🔆Menepis Luka🔆

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Aku memilihmu itu bukan karena ingin tetapi yakin jika bersamamu surga itu lebih dekat~

***
Hidden Paradise  by Galuch Fema


Happy reading jangan lupa vote

Satria memilih diam dan tak menjawab tubuhnya bergerak gelisah. Yang paling ia takutkan adalah anak itu memang benar anaknya. Namun dugaan nya kuat jika ia bukan anaknya.

"Aku belum berani."

Kalimat itu lolos setelah keheningan malam yang mendominasi di ruangan ini.

"Kenapa?"

Astari semakin gencar bertanya. Ia butuh kepastian dan ia berhak tahu masa lalu suaminya walaupun seburuk apapun masa lalunya.

"Aku belum siap."

Astari semakin tak paham apa yang diutarakan Satria. Jika laki-laki itu mengakui semuanya pasti akan cepat selesai. Tak ada masalah yang berlarut-larut.

"Jika anak itu adalah anak kamu...."

Dari ekor mata Astari bisa melihat jika Satria sangat emosi mendapatkan tuduhan seperti itu.

"Jika dia benar anak kamu berarti kamu selama ini dosa besar. Sudah menelantarkan dia bahkan tak menafkahi sampai sekarang," lanjut Astari tak mau kalah.

"CUKUP!" pekik Satria sambil menutup kedua telinganya dan berdiri dari atas karpet. Dengan masih memakai sarung ia melangkah terseok menuju luar. Pintu tertutup dengan keras membuat Astari terkejut.

Astari menyingkap sedikit tirai di belakangnya dan melihat sosok itu duduk sendirian berteman gelapnya malam dan kabut dingin.

Ada rasa penyesalan berkata seperti itu, seharusnya ia lebih hati-hati dalam mengucapkan kata-kata. Untuk seorang Satria sendiri masa lalunya ibarat mimpi buruk yang bisa datang kapan saja.

Astari berinisiatif ikut keluar untuk meminta maaf dan mengajaknya masuk kembali. Tak lupa sweater favorit laki-laki itu ia bawa karena tubuh Satria hanya menggunakan kaos saja.

Benar saja, setelah pintu terbuka ia bisa melihat dengan jelas bagaimana terpukulnya laki-laki itu. Wajah yang dibenamkan pada kedua telapak tangan untuk menyembunyikan amarah dan rasa kesedihan yang luar biasa.

"Maaf."

Satria menengadah ke atas mendengar suara yang datang bersamaan sebuah sweater yang ia sekarang ada di punggungnya.

Astari sendiri semakin tak enak hati karena Satria masih memilih diam dan tak memaafkannya. Baru hendak meletakkan pantat ke atas kursi di samping tiba-tiba laki-laki itu bersuara.

"Masuklah, di sini dingin."

Astari bisa melihat bagaimana laki-laki itu menyuruhnya masuk tetapi wajahnya enggan untuk menatap ke arahnya. Dengan rasa penyesalan bertambah dua kali lipat, Astari melangkah ke dalam kembali ke tempat tidur membawa rasa bersalahnya untuk melanjutkan kembali mimpinya.



Udara pegunungan masih saja menusuk sampai ke rongga dada, padahal jam sudah menunjukkan jam enam pagi. Astari melihat jika Satria masih tertidur pulas di atas sofa.

Ia memilih pergi ke luar untuk membeli sarapan di kantin karena mereka tidak mempunyai bahan makanan untuk mereka santap nanti.


Di tempat wisata ini walaupun sama-sama dingin tetapi pemandangan masih bisa enak dilihat tak seperti tempat Satria tinggal yang kanan kiri rumah terdapat pohon menjulang tinggi.

Setelah mendapat apa yang ia butuhkan, Astari bergegas kembali dan mendapati Satria sudah menunggunya di depan teras kecil sedang duduk. Namun, ketika dia datang lagi-lagi enggan untuk menatapnya.

"Dari mana?"

Suara itu terdengar dingin sama saja dengan udara di sini. Padahal sebelum pertikaian semalam laki-laki itu sudah sedikit menghangat.

"Beli sarapan di kantin."

Astari meletakkan  makanan di atas meja beserta minuman hangat. Terserah Satria sendiri mau memakannya atau tidak yang penting ia sudah menyediakannya.

Laptop kembali ia buka setelah seharian kemarin hanya mendekam di dalam tas miliknya. Pekerjaan sudah menumpuk dan terpaksa hari ini ia setor daripada nantinya mendapatkan SP.

Belum lagi membalas pesan Mbak Maya yang kelewat banyak karena dari kemarin penasaran ke mana mereka bulan madu.

Hampir satu jam berkutat dengan laptop, angka dan kata di layar sana membuat Astari tak berpaling dari monitor, membuatnya tak sadar jika laki-laki itu sudah kembali masuk dan berbaring di samping di atas karpet sama yang diduduki Astari.

Perempuan itu melirik mengamati sosok Satria yang tengah menatap lurus ke atas tengah berpikir keras.

"Sudah makan?"

Satria masih diam tetapi kepalanya menggeleng lemah. Astari pun bangkit mengambil makanan di depan sana dan memang sama sekali belum tersentuh hanya minuman hangat yang tinggal separuh.

"Makanlah."

Satria mengubah posisi menjadi duduk dan posisi mereka menjadi berhadapan, kedua lutut mereka bersentuhan membuat Astari berdiri, pura-pura membuka jendela agar cahaya matahari sedikit masuk.

Ia kembali duduk tetapi selebihnya menggeser laptop agar tak terlalu berdekatan dengan Satria karena untuk kenyamanan hati mereka berdua. Serba salah juga berada di satu ruangan seperti ini, masih mending di rumah tua itu karena mereka akan bertahan di kamar masing-masing.

"Tak mau berdekatan dengan aku?" tuduh Satria dengan nada tak suka membuat Astari terkejut dan kembali menempatkan laptop di depan Satria yang tengah duduk.

"Sudah makan?"

Suara Satria kembali merendah membuat Astari sedikit lega. Ia pun mengangguk dan tersenyum tipis pada laki-laki yang tengah menghabiskan makanannya.

Astari yang sedang fokus dengan keyboard langsung menatap Satria yang tengah mengarahkan sendok berisi makanan dan lauknya ke arah depan mulut Astari.

"Ak—"

Belum juga selesai dengan ucapan tiba-tiba sendok itu sudah masuk ke dalam mulutnya. Mau tak mau mengunyah karena tak mungkin memuntahkannya karena pasti nanti akan ribut kembali.

"Enak?"

Mau tak mau perempuan itu menganguk, seketika tersenyum membuat sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas membalas senyuman hangat dari laki-laki dingin itu.

"Mau sampai kapan mengerjakan tugas kantor itu?" keluh Satria yang dari tadi hanya berbaring menunggu istrinya yang tak kunjung selesai.

"Sebentar lagi," balas Astari tanpa menghiraukan Satria yang wajahnya sudah berubah kesal.

"Kalau aku menyuruhmu untuk keluar dari pekerjaan itu?"

Mata Astari membulat. Kertas yang berada di tangan kiri langsung ia letakkan ke atas karpet. Menggeser duduk menatap Satria yang sedang mengubah saluran televisi yang sama sekali tak menarik perhatian laki-laki itu.

"Kenapa aku harus keluar? Tolong jelaskan alasannya."

Suara Astari sedikit serak, hampir menangis. Inilah cita-citanya untuk bisa bekerja di instansi tempat di mana ia kerja.

"Dulu aku membiarkan Dania bekerja dan akhirnya ia mengenal sosok laki-laki lain selain suaminya."

Lagi-lagi wajah Satria kembali berubah. Puzel-puzel masa lalu  selalu membuatnya tersiksa. Tangan tak kasat mata tak pernah lelah membuatnya menderita.

Astari menarik napas dalam, di otaknya sibuk memilih kata yang tepat untuk ia keluarkan agar tak memancing permasalahan lagi.

"Aku tahu Dania sangat berarti untukmu."

Satria menyugar rambut kemudian kedua sikut ia tumpukan di pangkuannya.

"Tapi aku bukan Dania. Aku adalah Astari yang sekarang menjadi bagian hidupmu saat ini, kelak dan nanti. Tak ada seorang pun yang bisa mengubahnya dan tak ada seorang pun yang akan masuk ke dalam hubungan kita. Akad kemarin bukanlah janji kita berdua tetapi juga janji kita kepada Allah karena yang bisa memisahkan kita bukan pihak ketiga tetapi hanya maut yang memisahkan kita."

Hati Astari terasa berat untuk mengatakan seperti itu karena Satria sendiri sepertinya belum bisa melupakan masa lalu sepenuhnya.

"Maafkan aku."

Seperti sebuah kejutan karena ini untuk kedua kalinya laki-laki dingin itu meminta maaf. Ia kemudian berbaring sambil mengganti chanel televisi lagi.

Astari sedikit lega, ia pun menyelesaikan tugasnya yang selalu tertunda.

"Aku sudah menceritakan masa lalu aku, sekarang gantian kamu cerita dengan siapa kamu pernah dekat."

Kertas yang di berada di tangan lagi-lagi ia taruh.  Sepertinya ia salah memilih waktu mengerjakan tugas siang hari karena besok akan memilih mengerjakan malam hari saja.

"Aku tak punya masa lalu, aku tak dekat dengan siapa-siapa serta belum pernah merasakan apa itu jatuh cinta serta dicintai oleh laki-laki."

Satria spontan langsung duduk karena topik sekarang lebih menarik.

"Hidup kamu hambar sekali," sindir Satria sambil menahan senyum karena tak mungkin tertawa.

Astari mengangkat bahu kemudian mengangguk.

"Berarti selama ini kamu terlalu sibuk dengan pekerjaan kamu?"

Astari pura-pura mengangguk. Padahal jika diingat kembali ke belakang setelah pernikahan adiknya, Astari sudah diberi nasihat jika kelak akan menikah dengan pilihan orang tuanya. Lantas untuk apa ia membuka hati untuk yang lain jika ujungnya nanti hatinya yang sakit.

"Kamu belum pernah rasanya dicintai oleh seseorang?" selidik Satria penuh penekanan pada setiap suku katanya.

"Hemm."

Perempuan itu berdehem lirih sambil menatap kembali layar monitor.

"Padahal aku sedang belajar mencintai kamu."

Astari menatap tak percaya terhadap laki-laki yang tengah menatapnya dengan serius.

¤To be continue ¤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro