🔆Surprise🔆

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tak akan pernah selesai jika terus meratapi masa lalu, hidup akan lebih indah jika merajut kisah bersama untuk menggapai surga.

****

Hidden Paradise by Galuch Fema

Happy reading jangan lupa vote

Astari bukannya bersiap-siap malah berdiam diri di kamar, duduk di tepi ranjang. Ia masih saja teringat ucapan Satria yang terus terngiang di kepalanya.

Bukankah Satria alergi pada hiruk pikuk dan cahaya terang? Ke mana nanti ia akan mengajaknya bulan madu? Gua atau jangan-jangan uji nyali di rumah yang lebih menyeramkan dibandingkan rumah ini.

"Ah, bodo amat," ucap Astari langsung mengambil beberapa helai baju untuk dimasukkan ke dalam tas. Tak lupa membawa laptop untuk mengerjakan tugas online.

Perempuan yang sudah memakai baju putih langsung keluar kamar dan mendapati ruangan yang sudah sepi. Bunyi klakson di depan mengagetkannya.

Pintu rumah ia buka dan takjub pada sebuah mobil dan Satria sudah berdiri membuka pintu untuknya.

Sejak kapan di halaman ini ada mobil? Segitu seriuskah tadi saat merias wajah sampai deru mesin mobil tak terdengar di telinganya.

Astari berjalan mendekat dan mengamati keadaan dalam mobil. Kosong tak ada siapa-siapa, ia lalu menatap Satria yang sudah memakai kemeja lengan panjang berwarna putih dan celana berbahan kain warna hitam.

"Siapa yang akan menyetir mobil?"

Astari menoleh ke kanan dan kiri, siapa tahu menemukan seseorang tetapi tak ada.

"Aku."

Astari terkejut menatap Satria. Bukankah kaki dia sedang sakit?

"Ka-kamu?"

Satria mengangguk dan menyuruh Astari untuk segera masuk karena tak baik mereka berduaan di luar mobil seperti ini karena membahayakan keduanya.

"Memang bisa? Bukankah kaki kamu lagi sakit?" tanya Astari dengan ragu tetapi untuk Satria sendiri kata-kata itu terdengar seperti meremehkan.

Satria mengitari separuh badan mobil sambil berpegangan pada mobil saat melangkah. Ia pun duduk di samping Astari yang masih kebingungan.

"Tinggal injak gas sama rem saja, paling kalau kebablasan kita terjun ke jurang bareng-bareng."

Astari melotot, jemari sudah menyentuh seat belt untuk ia buka karena belum siap menjemput ajal karena belum merasakan bahagia sepenuhnya.

Satria menahan pergelangan tangan Astari sambil tersenyum di balik maskernya. Lagi-lagi Astari bisa merasakan kulit Satria yang dingin. Buru-buru menyingkirkan tangan takut tubuhnya ketularan menjadi es.

Mobil pelan-pelan berjalan, Astari sendiri berdoa untuk mengurangi perasaan cemas karena takut mobil ini terjun beneran ke dalam jurang. Namun, ia merasakan jika Satria mengendarai dengan sangat hati-hati membuat Astari sedikit lega.


Acara ijab qabul tak berlangsung lama karena meraka mendapatkan jadwal pertama. Dari keluarga kedua belah pihak ikut hadir. Namun, kedua orang tua Astari memilih izin undur diri dengan alasan mau menengok adik Astari. Sekarang tinggal kedua orang tua Satria yang masih berdiri di halaman parkir.

"Tidak mampir dulu ke rumah? Dekat dari sini," ajak Mama mertua pada Astari.

Perempuan itu hanya melirik sekilas ke arah Satria yang tengah menggulung kemeja putih sampai lengan kemudian memakai sweater andalannya yang berwarna abu-abu.

"Tidak. Kita mau pergi lagi."

Wanita paruh baya tersebut hanya bisa mengerutkan kening karena tak biasa putranya ingin pergi karena hidupnya selalu dihabiskan di rumah tua peninggalan leluhurnya.

"Pergi ke mana?"

Satria yang tengah memakai topi hitam menjawab dengan santai.

"Bulan madu."

Wajah Astari seketika langsung memerah karena malu. Seharusnya Satria merahasiakan masalah ini, bukan terang-terangan di depan orang tuanya.

Astari semakin kesal karena laki-laki itu masih asyik dengan hodie sweater yang ia tutupkan di atas topinya membuat Astari menggeleng karena Satria sudah seperti anak ABG saja.

Kedua orang tua di depan hanya bisa menahan senyum tetapi setidaknya mereka bahagia karena Satria sudah bisa melewati masa sulitnya.

"Kamu tidak mau ke spesialis kulit untuk mengobati wajah kamu?" saran Mamah Satria membuat putranya langsung membisu. Ia langsung menurunkan topi kemudian merapikan maskernya siapa tahu merosot.

"Tidak perlu."

"Apa tidak kasihan sama Astari yang selalu ketakutan melihat kamu?"

Astari hanya ikut diam tak berkutik, ia tak menyangka jika namanya akan dibawa-bawa. Saat pertama ia memang ketakutan tetapi setelah berselang hari hidup bersama, ketakutan itu perlahan mengendur.

"Astari mau menerima Satria apa adanya," tukas laki-laki itu sambil merengkuh Astari dari belakang membuat perempuan itu menatap samping sambil mendelik agar Satria melepaskan karena malu akan menjadi tontonan orang.

"Syukurlah. Oh, iya kemarin Dania ke rumah. Dia mem-"

Satria kembali naik pitam sambil memotong ucapan ibunya.

"Tolong, jangan bicarakan Dania di depan Astari. Tolong hargai dia, Bu."

Rengkuhan di pundak Astari terlepas, tentu saja Astari yang sengaja melepaskan karena risi. Untung saja gawai berdering sehingga buru-buru undur diri minta izin mengangkat telepon padahal Astari sendiri sangat penasaran dengan kelanjutan cerita ibu mertuanya apalagi menyangkut sosok masa lalu Satria.

"Dania kemarin bawa an-"

"Cukup!"

Suara Satria terdengar sangat ketus. Baru saja dalam hati ingin menutup rapat masa lalunya tetapi lagi-lagi orang tuanya kembali membukanya.

"Pastikan dia an-"

"CUKUP!"

Suara Satria yang sangat keras membuat Astari menatap belakang melihat pertikaian di sana. Ia lalu menyudahi percakapan di telepon kemudian bergabung dengan mereka.

"Kita berangkat sekarang," ajak Satria sambil berjalan menuju mobil. Astari langsung berpamitan kepada orang tua Satria kemudian buru-buru menyusul masuk mobil.

Astari setelah masuk memilih diam dan tak berani bertanya macam-macam pada laki-laki yang masih memegang setir tetapi mobil belum melaju.

Hampir seperempat jam akhirnya Astari membuka suaranya.

"Kita tunda dulu, pulang saja sambil tenangkan pikiran saja dulu," bujuk Astari tetapi Satria menggeleng lemah.

"Maaf."

Akhirnya Astari menatap samping seraya berucap, "Maaf untuk apa?"

Laki-laki itu menghela napas panjangnya.

"Maaf karena aku masih jadi pengecut untuk masa laluku. Nanti aku akan ceritakan semuanya."

Mobil melesat pelan, sedangkan mobil orang tua Satria sudah pergi sedari tadi.

"Kamu bisa menceritakan kapanpun. Tidak harus sekarang atau nanti."

Satria mengangguk, di balik masker ia tersenyum kecil. Kata-kata Astari membuat hatinya lebih sedikit tenang. Namun, tidak dengan hati Astari yang bertanya ke mana ia akan di bawa pergi.

"Bukannya ini jalan ke Cilongok?" tanya Astari kebingungan karena jalan yang ia tempuh sekarang sudah naik dan turun sama seperti yang ia tempuh di Baturaden.

"Iya."

"Kita mau ke mana?"

"Bukankah dari awal aku udah bilang kita mau bulan madu?" sindir Satria membuat Astari kembali lagi merah padam.

Dalam hati kapok tak lagi akan bertanya ke mana. Sempat mengira akan pergi ke luar kota atau pantai, bukan daerah sekitar mereka tinggal.

Jalan mulai menanjak, suasana sama saja karena selalu ada kabut di depan. Entah mengapa Satria hidupnya selalu saja suka berselimut kabut.


"Sampai," pekiknya lantang ketika mobil sudah berada di suatu tempat.

"Ke sini?" tanya Astari masih tak percaya. Tidak membutuhkan waktu lama untuk berada di tempat ini.

"Yakin? Tak salah. Di sini ramai, bisa saja kita berpapasan dengan banyak orang. Bukankah kamu menyukai kesepian?"

Satria menghela napasnya. Ada benarnya juga yang dikatakan perempuan itu. Ini adalah keputusannya yang berat untuk kembali ke dunia yang sudah ia tinggalkan selama ini. Namun, ada baiknya ia harus mencoba secara pelan-pelan.

"Bantu aku mengenal kembali duniaku yang hilang."

Suara Satria sangat lirih dan penuh harap.

"Insyaallah."


Astari keluar dari mobil, ia menghirup napas dalam-dalam. Udara sejak kembali menyapa wajahnya. Terasa sangat damai setelah keluar dari tempat yang sangat gelap walaupun di sini berkabut juga tetapi setidaknya masih ada sinar matahari yang menghangatkan kulitnya.

"Tari, ayo!"

Astari tersadar dari lamunannya, ia menoleh ke arah laki-laki yang sudah di depan anak tangga tengah menunggunya, ia kemudian bergegas menghampiri Satria.

"Yakin tetap ke sini?"

"Tak apa. Sesekali keluar, lagian tempatnya sepi ini."

Perempuan itu baru tersadar jika hanya segelintir orang saja yang ia temui di kawasan ini. Ia hanya mengangkat bahu karena mungkin kebetulan saja. Tak mungkin seorang Satria menyewa tempat ini khusus untuk mereka berdua saja.

Satria ragu ketika hendak menapaki anak tangga karena ada sesuatu yang sangat berat di pikirannya. Ia menoleh ke arah Astari.

"Boleh meminta sesuatu?"

"Minta apa?" tanya Astari ragu karena jarang-jarang dia meminta tolong.

"Tanganmu."

"A-apa? Tangan aku?"

Astari kebingungan dan mengangkat tangan kanannya ke udara. Dalam sekejab Satria langsung menggenggam erat tangan Astari dan menyuruhnya untuk segera menapaki deretan anak tangga dari tanah.

Astari sendiri tak menyangka laki-laki itu memperlakukannya dengan lembut membuat dirinya bolak-balik mencuri pandang ke arah Satria yang terus menunduk.

"Kenapa liatin terus? Jangan ge er kalau seperti ini," tukas Satria sambil mengangkat tangan mereka yang saling bertautan.

"Eh, enggak, kok."

Astari sendiri sekarang yang salah tingkah.

"Aku tak mungkin memakai tongkat di tempat seperti ini, makanya butuh tangan kamu."

Kepala Astari yang sedari tadi dipenuhi kupu-kupu karena bahagia dan tersanjung tiba-tiba lenyap sudah. Semburat rasa kecewa tercetak jelas di bibirnya. Pegangan tangan sedikit mengendur tetapi masih saling menyatu. Tangan kiri Astari sedikit mengangkat bawah gamis agar tak kotor.

"Aneh ya ke tempat seperti ini tapi berpakaian seperti itu?" ledek Satria yang diam-diam memperhatikan Astari.

"Eh, tidak juga," kilahnya sambil memilih menatap bunga warna-warni yang tumbuh di samping.

"Kalau jadi istrinya orang aneh macam aku kudu ikutan aneh juga," bisik Satria tepat di samping telinga Astari yang kembali bergidik ngeri. Entah apa maksud dari ucapan itu.

Ketika sudah memasuki pertengahan jalan tiba-tiba Satria menghentikan langkahnya dan memilih berdiri berhadapan dengan Astari. Perempuan itu agak risi mendapatkan tatapan yang sangat intens.

"Tari, seandainya aku memiliki anak, apa kamu masih mau mendampingi aku?"

Astari sangat terkejut, ia berusaha melepaskan kaitan tangannya walaupun Satria melarang tetapi akhirnya terlepas juga.

"A-anak?"

¤To be continue¤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro