mendampingi laki-laki seperti aku ini? Jika kamu mundur maka aku tak akan memaksanya. Pikirkan kembali baik-baik karena untuk ke depannya itu jalan kita masih panjang. Aku tak mau kamu menyesal.”

Astari menatap sekilas ke arah Satria kemudian menatap perapian yang sekarang menyala kecil membuat suasana kembali sedikit redup.

“Jawaban aku ....”

Satria sekarang  gantian tegang menanti kelanjutan ucapan Astari.

“Jawabnya tetap sama.  Aku akan tetap bertahan di sini.”

Astari menatap samping keduanya saling bertatapan. Setelah itu Astari sedikit kaget karena tangannya sudah digenggam manusia dingin itu membuat ia segera menariknya cepat-cepat.

“Eh, maaf,” tukas Satria menyadari kesalahannya.

Astari sendiri makin  salah tingkah, bukankah itu bukan hal aneh karena bagaimana pun Satria adalah suaminya tetapi sepertinya agak kaku jika mereka saling bersentuhan.

“Besok kita akan mengurus surat-surat pernikahan dan aku akan segera menghubungi ayah kamu.”

Perempuan itu mengangguk kemudian suasana kembali canggung. Sebenarnya Astari sendiri hendak menuju ke dalam kamar untuk menghindari kekakuan ini tetapi sepertinya kaki enggan untuk bergerak. Ia hanya bisa mengusap lengan karena udara semakin menusuk tulang.

Namun, suasana kaku hanya berlangsung sebentar karena tiba-tiba terdengar suara aneh dari perut Satria sehingga Astari langsung menoleh sambil menahan tawa. Laki-laki itu pun sangat malu karena perutnya yang tak bisa bersahabat.

“Belum makan?”

Satria mendengus kesal sambil memegang perutnya yang terasa perih. “Apa yang mau di makan? Kokinya kabur.”

Astari tersentak kaget dan buru-buru istigfar. “Aku tadi beli makanan, aku hangatkan dulu sebentar.”

Ia lalu melangkah cepat menuju luar. Keresek yang  berisi kotak makanan masih tergantung di motornya di depan rumah. Ketika membuka pintu, angin malam menyapu wajah Astari dan membuat bulu kuduk kembali berdiri. Sepi dan gelap, apalagi di pojokan sana terdengar suara berisik entah itu apa. Tangan langsung meraih keresek dan menutup pintu rapat-rapat. Suasana di luar membuat denyut jantung lebih cepat dibandingkan saat tangannya berada dalam genggaman laki-laki dingin barusan.

Setelah lima menit, Astari kembali ke sofa sambil membawa semangkuk makanan dengan aroma yang menggugah selera.

“Apa ini?” tanya Satria dengan bingung.

Astari tersenyum sambil memamerkan apa yang ada di tangannya. “Cream Soup Beef.”

Satria berubah kesal ia tak menyangka akan dihadapkan makanan seperti itu padahal rasa lapar sudah di atas rata-rata.

“Makanan apa it—“

Sendok yang berisi makanan hangat sudah berada di mulutnya. Astari menyuapinya membuat Satria mundur ke belakang sambil menilai apa yang sudah ada di mulutnya. Enak dan gurih tetapi ia tak mau mengakuinya karena sudah menolaknya.

“Gimana? Enak? Mau lagi?” tawar Astari sambil menyodorkan kembali sendok berisi soup tersebut sehingga mau tak mau Satria menerimanya. Bahkan dalam waktu kurang dari setengah jam makanan di mangkuk sudah habis. Satria sendiri buru-buru mengelap cream yang menempel di bibir menggunakan tangan tapi Astari sudah menyodorkan sehelai tisu.

“Aku mau balik ke kamar.”

Satria mengangguk dan menyadari sekarang sudah larut malam apalagi perapian juga sudah mati dan meninggalkan bara yang masih berwarna merah. Keduanya bertahan di depan tangga sambil saling bertatapan.

“Kenapa jadi kaku begini?” batin Satria merutuki.

“Selamat malam,” ucap Astari hendak menuju pintu yang sudah ada di depannya.

Satria tak menjawab karena ekor mata menangkap sesuatu yang sangat ganjil. Dengan sekuat tenaga menyeret kakinya mendorong Astari pada dinding kamar dan mendekapnya sangat erat membuat Astari tak bisa berkutik.

¤To be continue ¤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro