🔆Mencoba Bertahan🔆

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Hargai siapa pun tanpa melihat siapa dia. Saat Allah membalasnya dengan orang yang tepat, akan jauh terasa lebih indah~

***
Hidden Paradise by Galuch Fema


Happy reading jangan lupa vote

Astari hanya bisa menunduk, memeluk tubuhnya sendiri berusaha menguatkan agar tidak rapuh. Mata sudah berkaca-kaca hendak menumpahkan kesedihan tetapi ia mati-matian menahannya agar bulir bening tak terjatuh.

Sekuat tenaga berusaha tak menatap samping pada orang yang tengah menatapnya. Ekor mata melihat ke atas. Perjalanan hidupnya sama saja dengan jalan yang ia tapaki sekarang. Bisa saja ia melanjutkan langkah menuju ke atas tetapi sudah siap dengan risikonya karena angin di sana angin bertiup kencang. Mungkin juga ada badai yang akan menghadangnya.

Bisa saja ia kembali menuruni anak tangga sebagai tanda perpisahan karena Satria tak berterus terang dari awal.

"Tari?" panggil Satria lirih mencoba menggapai pundak tetapi tangannya buru-buru ditepis oleh Astari membuatnya kaget.

"Aku pikirkan lagi nanti."

Perempuan itu menapaki setengah anak tangga lagi dengan lunglai dan rasa kecewa yang sangat berat. Hatinya sakit setelah dibohongi seperti ini. Ia mau meluapkan emosi pada Satria, orang tuanya atau mertuanya tetapi percuma. Nasi sudah menjadi bubur.

Astari tak peduli memikirkan Satria yang kewalahan menaiki anak tangga seorang diri dengan kaki yang belum sembuh total. Masih ada pegangan kayu melintang di sisi anak tangga yang akan membantu laki-laki itu menapaki anak tangga.

Kenapa ia begitu bodoh membiarkan tangannya dalam genggaman laki-laki itu sedangkan pegangan di sisi anak tangga juga ada.

Tempat yang indah seharusnya membuatnya bahagia tetapi mendadak tak bernilai apa-apa. Ia berhenti di tepi taman, ada bangku di sana yang menghadap pemandangan bawah sana. Sepertinya duduk di sana akan membuat hatinya lebih tenang.

Satria yang sudah kelelahan ikut duduk di samping Astari. Berusaha menggenggam tangan itu tetapi lagi-lagi dilepaskan oleh Astari.

"Maaf."

Astari mendengus kesal mendengar permintaan maaf barusan.

"Terlambat," timpal Astari dengan segudang rasa kecewanya. Ia melipat kedua lengan di depan dada, menghindar agar laki-laki itu tak kembali menyentuhnya.

Satria menarik napas dalam-dalam melepaskan beban beratnya.

"Aku akan cerita semuanya."

"Tak perlu, aku ingin sendiri," balas Astari sambil memalingkan wajahnya.

Satria mendapatkan penolakan halus, ia bangkit dengan berpegangan ujung kursi. Ia tak dipedulikan oleh Astari tetapi ia sudah siap karena dirinya yang bersalah.

"Baiklah kalau seperti itu. Jangan terlalu lama di luar tak baik untuk kesehatan kamu."

Astari menggigit bibir dengan wajah enggan berpaling. Ia tak peduli dengan lara hatinya. Satria tertunduk semakin dalam karena tak sepatah kata pun dari bibir Astari. Ia lalu melangkah pergi tetapi kembali lagi menengok ke belakang.

"Langit mendung dan sebentar lagi hujan, segera masuk ke home stay nomor 7."

Lagi-lagi memilih diam, suara yang hendak keluar hanya berakhir di tenggorokan saja.

Astari hanya memandang awan yang sudah bergelayut di langit hendak menumpahkan bebannya. Kedua tangan hanya mampu memeluk tubuhnya. Dingin karena sarayu menyusup baju yang ia kenakan.

Uap putih terus keluar dari bibir dan hidung setiap kali menghela napas. Piasan air hujan mulai membasahi tubuhnya. Telapak tangan ia hadapkan ke atas dan tangan itu mulai basah sehingga memaksa dirinya untuk bangkit dan pergi.

Kaki yang tadinya melangkah pelan berubah menjadi berlari menuju home stay di depannya. Sempat ragu untuk memasuki deretan homestay yang berjejer rapi dan terdapat nomor di depannya.

Pintu terbuka dan di depannya Satria sudah berdiri kemudian menarik tangan Astari untuk segera masuk karena angin ikut masuk ke ruangan ini.

"Sudah aku bilang untuk segera masuk. Jadi basah seperti ini, kan?" tutur Satria sambil mengambil tas milik Astari untuk diletakkan dekat kaki mereka.

Perempuan itu hanya diam tak bersuara, ia melihat gerak-gerik Satria yang tengah cemas melihatnya yang sudah basah kuyup.

"Segera ganti baju!"

Astari menerima saja satu setel baju yang sudah disiapkan laki-laki itu setelah mengambil dari tas miliknya.

Air hangat jatuh dari ujung shower membasahi dari ubun-ubun sampai mata kaki. Efek dari air hangat itu bisa merilekskan otot menjadi sedikit mengendur.

Ketika hendak keluar dari kamar mandi ada sedikit keraguan karena baju yang ia kenakan adalah setelan baju tidur dengan bawahan sampai dengkul saja. Kerudung tadi juga basah oleh air hujan dan kerudung lain masih ia simpan di tas.

Pintu kamar mandi terbuka, ruangan ini mendadak romantis. Lilin aromaterapi sudah menyala di atas meja dekat sofa kecil tempat Satria duduk. Mau tak mau Astari duduk di situ karena tidak ada kursi lain.

"Minumlah selagi hangat."

Secangkir vanilla latte sudah berpindah ke tangan Astari. Aromanya masuk melalui lubang hidungnya. Ada rasa ragu untuk meminum karena entah mengapa pikiran negatif kembali muncul. Bisa jadi Satria membubuhkan sesuatu dalam minuman itu.

"Minumlah," ucap Satria setengah memaksa sambil terus menatap intens kepada Astari. Perempuan itu risi mendapatkan tatapan seperti itu sehingga mau tak mau meminumnya.

Satria tersenyum puas karena istrinya telah menghabiskan apa yang sudah ia siapkan.

Astari bolak-balik menyibakkan poni yang terus menutup mata sebelum memijit kening karena tiba-tiba kepalanya terasa berat. Satu menit kemudian tubuhnya terkulai dan jatuh di pelukan Satria.


Suasana yang tak begitu terang membuat kedua mata pelan-pelan terbuka. Mengucek pelan agar mata bisa terbuka sempurna. Tubuh sudah berada di atas tempat tidur berselimut tebal. Udara masih saja dingin apalagi ketika selimut disingkap perlahan.

Wajah menoleh ke karpet di bawah ranjang, seseorang sedang duduk menyelesaikan ibadahnya. Astari hanya duduk di tepi ranjang menantikannya.

Selesai salam, Satria menatap perempuan yang sudah terjaga. Ia mengambil peci di atas kepala untuk diletakkan di atas meja.

"Sudah bangun?"

Astari memijit pelan, ia kembali teringat kapan ia mulai mengantuk dan tiba-tiba sudah di atas ranjang. Jam menunjukan pukul setengah tiga malam, begitu pulaskah tidur di tempat baru seperti ini sehingga tak menyadari di mana laki-laki itu tidur karena sebelah tempat ia tidur masih rapi. Netra tiba-tiba melihat sebuah bantal di atas sofa yang menunjukkan jika Satria tidur di sana.


"Kapan aku tertidur? Kenapa aku tak ingat?" keluh Astari sambil merapikan rambut.

"Saat kantuk menyerang."

Satria menggaruk rambut dengan ekor mata ke sana kemari terlihat seperti orang bersalah. Dalam hati terus berdoa semoga Astari tak tahu apa yang ia campurkan ke dalam minuman kopi.

"Duduklah, ada yang ingin aku sampaikan sama kamu," ucap Satria sambil menepuk sofa di sampingnya.

Astari mengikuti ucapan Satria, duduk berdua di sofa warna biru. Jemari menyingkap tirai jendela dan suasana di luar masih gelap.

"Ada yang ingin aku sampaikan. Terutama masa lalu aku."

Nada dari suara tersebut sangat berat, Astari bisa menebak jika beban yang selama ini pikul sangatlah berat. Belum perubahan di wajah laki-laki yang sangat kentara.

"Jika belum bisa sekarang, lain kali saja," tolak Astari sambil melirik sekilas.

Hati perempuan ini sebenarnya belum siap menerima masa lalu Satria, tentang istri, belum anak yang Satria sebutkan kemarin.

"Tidak bisa ditunda lagi, kamu harus tahu sekarang. Jangan sampai kamu tahu dari orang lain," timpal Satria dengan wajah yang sangat panik.

Keduanya terdiam, Astari menguatkan hatinya sedangkan Satria menata kata yang akan ia sampaikan pada Astari.

"Dania istri aku."

Astari tidak kaget karena Satria pernah mengucapkan nama itu di depannya.

"Aku menceraikan dia sewaktu lagi hamil."

Astari spontan melihat dengan sorot mata tak suka mengarah pada Satria yang tengah memperhatikan dirinya. Entah mengapa tubuh Astari refleks berdiri karena ternyata Satria bersikap buruk pada perempuan.

Pergelangan tangan langsung ditahan dan laki-laki itu menyuruhnya untuk segera duduk kembali.

"Aku belum selesai bicara."

"Untuk apa diselesaikan jika akhir kisah itu aku sudah bisa menebak dan paham siapa yang bersalah," umpat Astari dengan kesal. Jika tangan tak berada dalam genggaman Satria, mungkin ia memilih kabur malam ini juga.

"Hubungan kita selama ini baik-baik saja. Petaka itu datang ketika aku berada di luar kota dan mendapatkan kabar dari sahabat aku jika Dania selingkuh. Awalnya aku sangat marah tetapi tak bisa berbuat apa-apa dan dia berjanji akan meninggalkan laki-laki itu. Namun, ternyata dia masih saja bertemu di belakang aku sampai Dania hamil padahal aku masih berada di luar kota."

Satria menahan deru napas yang semakin cepat, belum otot di sekitar wajah tercetak jelas menahan rasa panas dalam dada.

"Saat aku pulang dari luar kota, aku mendapati dia bersama laki-laki itu. Entah setan dari mana merasuki aku dan menyeret Dania yang tengah berbadan dua masuk ke mobil dan membawanya pergi. Percekcokan di mobil tak terelakkan sehingga membawa pada kecelakaan karena mobil menabrak pohon. Dania selamat dan aku luka parah terutama pada bagian wajah."

Astari bergidik ngeri membayangkan kejadian itu. Ia sedikit paham kenapa Satria memilih menyendiri.

""Hidupku tak akan tenang jika belum membalas semuanya," ucap Satria geram.

Angin dari luar menyusup masuk membuat suasana semakin dingin.

"Jangan sakiti Dania, kasihan anak itu. Siapa tahu jika anak itu juga anak kamu."

Mata Satria melotot karena kurang suka dengan tuduhan Astari.

"DIA BUKAN ANAK AKU!!!"

Astari terkejut dengan pekikkan Satria, bahkan menggeser duduknya karena efek ketakutan yang luar biasa.

"Apa kamu sudah memastikan jika dia benar-benar bukan anak kamu dengan cara tes DNA?"

Satria bergeming, menatap Astari sekilas kemudian menunduk semakin dalam memperlihatkan rasa bersalahnya.

¤To be continue¤


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro