🔆Ikrar Kedua🔆

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Kita dipertemukan dalam keadaan baru bangkit dari keterpurukan. Mencoba saling mengisi untuk memberi rasa, berharap ditemukan di waktu yang tepat tak seperti masa lalu yang menyakitkan~

***
Hidden Paradise by Galuch Fema


Happy reading jangan lupa vote sama komen

Astari berusaha melepaskan dekapan Satria tetapi sangat kesulitan. Laki-laki itu mendekapnya sangat erat bahkan sampai terdengar sangat jelas detak jantung Satria karena kepala Astari tepat di depan dadanya.

"Lepas-"

"Diam, jangan berisik," bisik Satria melepaskan pelukan tetapi tangannya menutup mulut Astari untuk tak bersuara lagi.

Mata Astari membulat ingin protes. Pikiran buruk sudah meracuni otaknya. Ia ketakutan karena Satria tiba-tiba bersikap demikian, tak seperti tadi saat duduk berdua yang sifatnya sedikit melunak.

Satria kembali mendekap Astari tetapi tak seperti tadi karena sekarang sedikit mengendur.

"Pasti lupa mengunci gerbang," bisik Satria di dekat telinga Astari membuat bulu kuduk kembali merinding.

Astari baru ingat karena tadi takut ketahuan saat pulang sehingga tak mengunci, hanya menutupnya saja.

"Memang kenapa?" lanjut Astari ikut berbisik karena ia mulai mencium kecurigaan.

"Sebentar lagi kamu akan tahu," balas Satria sambil melirik ke arah jendela kaca dengan tirai yang sedikit tersingkap.

Benar saja setelah itu sebuah cahaya senter dari luar menembus kaca membuat sebuah cahaya di ruangan ini. Cahaya itu terus bergerak mengitari ruangan ini yang memang didominasi jendela kaca yang menjulang hampir menyentuh atap.

Tubuh Astari sudah menggigil ketakutan, ia bagai dihadapkan pada penjahat yang akan mencelakakannya. Tanpa disengaja ia memeluk tubuh Satria dan membenamkan wajah pada dada Satria untuk mengurangi rasa takut. Denyut jantung mereka berdetak sama cepatnya di situasi yang mencekam seperti ini.

Sebuah usapan hangat di punggung Astari mengisyaratkan semua akan baik-baik saja. Setelah semua aman dan derap langkah di luar sudah tak terdengar, Astari melepaskan pelukan itu sambil menahan malu.

Untung semua serba gelap jadi Satria tak akan paham rona merah di wajahnya.

"Siapa barusan?" tanya Astari masih berbisik. Ia sudah menduga jika orang barusan adalah orang yang sama seperti kemarin yang mengintai lewat jendela kamar.

"Entahlah," balas Satria sambil menggenggam tangan Astari kemudian mengajak masuk ke kamar Astari dengan lampu yang sudah menyala terang.

Selesai di kamar, Astari langsung menuju ke kamar mandi untuk mengganti bajunya karena tak mungkin berganti di sini karena Satria masih berada di kamarnya sambil terus mengintai luar di balik jendela kamar ini.

"Sudah pergi?" tanya Astari yang sudah keluar dari kamar mandi. Ia duduk di tepi ranjang enggan untuk berbaring karena risi Satria masih bertahan di tempat ini.

"Entahlah, semoga saja. Besok gerbang jangan lupa dikunci."

"Insyaallah semoga tak lupa. Kemarin aku juga sudah mengunci tetapi orang itu masih bisa masuk?" protes Astari merasa tak suka karena Satria menatapnya dengan tatapan tak suka.

Astari sadar diri jika orang seperti Satria tak suka kehidupan pribadinya diusik apalagi ada orang asing yang mengintai kehidupannya.

"Mungkin loncat dari gerbang atau pagar samping," keluh Satria.

Laki-laki itu kembali menatap depan. Setelah kehadiran Astari di sini semua berubah. Rumah menjadi lebih hangat tetapi juga ada orang asing yang tiap malam selalu mengintai.

"Lebih baik istirahat saja, besok kita berangkat pagi."

Astari mengangguk, ia segera berbaring dan menutup tubuhnya serapah mungkin menggunakan bed cover. Sebelum terpejam ia melirik sosok yang masih duduk di sofa tengah memijit kakinya.

Untuk hari ini ada sedikit kemajuan tak memakai tongkat penyangga walaupun jalan masih diseret.

"Memang kalau tidur biasa pakai penutup kepala gitu?" tanya Satria bingung.

Astari melotot karena belum siap membuka kerudung walaupun kemarin Satria sudah melihatnya saat tak sadarkan diri.

"Daripada masuk angin."

Astari memberikan jawaban setidaknya yang masuk akal, ia memiringkan tubuh menghadap dinding sambil menutup dengan bed cover dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Satria hanya bisa berdehem lirih sambil menahan senyum. Ia tak sebodoh dengan apa yang dipikirkan Astari.

Baru beberapa menit, suara langkah di luar terdengar kembali sangat jelas. Sepertinya orang asing itu menginjak dahan pohonan yang jatuh tepat di sebelah jendela kamar ini.

"SIAPA ITU?" pekik Satria dengan sangat keras membuat Astari yang mau memejamkam mata langsung bangkit dan berlindung di bawah selimut.

Suasana lagi-lagi mencekam karena derap langkah orang berlari terdengar sangat jelas. Satria berjalan cepat menuju ke depan, jika kaki ia normal mungkin bisa berlari dan mengejar orang tersebut. Sayangnya saat di depan, Satria hanya bisa berdiri di depan pintu melihat bayang-bayang itu pergi melesat keluar pintu gerbang.

"Sialan," ucap Satria dengan kesal. Ia berjalan menuju gerbang sambil mengeluarkan sumpah serapah karena tak berhasil mengungkap identitas orang asing yang terus memasuki kawasan rumahnya.

Ketika hendak masuk hampir saja menubruk Astari yang muncul tiba-tiba di depan pintu membuat tubuh Satria limbung hampir terjatuh, untung saja berpegangan pada daun pintu sehinga tubuhnya masih bisa ditahan.

"Siapa?"

"Entahlah, aku cek dulu di layar monitor. Siapa tahu bisa mengenali sosok tersebut."

Satria berjalan ke kamar dengan perasaan kesal bercampur emosi. Baru hendak menutup pintu, tiba-tiba wajah Astari sudah ikut di depannya.

"Ada apa?" tanya Satria dengan sangat panik karena secara tidak langsung Astari sekarang gantian mengikutinya bahkan hendak masuk ke dalam kamarnya.

"Mau lihat siapa yang menyelinap ke rumah ini."

Satria menggeleng sambil berpikir keras karena perempuan ini memang aneh. Kadang selalu ketakutan tetapi kadang dia memiliki rasa penasaran yang sangat hebat. Itulah yang ia takutkan selama ini, Astari masuk ke kamar dan lantai dua, pada akhirnya akan terungkap selama ini yang ia simpan rapat-rapat.

"Sudah malam, tidur saja."

Ucapan Satria terdengar sangat ketus membuat Astari cemberut padahal ia kan ingin tahu siapa sosok barusan. Ia melangkah lunglai menuju ke kamar.

Satria hanya bisa melihat Astari sampai benar-benar menutup pintu kamar toh orang tadi sudah pergi dari lingkungan rumahnya.

Satria memasuki kamarnya yang lumayan berantakan. Baju kotor di mana-mana, barang-barang ada yang berceceran di atas karpet, belum kertas-kertas menumpuk di meja kerjanya yang satu minggu ini belum ia sentuh sama sekali.

Dengan cekatan menyalakan layar laptop yang terhubung dengan semua kamera CCTV di rumah ini. Sebuah video menampilkan sosok berjaket hitam tengah mengendap di halaman tepatnya di samping kamar Astari.

Wajah Satria kembali memerah karena emosi. Dari kemarin selalu sosok itu yang nampak, sayangnya ia tak dapat mengenali karena selalu memakai penutup wajah. Ia menuju ke tepi pembaringan dan berdiri di sana menatap foto yang berukuran besar.

Gambar perempuan cantik tengah tersenyum bahagia berdiri di sampingnya. Satria mendekat dan mengambil foto itu kemudian membuang asal ke pojok ruangan ini.

"Sudah saatnya aku melupakanmu."


Pagi hari selesai salat subuh, Astari sudah sibuk berkutat di dapur. Di meja sudah tersedia nasi goreng dan teh hangat.

"Kokinya sudah balik jadi di meja ada makanan," sindir Satria yang sudah tiba-tiba di belakang Astari. Perempuan itu berjingkat kaget, biasanya suara tongkat menandakan kehadiran Satria tetapi saat ini tidak lagi terdengar.

Astari hanya bisa tersenyum saja dan tak menanggapi ucapan barusan.

"Sejam lagi kita berangkat," ucap Satria di sela-sela makannya.

Astari menganguk, ia baru sadar jika belum menyiapkan pakaian yang akan kenakan nanti.

"Semua sudah aku siapkan di paperbag di atas sofa."

Satria membuyarkan lamunannya, ia segera melirik ke arah sofa. Di sana terdapat paper bag cukup besar berwarna pink muda bergambar bunga sakura.

"Untuk aku?"

Astari kebingungan karena ragu apa benar itu pemberian untuknya. Satria mengangguk dan menyuruh Astari segera membukanya.

Dengan rasa penasaran membuka paper bag tesebut. Sebuah baju gamis putih berbahan satin. Ukurannya lebih besar dibandingkan dengan tubuhnya. Namun, ini lebih baik dibandingkan kekecilan daripada akhirnya tak bisa dipakai.

"Maaf jika jelek."

Astari menoleh ke belakang pada sosok yang masih mengunyah makanan buatannya.

"Kapan dia membelikan ini?" batin Astari bertanya-tanya.

"Terima kasih. Ini sudah terbaik untuk aku," balas Astari tersenyum.

Ketika hendak mengembalikan pakaian itu ke dalam paper bag, mata Astari tertuju pada sebuah kotak berwarna biru berbahan blusdru.

"Apa ini?"

Satria tak menjawab karena memilih untuk diam.
Astari semakin penasaran dan tampak menganga melihat isi kotak di tangannya.

"Un-untuk ak-aku?" tanya Astari dengan gemetar karena tak menyangka akan mendapatkan barang berharga seperti ini.

"Ya, simpanlah. Setidaknya cincin itu dipakai sehingga laki-laki yang akan mendekatimu paham jika kamu sudah memiliki suami."

Sindiran telak untuk Astari, ia jadi teringat dengan suami Mbak Maya kemarin sore.

Satria bangkit dan berjalan pelan menuju kamar. Sebelum masuk ia berpesan, "Segera siap-siap. Jangan lupa bawa beberapa helai baju karena setelah dari KUA kita langsung pergi."

"Pergi? Pergi ke mana?" tanya Astari bingung.

"Honey moon."

Lagi-lagi Astari terkejut. Paper bag yang ada di tangan kanan seketika lolos dan jatuh ke atas sofa.

¤To be continue¤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro